Perahu kayu itu terlihat megah di ruang luas Museum La Boverei di kota Liege, Belgia. Pengunjung museum banyak yang mengagumi perahu tradisional asal Sulawesi Selatan itu. Jenis perahunya adalah Padewakang, yang ukurannya dibuat sama dengan yang aslinya alias skala satu banding satu.
Ukuran panjangnya 12 meter dengan lebar 3 meter. Layarnya terbuat daun pohon gebang, yaitu pohon sejenis lontar. Ditenun lalu dijahit, di tiap sisi kasih tali ijuk untuk memperkuat layar. Bentuk layarnya kotak, persis seperti gambar perahu yang ada di candi Borobudur.
Perahu itu menjadi salah satu yang paling menarik perhatian pengunjung pameran Kingdom of The Sea Archipelago, yang diadakan dalam rangkaian festival seni Europalia 2017. Indonesia tampil dalam festival ini yang diadakan di beberapa negara Eropa seperti Belgia, Perancis, Belanda, Inggris, Jerman dan Polandia.
Awalnya yang ingin dipamerkan adalah perahu Pinisi Nusantara. Untuk mewujudkan ide itu diundanglah beberapa ahli perahu tradisional Nusantara pada Februari 2017 yang lalu untuk bertukar pandang di Museum Nasional Jakarta.
Mereka adalah Muhammad Ridwan, jurnalis yang menulis buku tentang perahu, lalu ada Prof. Dr. Singgih dari Unipersitas Diponegoro Semarang, Prof. Dr. Gusti Asnan dari Universitas Andalas Padang, Horst Liebner peneliti perahu Nusantara dan Abdul Rahman Hamid, mahasiswa doktoral di Universitas Indonesia.
“Di pertemuan di Museum Nasional itu ada beberapa usulan perahu. Pinisi, Pajala dan Padewakang,” terang jurnalis Muhammad Ridwan. Ia dan Horst Liebner yang kemudian ditunjuk sebagai anggota tim untuk membuat perahu ini sebagai konsultan.
Untuk membuat Pinisi tidak memungkinkan karena terlalu besar. Kalau perahu Pajala terlalu sederhana walau memang lebih kuno. Lalu Muhammad Ridwan mengusulkan untuk membuat perahu Padewakang saja. Dan dibuat dengan ukuran aslinya, skala satu banding satu.
Usulnya pun diterima, lagi pula dari segi sejarah perahu Padewakang itu berperan di perdagangan rempah. Perahu ini juga yang digunakan untuk mencari tripang sampai ke Australia. Kebetulan Muhammad Ridwan pernah juga merekontruksi perahu kuno tradisional dua tahun lalu.
Baca juga: Jendela Nusantara, Jurus Kementerian Pariwisata Perkenalkan Kekayaan Indonesia
Perahu Padewakang ini memang unik, mempunyai layar khas perahu Austronesia, yakni jenis layar tanjaq yang berbentuk segi empat. Jenis layar ini sejenis dengan apa yang ada di gambar perahu candi Borobudur.
Lalu Muhammad Ridwan dan Horst Liebner mulai mendesain perahu Padewakang ini. Desainnya berdasar catatan, hasil riset, relief Borobudur dan foto-foto klasik yang dimiliki Horst. Kemudian diperkuat dengan pengetahuan lokal pembuat perahunya di Bulukumba di Sulawesi Selatan.
Padewakang masih bisa ditemukan di catatan-catatan Belanda, yang merujuk pada jenis perahu yang sekarang dipamerkan di museum La Boveire di Lige, Belgia itu.
Pada abad ke-19, ketika Nusantara makin banyak didatangi kapal-kapal Eropa, para pembuat perahu dan pelaut mengadopsi jenis layar Eropa ke Perahu padewakang.
“Nah, disinilah evolusi awal Pinisi. Banyak orang tidak tahu Pinisi itu adalah hasil evolusi dari Padewakang,” jelas Muhammad Ridwan. Padewakang adalah cikal bakalnya Pinisi Nusantara.
Proses awal pembuatan Padewakang ini di Bulukumba, memakan waktu selama bulan Mei sampai Agustus 2017 atau lima bulan. Layarnya dibuat di Mandar, yang berjarak lebih 500 km dari Bulukumba. Setelah selesai, pada bulan September dibongkar untuk dikirim ke Jakarta. Lalu dipaketkan dengan artefak-artefak lain yang akan dipamerkan ke Belgia.
Awalnya ada tujuh tukang perahu dari Tanah Beru, Bukukumba yang terlibat pembuatannya. Proses pembuatannya bisa kita lihat di saluran sosial media Youtube. Ketika proses perakitannya di museum La Boveire hanya empat tukang perahu yang ikut.
Mereka adalah H. Ali, adiknya H. Usman dan Bahri, serta Budiman anak H. Ali. Tiga bersaudara itu adalah anak panrita lopi (pembuat perahu) terkenal di Tana Beru, Bulukumba, yaitu H. Jafar yang sekarang berusia lebih dari 80 tahun.
Padewakang kemabali dirakit di Belgia mulai tanggal 12 Oktober dan selesai tanggal 23 Oktober. Tanggal 24 Oktober 2017 pameran diresmikan.
Baca juga: Cry Jailolo, Tangisan Alam Halmahera dalam Tarian
Selama merakit kembali Padewakang di Belgia tidak ada kendala berarti kecuali satu soal yaitu: “Makanan! Hehehehe,” cerita Muhammad Ridwan sembari tersenyum.
Mereka sudah membawa ahli masak khusus, Nurwahidah, yang masih bersaudara dengan pembuat perahu. Namun sayangnya 10 kg beras, mie, sambal dan ikan-ikan kering yang dibawa langsung ludes dalam sepekan! Maklum membuat perahu perlu tenaga besar, asupan makanan pun menjadi perlu porsi yang sepadan.
Mereka mencoba beli makanan halal di rumah makan Turki dan Maroko seperti Kebab dan lain-lain tapi tak cocok dilidah. Akhirnya beli beras dan masak sendiri dengan menu telur setiap hari! Kisah-kisah lucu soal makanan ini bisa dilihat di akun sosial media instagram Muhammad Ridwan.
Akhirnya perahu selesai dirakit tepat pada waktunya walau sedikit ada kekhawatiran tidak cukup waktunya. “Karena tinggal pasang saja, itu tidak terlalu berat,“ jelas Ridwan.
Tanggal 25 Oktober 2017 tim pembuat perahu kembali ke tanah air.
“Kami happy-lah karena perahu bisa selesai tepat waktu dan bagi tukang perahu bangga sebab karyanya bisa jadi duta bangsa dan dipamer berbulan-bulan,” kata Ridwan menutup wawancara.
Perahu Pandewakang adalah salah satu bentuk kesenian dan kebudayaan Indonesia yang ditampilkan dalam pameran Kingdom of The Sea Archipelago di Museum La Boveire di Belgia. Artefak-artefak dan karya seni yang berhubungan dengan dunia kemaritiman di Nusantara dipamerkan di museum ini.
Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang diundang Europalia International untuk tampil di Eroapa. Ada 400 penampilan berbagai macam cabang seni, termasuk pertunjukan dan pameran yang berlangsung selama empat bulan, dari Oktober 2017 sampai Januari 2018.