Di Everest Base Camp, Srikandi Indonesia Bersiap Hadapi Medan Ekstrem

By , Selasa, 24 April 2018 | 17:00 WIB

EBC atau Everest Base Camp, terletak di ketinggian 5.150 meter di atas permukaan laut, lebih tinggi daripada puncak tertinggi di Nusantara, yaitu puncak Ndugu-ndugu atau Carstensz Pyramid, yang memiliki ketinggian 4.884 mpdl.

Setelah tiba di tempat ini pada minggu silam, putri pendaki WISSEMU (Women of Indonesia's Seven Summits Expedition Mahitala Unpar), yaitu Fransiska Dimitri Inkiriwang (24) dan Mathilda Dwi Lestari (24), langsung disibukkan dengan kegiatan pemantapan keterampilan, terkait tali temali dan SRT (Single Rope Technique).  Mereka juga mengulang kembali teknik penggunaan crampon atau penggunaan alas sepatu khusus di medan es.

Baca juga: Kanada dan Denmark Terlibat "Perang Paling Sopan" Karena Berebut Pulau

Mengapa hal ini menjadi amat penting saat mendaki Everest?

Pada pendakian rangkaian pegunungan salju, akan terdapat sangat banyak fixed rope atau tali panjat, yang terpasang di bebatuan yang kokoh. Seringnya diapit oleh jurang yang menganga di sisi kiri dan kanan, tali panjat ini sengaja dipasang untuk membantu para pendaki menaiki dan menuruni medan, sehingga keselamatan mereka lebih terjaga. Teknik naik dan turun menggunakan tali tersebut inilah yang dinamakan Single Rope Technique (SRT).

Mathilda melakukan pemantapan Single Rope Technique di medan bertebing di sekitar Everest Base Camp atau EBC, suatu keterampilan yang harus benar-benar dikuasai para pendaki saat menghadapi medan di ketinggian hingga 8.000 mdpl nanti. (Fransiska Dimitri Inkiriwang/WISSEMU)

Pemantapan keterampilan ini bahkan dilakukan selama berhari-hari di EBC. Setelah berkutat dengan latihan penggunaan tali temali di Base Camp, keesokan harinya tim WISSEMU mempraktikkan teknik pemanjatan tersebut di salah satu tebing di dekat sana, yang memiliki ketinggian 5.420 mdpl.

Jalur yang harus mereka lalui untuk mencapai tempat latihan ini pun tidak mudah. Trek bebatuan dan sedikit licin harus dilalui, sehingga tim WISSEMU harus lebih berhati-hati melangkah, ditemani cuaca yang cerah berangin.

Selama berhari-hari menghabiskan waktu di EBC sambil mempersiapkan diri menuju puncak, para pendaki sangat dianjurkan untuk terus melakukan kegiatan, agar tubuh dapat beradaptasi dengan baik terhadap keadaan sekitar, atau beraklimatisasi. Biasanya, setelah latihan penggunaan tali-temali selesai, sisa hari dipakai untuk melakukan olahraga ringan seperti berlatih yoga di dalam tenda hiburan.

Selain mempraktikkan SRT, para pendaki Everest juga pergi ke daerah bersalju di sekitar EBC, untuk mempraktikkan penggunaan crampon. Crampon merupakan perangkat yang digunakan pada alas sepatu, untuk membantu pendaki menghadapi medan berlapis salju dan es.

Baca juga: Teleskop Hubble Ulang Tahun, NASA Rilis Video Lagoon Nebula

Fransiska melakukan latihan menggunakan crampon di medan bersalju di sekitar Everest Base Camp untuk membiasakan diri menghadapi medan pendakian seperti gletser. (Mathilda Dwi Lestari/WISSEMU)

Perlengkapan ini berwujud semacam gerigi yang ditempelkan pada alas sepatu, sehingga dapat mencengkram tanah yang tertutup salju dengan lebih baik. Crampon juga menjanjikan stabilitas yang lebih baik saat berjalan di gletser, atau lapisan besar es yang bergerak turun perlahan-lahan di lereng gunung atau di dataran.

Ini merupakan hal yang amat penting, karena selanjutnya dalam perjalanan dari Advanced Base Camp di ketinggian lebih dari 6.000 meter di atas permukaan laut menuju kamp-kamp selanjutnya, medan yang mereka temui akan berubah menjadi ekstrem. Contohnya saat tim WISSEMU mencapai Camp 2, salah satu medan ekstrem yang akan mereka temui adalah gletser.