Fisikawan dan ilmuwan Stephen Hawking meninggal dunia pada Rabu (14/3/2018). Profesor Cambridge ini meninggal dunia pada usia 76 tahun.
Sepanjang hidupnya, Hawking dibayang-bayangi diagnosis dokter tentang umurnya yang singkat. Saat berumur 21 tahun, Hawking mengidap penyakit motor neuron. Dokter menyatakan, ia tidak akan bertahan hidup lebih dari dua tahun. Namun, nyatanya, Hawking bisa hidup hingga 55 tahun ke depan.
Hawking mengatakan, hidup dengan penyakit tersebut dan diagnosis yang menyertainya memberikan pendekatan filosofis untuk kematiannya sendiri. Ia ingin melakukan banyak hal sebelum itu terjadi.
(Baca juga: Kabar Duka Bagi Dunia Sains: Stephen Hawking Meninggal Dunia)
“Saya telah hidup dengan prospek kematian dini selama 49 tahun. Saya tidak takut pada kematian, namun saya juga tidak terburu-buru untuk mati. Banyak hal yang ingin saya lakukan terlebih dahulu,” kata Hawking kepada The Guardian di 2011.
Pada wawancara yang sama, pria kelahiran 8 Januari 1942 ini menyatakan bahwa dirinya kurang setuju dengan keyakinan orang-orang terhadap alam baka.
Hawking mengatakan, dia tidak mengharapkan siapa pun untuk menyambutnya setelah meninggal.
“Saya menganggap otak seperti komputer yang akan berhenti bekerja jika komponennya rusak. Tidak ada surga atau kehidupan setelah mati yang bisa memperbaikinya. Itu seperti cerita dongeng bagi anak-anak yang takut kegelapan,” paparnya.
(Baca juga: Mengapa Stephen Hawking Mampu Bertahan Hidup dengan ALS?)
Menurut Hawking, tidak perlu akhirat untuk memotivasi seseorang bersikap baik ketika masih hidup.
“Saat hidup, kita harus mencari nilai-nilai terbaik atas tindakan yang dilakukan,” kata ayah tiga anak ini.
Profesor Hawking memang terkenal akan kritiknya terhadap gagasan mengenai akhirat dan konsep ketuhanan.
Ia mengatakan, wajar jika kita percaya kepada ilahi sebelum memahami sains. Namun saat ini, ilmu pengetahuan bisa memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai apa pun.