Kegiatan mengasah ilmu dan sekaligus menjelajah itu memang begitu penting bagi para ahli ilmu bumi. Mereka bisa tetap peka kalau sering berada di lapangan. Itu sebabnya, kami tak heran melihat perawakan Fian yang berkulit gelap dan senang bercanda. Maklum, kalau terlampau serius, tentu kegiatan lapangan bakal hambar.
“Buat saya, kegiatan ini bermanfaat bagus. Sebab, bisa untuk mencari sesuatu yang baru. Apa yang kita lihat sekarang dengan data yang baru akan berbeda,” kata Fian kepada Shelma dan Laksmi sebelum acara diskusi di dalam gerbong berlangsung.
Kegiatan ini, lanjut Fian, juga bermanfaat sebagai ajang tukar pandangan antara ahli geologi senior dan yunior. “Yang yunior kan punya pandangan seperti ini, sementara yang senior mungkin akan punya pandangan lain. Nah itulah yang kita cari supaya diskusinya jalan,” papar Fian, yang sudah menyiapkan kegiatan lapangan selama dua bulan bersama rekan-rekannya.
Menurut jadwal, pada hari pertama, peserta akan menuju Dowan dan Paciran, yang bakal ditempuh selama dua perjalanan darat dari Cepu. “Di Desa Dowan yang di dekat rumah warga, kita mengobservasi batuan beku intrusi yang kemungkinan intrusi dangkal,” kata Eka Nugraha, Senior Geoscientist Pertamina Hulu Energi menjelaskan.
Batuan itu merupakan hasil dari aktivitas volkanisme atau kegunung apian. “Jadi, aktivitas volkanisme itu belum tentu berupa gunung api seperti Gunung Merapi dan lainnya, namun dalam hal ini aktivitas volkanisme adalah aktivitas yang melibatkan magma dari dalam bumi. Batuan intrusi di area ini para ahli geologi mengenalnya dengan Intrusi Lasem,” terang Eka.
Usai belajar batuan di Dowan, peserta bergerak ke Paciran, yang ditempuh selama 30 menit. Di sini, perbukitan karst menghampar depan mata. “Formasi Paciran mungkin membuat masyarakat umum lebih tertarik dengan fenomena pembentukan gua-gua dan sungai bawah tanah yang terbentuk karena proses karstifikasi (pembentukan karst),” kata Eka.
Tapi, lanjut Eka, sebetulnya karstifikasi itu bertahap mulai dari pembentukan pori sekunder pada batuan yang berukuran 2 mm, proses pelarutan batuan dan membentuk pori, pergantian fosil oleh mineral kalsit dan dolomit. Pada tahapan lanjutnya adalah pembentukan gua-gua karena pelarutan air meteorit di permukaan. “Proses ini hanya dapat terjadi jika batuan karbonat (batu gamping) terekspos ke permukaan dan kontak dengan air permukaan.”
Sebetulnya Formasi Paciran sendiri di area Cekungan Jawa Timur belum terbukti menjadi reservoir migas. “Tapi yang dapat kita pelajari dan hal menariknya adalah proses karstifikasi di Formasi Paciran ini dapat kita analogikan ke reservoir yang terbukti di Cekungan Jawa Timur ini. Misalnya, reservoir Formasi Tuban dan Kujung yang terbukti di lapangan JOB East Java dan PHE WMO,” Eka menerangkan kepada kami.
Dengan demikian, ahli geologi dan geofisika dapat lebih memahami karakter reservoir di bawah permukaan yang selama ini diinterpretasikan dengan menggunakan data seismik dan log sumuran. Caranya, membandingkan dan menganalogikan proses terbentuknya reservoir itu dengan singkapan batuan di permukaan. “Walaupun waktu proses pembentukannya berbeda, karena di dalam geologi kita mengenal istilah “the present is the key to the past” artinya kita dapat memahami proses dan kejadian di masa lalu dengan mempelajari proses yang terjadi di saat ini,” pungkas Eka.
Ahli geologi dan geofisika memang harus menjelajah. Sebab, kegiatan yang sudah dilakukan ras manusia sejak lahir ini memberikan cakrawala baru terhadap kehidupan. Dari situlah, alam dapat kita manfaatkan untuk kepentingan khalayak.