Kepentingan Ekonomi Versus Konservasi Tuna di Balik Rumpon

By , Kamis, 16 November 2017 | 15:08 WIB

Mayoritas pekerja ilegal

Sebagian besar penjaga rumpon adalah nelayan ilegal dari perbatasan Filipina seperti General Santos (Gensan) dan Davao. Lemahnya pengawasan nelayan asing di masa lalu, terutama di daerah perbatasan telah dimanfaatkan oleh para pemilik rumpon untuk mempekerjakan nelayan asing secara ilegal, tidak terkecuali sebagai penjaga rumpon di tengah laut.

Terlebih lagi pasca-berlakunya moratorium izin operasional kapal eks asing dan pengetatan alih muatan ikan di laut (transhipment), banyak nelayan kehilangan pekerjaan. Tidak terkecuali nelayan asing, alih-alih kembali ke negara asal, mereka berupaya tetap tinggal di Indonesia. Menjaga rumpon, dengan gaji Rp750 ribu-1,5 juta per bulan, merupakan satu alternatif pekerjaan agar mereka dapat bertahan hidup. Namun, mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan sekitar Rp40-60 juta selama setahun dari hasil memancing tuna di rumpon.

Nelayan sedang menangkap ikan dengan kapal jaring di rumpon di Laut Maluku, April 2015 (Widhya Nugroho Satrioadjie)

Dulu, nelayan pancing dan nelayan pancing joran (pole and line) selalu mengandalkan tanda-tanda alam dari kawanan lumba-lumba atau burung laut untuk mengetahui lokasi tuna. Namun, sekarang mereka lebih memilih mencari tuna di sekitar rumpon. Mereka dapat berpindah dari satu rumpon ke rumpon lain sembari terus berkomunikasi dengan penjaga rumpon lain untuk mendapatkan informasi keberadaan tuna.

(Baca juga: Makanlah Tuna untuk Perbaiki Suasana Hati)

Cara kerja rumpon

Nelayan telah mengetahui sejak lama sifat alamiah ikan yang cenderung berkumpul di sekitar objek terapung seperti batang pohon dan kayu yang hanyut di laut. Pengetahuan ini terus berkembang sampai akhirnya nelayan berinisiatif membuat pelampung buatan yang disebut rumpon.

Rumpon pertama kali diperkenalkan oleh nelayan Jepang dan Filipina kepada nelayan Indonesia pada 1980-an pada saat mereka ekspansi penangkapan tuna ke wilayah Indonesia.

Setidaknya terdapat dua jenis rumpon yang digunakan di perikanan tuna, yaitu rumpon hanyut (drifting FAD) dan rumpon jangkar (anchored FAD). Rumpon hanyut sebagian besar digunakan oleh nelayan Amerika dan Eropa dengan menambahkan beberapa peralatan canggih, pada bagian pelampung dipasang echosounder, sejenis alat akustik untuk memantau keberadaan ikan hingga kedalaman ratusan meter. Dilengkapi pula dengan radio beacon dan GPS yang berfungsi mengirim titik koordinat rumpon.

Sedangkan di bagian bawahnya, nelayan memasang jaring bekas sebagai pengumpul ikan (attractor) yang dipasang dibawah pelampung. Sistem ini sangat membantu nelayan untuk mengetahui lokasi rumpon dan mengetahui rumpon mana yang didapati banyak tuna. Apalagi jenis kapal penangkap yang beroperasi dengan jenis rumpon ini berukuran sangat besar, sering disebut super purse seines (1.000-2.000 GT). Tidak jarang mereka juga menggunakan bantuan helikopter untuk memantau gerombolan tuna dari atas rumpon yang mereka miliki.

Adapun rumpon jangkar yang digunakan oleh nelayan Indonesia desainnya cukup sederhana. Alat ini terdiri dari pelampung, pengumpul ikan (attractor) , dan jangkar (pemberat). Dulu nelayan menggunakan bambu sebagai bahan pelampung. Kini mereka menggunakan bahan yang lebih tahan lama seperti gabus persegi (styrofoam) dan pelampung silinder besi (pontoon).

Untuk bagian attractor, nelayan menggunakan daun kelapa atau nipah yang dibenamkan di kedalaman 10-30 meter. Sedangkan pemberat dapat berupa serangkaian drum minyak bekas kapasitas 200 liter berjumlah 4-6 buah yang diisi semen. Rumpon jangkar dapat dipasang di wilayah laut yang memiliki kedalaman 2.000-4.000 meter.

Tiga desain rumpon: (A) rumpon jangkar di pinggir pantai, (B) rumpon jangka di tengah laut, dan (C) rumpon hanyut (Simon Bush)