Menelisik Tradisi Komunitas Matagi di Jepang, dari Memburu hingga Menguliti Beruang

By , Rabu, 6 Desember 2017 | 17:00 WIB

Jauh di dataran tinggi Honshu utara, Jepang, Matagi memulai perburuan musim dingin. Mereka berdoa sebelum memasuki alam suci gunung, lalu menghabiskan berjam-jam untuk mendengarkan, menunggu dan menonton apa yang biasa mereka nanti: tanda-tanda bahwa beruang hitam sudah dekat.

Kelompok yang semuanya lelaki ini membagi tugas; satu kelompok bertindak sebagai penjaga, yang lain sebagai umpan. Perlahan, beruang mendekat sebelum si penembak melepaskan pelurunya. Jalur merah darah tertoreh di salju putih, saat jasad beruang diseret ke dataran terdekat untuk “dibongkar” dan dipotong-potong menggunakan pisau tradisional Matagi. Bagian dari usus beruang ditinggalkan, sebagai persembahan kepada dewi gunung.

Semua anggota komunitas berburu memiliki hak yang sama mengenai daging dan kulit binatang, terlepas dari siapa yang mengeksekusi tembakannya. Setelah tertembak mati, beruang diseret ke dataran terdekat sehingga bisa "dibongkar" dan dipotong-potong. (Javier Corso)

Keformalan dan ketepatan spiritual dari tindakan membunuh ini membedakannya dari perburuan modern. Matagi adalah komunitas pemburu yang berasal dari abad ke 16. Setiap pemukiman di utara Honshu memiliki ciri khas Matagi tersendiri, tetapi semuanya menganggap diri mereka sebagai penjaga khusus keseimbangan alam. Di sisi lain, beruang hitam Jepang dianggap sebagai mangsa sekaligus spesies yang terancam punah, dan perburuan ini masih menjadi kontroversi.

Javier Corso menghabiskan 15 hari dengan Matagi, memotret bagaimana praktik mereka yang telah berlangsung selama 400 tahun tersebut dilakukan. Corso mengerjakan proyek tersebut sebagai bagian dari produksi perusahaan OAK, sebuah agen jurnalis, fotografer dan pembuat film yang berfokus pada cerita lokal. Dia bekerja sama dengan Alex Rodal, seorang kepala riset di OAK yang melakukan penelitian selama enam bulan di Matagi sebelum syuting dilakukan.

Kekuatan pemotongan yang dibuat dengan pisau matagi memungkinkan daging dan tendon hewan disayat hanya dengan satu pukulan. Cakar beruang dipisahkan dari bagian tubuh lainnya sebelum beruang dikuliti. (Javier Corso)

"Saya ingin menunjukkan asal usul komunitas ini sehingga orang bisa mengerti apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya," kata Corso. "Saya ingin menunjukkan ketenangan dalam perburuan dan komunikasi mereka dengan gunung."

Di samping kekasaran yang dilakukan apa adanya dari pembunuhan tersebut, potret Corso menyampaikan sebuah identitas yang sangat terkait dengan tempat dan binatang yang mereka buru. Perburuan adalah praktik spiritual yang sangat intensif, sehingga Corso adalah orang pertama yang diizinkan untuk mendokumentasikannya, selain fotografer Jepang Yasuhiro Tanaka.

Hideo-san adalah salah satu pemimpin komunitas Animatagi. Dia mengenakan pakaian tradisional dan memegang tombak yang sudah menjadi milik keluarganya selama sembilan generasi. (Javier Corso)

Corso dan timnya menghabiskan waktu lima hari dengan satu kelompok Matagi, mendapatkan kepercayaan dan belajar tentang budaya mereka, sebelum Corso dan tim diajak ke gunung. "Saya sangat terkesan dengan cara mereka berburu," ujar Corso. "Benar-benar penuh hormat," tambahnya. Meski mereka memakai pakaian modern, mereka berburu dengan senjata yang sama dengan yang digunakan nenek moyang mereka tujuh generasi yang lalu.

Sayangnya, perburuan mereka telah sangat dibatasi dalam beberapa tahun terakhir. Menyusul bencana nuklir di Fukushima pada tahun 2011, negara melarang banyak masyarakat Matagi untuk memasarkan daging beruang selama enam tahun karena kekhawatiran akan kontaminasi. "Mereka terpaksa mencari cara lain untuk mempertahankan diri," ucap Corso.

Kapten Sato menarik pisau Matagi-nya yang digunakan untuk memotong-motong beruang. Nama keluarganya terukir di mata pisau. (Javier Corso)

Selain itu, kini ada banyak pembatasan birokrasi seputar perburuan. "Ini adalah proses yang sangat membosankan dan mahal untuk mendapatkan lisensi berburu beruang hitam yang harus Anda perbarui setiap tiga tahun sekali, bahkan jika Anda tidak terlibat langsung dalam perburuan sebenarnya," kata Alex Rodal.

Seperti banyak komunitas bangsa yang tertua, praktik budaya mereka berada dalam ancaman berat. "Jika suatu hari beruang hitam Jepang tidak punah, Matagi tidak akan menjadi alasannya," Rodal menambahkan. "Saya pikir Matagi akan hilang sebelum beruang itu punah."

Kepala beruang hitam Jepang setelah dipotong dan dikuliti oleh pemburu Matagi. (Javier Corso)

Simak potret lain mengenai perburuan beruang hitam Jepang oleh Matagi pada halaman berikutnya.!break!

Sebagai bagian dari ritual berburu, Matagi memotong-motong beruang di hutan dengan tangan mereka sendiri, meninggalkan sebagian usus sebagai persembahan kepada dewi gunung. Sisanya akan dibagi sampai diangkut kembali ke desa. (Javier Corso)
Seorang pemburu Matagi merokok di kaki gunung setelah berhasil menyelesaikan perburuan. (Javier Corso)
Para pemburu sekarang menggunakan senapan dan pakaian modern, dikombinasikan dengan peralatan tradisional dari komunitas mereka sendiri. Matagi abad ke-20 adalah penembak yang ahli. Warna-warna cerah rompi mereka berfungsi untuk membedakannya dari dedaunan dan menghindari kecelakaan. (Javier Corso)
Setelah membagikan mangsa, pemburu Oguni berkumpul di dalam rumah Kapten Sato untuk memulai sebuah ritual. Endo-san, salah satu Matagi yang paling dihormati di masyarakat, memimpin doa dengan jantuan beruang dan sebotol sake. (Javier Corso)
Setelah perburuan selesai, semua anggota saling berbagi hasil perburuannya. Setiap orang berhak atas proporsi daging dan kulit yang sama. (Javier Corso)
Foto sekelompok pemburu Matagi pada awal abad ke-20. Awalnya, mereka berburu menggunakan tombak hingga beralih ke senapan, sesaat sebelum Perang Dunia II. (Javier Corso)