Di Death Zone, Tubuh Pendaki yang Telah Tiada Dijadikan Patokan Jalur Perjalanan

By , Minggu, 1 April 2018 | 08:00 WIB

Death Zone atau Zona Kematian adalah julukan bagi medan yang berada di ketinggian 8.000 mdpl, setara dengan ketinggian terbang sebuah kapal jet. Mau tidak mau, para pendaki harus memasuki wilayah ini untuk mencapai puncak Everest yang berada di ketinggian 8.848 mdpl.

Pada ketinggian ini, manusia tidak bisa berdaptasi dengan baik, karena kadar oksigen yang ada di wilayah terebut hanya berkisar 30%. Bayangkan Anda harus mendaki gunung dengan medan yang curam, terengah-engah dengan dingin menusuk tulang, serta menghirup oksigen yang hanya sepertiga dibandingkan dengan yang Anda hirup sekarang.

Baca juga: Perempuan Pendaki Indonesia Menuju Everest, Puncak Tertinggi di Bumi

Selain membahayakan nyawa, julukan nama Death Zone juga diberikan karena hingga saat ini, ada sekitar 200 hingga 300 tubuh manusia yang telah tiada yang berada di zona tersebut.

Penyebab kematian itu sendiri amat beragam, mulai dari hipotermia (keadaan suhu tubuh yang terus menurun di bawah titik normal manusia), terjatuh, juga karena kehabisan oksigen.

Hal-hal kecil yang biasa kita alami sehari-hari, saat terjadi pada ketinggian ini dapat berakibat sangat fatal. Bahkan, beberapa pendaki meninggal akibat mengalami batuk saat berada di zona Death Zone. Batuk pada kondisi lingkungan seperti ini dapat menyebabkan tulang rusuk patah.

Para pendaki yang meninggal pada death zone di biarkan membeku dan mematung, dengan berbalut pakaian terakhir yang mereka kenakan. Pengevakuasian merupakan sebuah misi bunuh diri, apalagi dibutuhkan biaya dan sumber daya manusia yang berlimpah untuk melakukan evakuasi.

Sebuah hal yang wajar saat melihat tubuh pendaki dan melangkah melewatinya di sepanjang jalur di area Death Zone di Everest. Bahkan, tubuh para pendaki tersebut menjadi tengara bagi para pendaki yang hendak menuju puncak.

Green Boots adalah salah satu tengara atau patokan dalam perjalanan menuju puncak Everest di jalur timur laut. Nama ini diambil dari sepatu bot berwarna hijau menyala milik Tsewang Paljor, seorang pendaki berkebangsaan India yang kehilangan nyawanya di Everest pada 1996. (Maxwelljo40/Wikimedia Commons)

Contohnya adalah patokan "green boots" di jalur timur laut, yang dipercaya sebagai Tsewang Paljor, seorang pendaki berkebangsaan India yang kehilangan nyawanya di Everest pada 1996.

Julukan green boots ini berasal dari sepatu botnya yang berwarna hijau cerah. Namun, pada 2014, patokan ini sempat menghilang. Bisa jadi karena dipindahkan atau telah terkubur, dan dilaporkan terlihat kembali pada 2017.

Namun, banyaknya pendaki yang kehilangan nyawanya di Death Zone tidak membuktikan bahwa zona tersebut tidak bisa dilewati. Bahkan, pada 8 Mei 1978, Reinhold Messner dan Peter Habeler melakukan hal yang sebelumnya dianggap mustahil, yaitu berhasil melewati Death Zone tanpa menggunakan tabung oksigen.

Baca juga: Kenali Tipe Sakit Kepala dan Penyebabnya Ini

Kini, Fransiska Dimitri Inkiriwang (24) dan Mathilda Dwi Lestari (24) yang tergabung dalam tim WISSEMU (the Women of Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala Unpar), akan berusaha untuk mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Everest pada pertengahan Mei 2018 melalui jalur utara, menggenapi pendakian mereka menuju 7 puncak di 7 lempeng benua untuk mengharumkan nama Indonesia.