Menulis Media Lontar: Pelestarian Sejarah Tradisi Pencatatan Nusantara

By Ratu Haiu Dianee, Kamis, 7 April 2022 | 11:00 WIB
Setelah menggoreskan pengrupak pada daun lontar, minyak hasil dari kemiri yang dibakar lalu dioleskan pada tulisan sebagai tinta. Kini, tradisi menulis lontar di Jawa sangat jarang ditemui. Tak banyak orang yang tahu, apalagi melestarikannya. (Ratu Haiu Dianee)

Nationalgeographic.co.id—Manuskrip pada daun lontar menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan budaya peradaban serta literasi kuno di Nusantara.

Kata 'lontar' berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa Kuno, 'ron' artinya daun dan 'tal' artinya pohon tal. Artinya, 'daun pohon tal'. Pohon tal dengan nama latin Borassus flabellifer L, termasuk dalam keluarga pohon palma yang biasa banyak tumbuh di kawasan Asia Tenggara. Kita telanjur menyebut pohon ini dengan lontar.

Daun ini banyak digunakan oleh masyarakat Hindu sebagai bagian dari sesajen dalam peribadatan. Selain itu, juga dipergunakan sebagai anyaman, pembungkus makanan, dan salah satu media menulis. Dahulu, tidak sembarang orang yang mengunakan daun lontar sebagai media tulis. Kebanyakan hanya kalangan sastrawan atau pendeta, atau kaum ajar.

Mereka menulis pada lontar karena peradaban kertas belum sampai di Jawa. Selain itu, menulis daun tal berperan sebagai alternatif dari menulis pada batu ataupun logam.

Menulis dengan Media Lontar

Manuskrip lontar dibagi menjadi dua jenis, yaitu prasi (gambar) dan tulisan seperti pada naskah-naskah kuno. Salah satu naskah kuno yang menggunakan media lontar adalah naskah kuno Merapi-Merbabu.

Di antaranya terdiri atas naskah kakawin, mantra, parwa, kidung, tutur, putru, dan lain sebagainya. Masing-masing dari naskah tersebut ditulis menggunakan lontar dan aksara Jawa.

Dalam menulis media lontar, diperlukan proses awal pembuatan. Awalnya, daun pada pohon tal yang telah dipotong lalu direndam dalam air selama sebulan.

Menulis daun lontar dengan menggunakan pengrupak. (Ratu Haiu Dianee)

Setiap harinya air tersebut harus diganti, supaya menghindari kotoran dan bercak pada daun. Kemudian setelah melewati perendaman selama sebulan penuh, daun dikeringkan sampai benar-benar kering.

Daun yang telah kering kemudian direbus menggunakan rempah-rempah tertentu selama sekitar 6-8 jam. Setelah itu, daun dikeringkan dan dipres selama enam bulan hingga satu tahun.

Dalam proses pengepresan, daun hanya boleh sesekali dibuka untuk dibersihkan saja. Tujuannya, supaya media daun lontar tidak mudah rusak, awet, serta lebih lentur.

Selain menggunakan lontar, kita membutuhkan pengrupak atau pengutik yang merupakan alat untuk mengukir atau menggores. Setelah penggoresan pada daun, minyak hasil kemiri yang dibakar dioleskan pada daun yang telah digores. Dalam hal ini minyak kemiri digunakan sebagai tinta tradisional.

Penggoresan perlu memerhatikan tekanan supaya menghindari kerusakan pada lontar dan akses minyak kemiri yang diserap daun.

Komunitas pegiat Heritage Salatiga sedang menjelaskan mengenai daun lontar dan sejarah tradisinya saat workshop. (Heritage Salatiga)

Perjalanan Media Lontar dari Jawa ke Bali      

Pada awalnya, media lontar ini merupakan peradaban yang ada di Jawa. Namun, seiring migrasi orng-orang Jawa ke arah timur—seperti Bali— budaya ini jarang ditemui di Jawa. Pada kenyataannya, hari ini tidak banyak orang yang tahu, apalagi melestarikan tradisi menulis lontar ini khususnya di Jawa.

Pada akhir Maret silam, para pegiat Komunitas Salatiga Heritage melalui program mereka yang diberi nama Kalantara Project, telah menyelenggarakan lokakarya menulis pada lontar. Masyarakat umum mengikutinya saat acara Gelaran Kuliner dan Budaya Kelurahan Kutowinangun Kidul, Salatiga.

Menulis daun lontar dengan menggunakan aksara Korea atau Hangul pada salah satu peserta workshop. (Ratu Haiu Dianee)

Para pegiat Salatiga Heritage memberikan arahan dan penjelasan mengenai sejarah tradisi menulis pada lontar kepada para peserta. Bahkan, peserta turut berkreasi menulis dengan lontar.

Warin Darsono, salah satu pegiat Salatiga Heritage, mengungkapkan bahwa para pesertanya tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak muda atau pelajar. Kegiatan ini memang ditujukan "supaya mereka mengenal tradisi menulis pada masa silam yang bahkan mungkin mereka belum pernah ketahui sebelumnya."

"Biasanya, mereka akan menceritakannya kepada teman-teman mereka," imbuhnya. "Karena kami memgajari mereka dengan cara yang unik dan tidak membosankan seperti menggabungkan workshop menulis dengan narasi sejarah dan gim-gim seru.”

Lontar yang digunakan adalah lontar muda untuk pemula. Selain lontar, pegiat Salatiga Heritage juga memperkenalkan daluang yang merupakan kertas asli Nusantara.

     

Baca Juga: Selidik Ahli Epigrafi: Nusantara dan Skandal Ilmiah Sejarah Majapahit

Baca Juga: Prasasti Mpu Sindok Ditemukan di Situs Gemekan, Apakah Isinya Kutukan?

Baca Juga: Selidik Makna Prasasti Plumpungan Berusia Lebih dari Seribu Tahun

   

Daluang merupakan lembaran tipis yang dibuat dari kulit pohon daluang atau paper mulberry dengan nama latin Broussonetia papyrifera. Kini, keberadaan pohon ini sudah sangat langka. Daluang, sama halnya dengan lontar, sebagai media menulis pada masa lalu sebelum adanya kertas modern.

"Untuk daluang, kami juga budidayakan sendiri karena pohon ini sudah sangat langka. Kegiatan ini sudah sering kami laksanakan dan saat ini kami sudah mulai merambah masuk ke sekolah-sekolah," ungkap Surotun, pegiat Salatiga Heritage yang juga juru pelihara dan pemandu Prasasti Plumpungan.

Lokakarya ini telah mengenalkan kembali sekaligus melestarikan tradisi menulis pada lontar seperti pada peradaban klasik kepada masyarakat sekarang, terutama kepada anak-anak muda.

“Aksara yang digunakan juga tidak hanya aksara Jawa, namun juga Arab, Korea, Jepang, atau yang lain. Kami beberapa kali juga menerima tamu dari luar negeri—seperti Amerika, Belanda, Rusia, Kanada, dan Jerman—yang tertarik untuk belajar menulis aksara di daun lontar ini,” tambah Warin.