Hari baru berganti. Penjelajahan terus berlanjut. Saya semakin bersemangat mengikuti rombongan besar tim eksplorasi Pertamina Hulu Energi yang menggelar kegiatan lapangan bertajuk “Unravel Petroleum System of Rembang Zone” yang berlangsung pada 23 – 26 Oktober, di wilayah Cepu, Blora, dan sekitarnya.
Tak seperti hari pertama, durasi perjalanan tak memakan waktu lama, sekitar 1 jam saja.
Hujan yang membasahi muka bumi semalam dan pagi hari sebelum perjalanan memberikan keuntungan dan kerugian bagi pengamatan kami. Pasir yang terguyur ikut melekat di sepatu, membikin langkah mesti awas. Meski begitu, terik matari sedikit terhalau awan mendung yang masih menggantung.
Situs pengamatan Sitirejo ditingkahi penambangan pasir. Ekskavator bersiaga, sementara truk-truk hilir-mudik seusai menerima gelosoran pasir dari si pengeruk.
Sudarmono, Senior Manager Exploration Planning and Evaluation Pertamina Hulu Energi, menjelaskan secara sederhana bahwa situs Sitirejo memperlihatkan sejarah endapan tebing pasir tersebut di zaman jauh dari saat ini.
Adanya perbedaan warna pada tebing menunjukkan mana endapan yang lebih dulu ada, mana yang datang belakangan. Darmono juga memaparkan bahwa guratan-guratan pada tebing menunjukkan kekuatan arus saat endapan itu terbentuk (dengan sama-sama memahami bahwa situs tadi terbentuk dengan sedimentasi).
Pada tebing itu didominasi warna cokelat, merah, dan abu-abu. Darmono menjelaskan pada kami, abu-abu menunjukkan keadaan air yang tenang. Keadaan tersebut menjadikannya tempat yang bisa ditinggali hewan.
Hal itu juga ditunjukkan dengam adanya ruas-ruas seperti jari. Boleh jadi itu merupakan jejak hidupnya moluska. Sementara batuan berwarna cokelat meriwayatkan keadaan air yang energinya tinggi, seperti berarus kencang sehingga bukan tempat yang baik bagi hewan untuk tinggal. Sedangkan yang berwarna merah menunjukkan kandungan besi yang tinggi. Darmono mengatakan bahwa kondisi situs memiliki kualitas sebagai reservoir.
Dari segi geofisika, kali ini kami mengamati penggunaan magnetikmeter. Serupa tapi tak sama dengan gravitimeter, magneticmeter digunakan untuk mengonfirmasi pengamatan geologis, salah satunya untuk membuat peta anomali magnetik. Penggunaan alat ini tampak lebih mudah dibandingkan gravitimeter.
Gravitimeter memerlukan kendali manual, sedangkan magnetikmeter bekerja dibantu magnet bumi. Ada sensor magnet yang dipasang pada tiang (untuk meminimalkan noise di sekitar) dan meteran yang menampilkan data. Sama seperti gravitimeter, data yang dibaca di magnetikmeter perlu dikoreksi lagi untuk mendapatkan data yang lebih kuat.
Saya sempat mendengarkan perbincangan antara Ari Samodra, VP Exploration Subsurface, Planning and Evaluation Pertamina Hulu Energi dan Florencius Valentino, mahasiswa geologi UGM. Keduanya berdiskusi soal cara penggunaan magnetikmeter. Florencius dengan bersemangat menjelaskan pemakaian alat ini kepada sejumlah peserta.
Meskipun boleh jadi alat ini terlalu "sederhana" untuk menentukan ke arah potensi pengeboran, alat ini bisa saja berfungsi sebagai mitigasi agar pengeboran tak berisiko fatal seperti yang terjadi pada lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Selepas diskusi, kami mencicipi lontong kapua yang kerap dipromosikan oleh Titin Sukirno, yang lebih mengenal kota Blora karena bekerja untuk Pertamina Hulu Energi Randugunting dengan wilayah kerja di sini. Ada yang menikmati lontong sayur dengan opor ayam kampung ini dengan penuh semangat, ada pula menikmati setiap cita rasa yang diterima. Saya memilih yang kedua karena rasanya tak ingin kenikmatan itu buru-buru selesai.