Gereja Anglikan, Jejak Orang-orang Inggris pada Zaman Bahari Jakarta

By National Geographic Indonesia, Senin, 7 Maret 2022 | 08:00 WIB
Pendeta Agustinus Titi menunjuk batu peringatan Perang Dunia Kedua di interior Gereja Inggris All Saints atau All Saints Anglican Church di Jakarta Pusat. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

 

    

Oleh Denty Piawai Nastiti

  

Nationalgeographic.co.id—Kepala saya terasa senut-senut. Panas matahari menyengat. Debu-debu beterbangan. Di seberang Tugu Tani, saya menyandarkan sepeda motor. Kemudian, saya memasuki sehamparan pekarangan nan teduh.

Nyesss… Begitu sampai, rasanya seperti menemukan nirwana di tengah kebisingan kota. Gereja yang yang tiga tahun lagi akan merayakan usia ke-200 tahun itu terasa sejuk dan asri dengan rimbunnya pepohonan. Bagi saya, ini merupakan kunjungan pertama ke All Saints Anglican Church—atau biasa disebut Gereja Anglikan atau Gereja Inggris All Saints. Dari luar hampir tak terlihat bentuk gereja karena bangunan itu dikelilingi pagar setinggi lima meter.

Dari luar, Gereja Anglikan memang terlihat kaku dan dingin. Namun, begitu menjejakkan kaki ke pekarangannya, saya menemukan halaman dengan pepohonan yang menyejukkan. Bunga-bunga bermekaran. Buah-buah tumbuh subur. Pagar dan pepohonan seakan membentengi gereja dari riuhnya Jakarta. Bahkan, memisahkan masa silam dan masa kini.

Saya berencana menjumpai Pendeta Agustinus Titi, imam Indonesia pertama yang ditahbiskan di gereja ini. “Maaf ya, harus menunggu,” kata Agustinus. “Saya kurang paham komputer. Karena sekarang era teknologi, saya harus minta bantuan anak muda untuk mengurus tampilan doa di layar lebar.”

Awalnya, Gereja Anglikan sungguh bersahaja, pondokan kayu yang dibangun oleh J. Slater, seorang misionaris Baptis, pada 1821. Slater membeli tanah beserta sebuah rumah bambu dengan harga delapan ratus dolar Spanyol. Setelah rumah itu dibakar bersama banyak buku Injil dalam bahasa Tionghoa, Slater meninggalkan Batavia.

Anak-anak bermain di pekarangan depan Gereja Inggris All Saints, yang didirikan oleh W.H. Medhurst ini awalnya memiliki corak kapel gaya tropis-eropa. Dia mendirikan asrama pertama di Batavia bagi penyandang difabel (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Pada 1822, misionaris Inggris, Walter Henry Medhurst (1776-1857) diutus London Missionary Society ke Batavia untuk meneruskan rintisan Slater. Dia mulai mengadakan ibadat dalam bahasa Inggris, juga mendirikan sekolah dan asrama pertama untuk kaum difabel di Batavia. Pada 1829, Medhurst membangun Gereja Anglikan dan kediaman pendeta.

Pada mulanya, gereja ini tidak memiliki tembok luar, hanya tiang-tiang batu bata yang diplester. Gereja itu memiliki selasar di bagian kiri dan kanannya yang dikelilingi kerai bambu. Namun, sekarang, sebagian bentuk gereja sudah berubah. Di antara tiang luar gereja, misalnya, dibangun tembok putih dengan jendela-jendela kaca berukuran besar. Agar tidak panas, gereja dilengkapi kipas angin dan penyejuk udara.

Umat beribadah di dalam Gereja Inggris All Saints, Jakarta. Gereja ini menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)