Bagaimana Wajah Kota Jakarta di Mata Pujangga Chairil Anwar?

By National Geographic Indonesia, Kamis, 28 April 2022 | 07:00 WIB
Suasana pantai Cilincing di sore hari. Di Cilincing selain suka menyepi dengan bukunya, Chairil juga bertemu dengan pujaan hatinya, Mirat. Kini, pantai itu bertanggul karena laut yang naik. Jakarta di Mata Sang Pujangga, National Geographic Indonesia edisi Juni 2017. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia )

Nationalgeographic.co.id—“Lewat sajak Chairil Anwar, kita bisa belajar bagaimana menjadi warga kota yang baik dan menjadikan kota ini nyaman ditinggali.”  

Marco Kusumawijaya, arsitek yang banyak menulis tentang isu arsitektur dan kota, menyimpulkan hal itu dalam pertemuan kami pada suatu Jumat, April lalu, di kantornya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Menurut Marco, Chairil yang tampak sangat individualis pada sajak-sajak awalnya, berubah menjadi orang yang sangat sadar bahwa dia adalah bagian dari orang banyak, bagian dari penduduk sebuah kota yang bernasib sama. Marco merujuk sajak “Aku Berkisar antara Mereka”.    

Sajak yang dirujuk Marco memang tak se-terkenal “Aku” yang sudah menjadi viral sejak pertama kali tulis, “Diponegoro”  atau “Krawang Bekasi” yang heroik dan seakan jadi sajak wajib dalam lomba deklamasi. Akan tetapi, sajak itu adalah bahan penting untuk berbagai penelitian.  Marco memakai sajak 21 larik itu sebagai bahan kajian untuk gelar masternya di Belgia yang me-nelaah tentang kota dan modernitas.   

Tertarik menyelami alam pikiran Chairil dalam mengamati Jakarta, pada Sabtu pagi yang teduh April itu juga, saya bersama editor Mahandis Yoanata Thamrin dan fotografer Rahmad Azhar menelusuri jejak-jejak terakhir Chairil Anwar di Jakarta. Kami berjalan kaki dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak. Itulah dua titik yang ditempuh iring-iringan pengantar jenazah sang penyair, 29 April 1949, dan sebelum kematiannya. Di antara dua tempat itulah Chairil menghabiskan masa-masa hidupnya di Jakarta. Kami meminjam mata Chairil, mencoba memindai kota Jakarta, untuk mendapatkan kenyataan dari sudut pandang lain, sudut pandang seorang pujangga, pada kota yang mengilhami sajak-sajaknya.  

Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949). Dia telah menulis 72 sajak asli, 2 sajak saduran, 11 sajak terjemahan, 7 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Jadi, semuanya 96 tulisan yang sampai pada kita. (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin)

Chairil adalah manusia kota. Ia berasal dari Medan, kota yang makmur dan mencorong reputasinya pada masa itu. Ketika ia datang ke Batavia, pada 1942, ia tak perlu banyak ber-adaptasi. Bagaimana membandingkan Medan dan Batavia waktu itu? Pertanyaan ini membawa saya ke lobi Gedung III, Kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, untuk bertemu R. Achmad Sunjayadi. Pengajar di Jurusan Sejarah ini pernah menjadi koordinator Program Studi Belanda.

“Medan memang bukan kampung. Peng-huninya tidak hanya orang pribumi, orang Eropa juga ada di situ. Saya melihat kenapa Chairil memilih Batavia mungkin karena begitu kuat daya tarik Batavia sebagai kota metropolitan,” kata sejarawan yang gelar masternya pada 2006 diperoleh lewat tesis “Vereeniging Toeristenverkeer Batavia 1908-1942: Awal Turisme Modern di Jawa.”

Chairil datang dengan kepercayaan diri yang penuh, juga dengan kegamangan seorang remaja yang wajar. Di tahun-tahun awal itu, ia menulis bait: …tak acuh apa-apa / Gembira-girang / Biar hujan datang / Kita mandi-basahkan diri, Tahu pasti sebentar kering lagi (“Ajakan”, Februari 1943). Akan tetapi, pada saat yang sama di sajak lain ia juga menulis: …hidupnya tambah sepi, tambah hampa… bahaya dari tiap sudut (“Sendiri”, Februari 1943). 

"Ini kali tidak ada yang mencari cinta. Di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut." -Senja di Pelabuhan Kecil-

Pada hari-hari pertamanya di Jakarta, Chairil dan ibunya tinggal bersama pamannya, Sutan Sjahrir, di Jalan Damrink 19, kini bernama Jalan Latuharhary. Potongan fakta ini menjadi pertimbangan kami ketika membuat jalur pe-nelusuran pertama. Titik awal dan akhir sudah kami tentukan, RSCM  menuju  TPU Karet Bivak, Karet Tengsin, Jakarta Pusat.

RSCM dulu bernama Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ), ada di Jalan Diponegoro 71. Nama dr. Cipto Mangunkusumo dilekatkan pada institusi ini pada tahun 1964. Sepuluh hari lamanya Chairil dirawat di RSCM karena penyakit tifus, kerusakan pada sistem pencernaan dan usus. Dia meninggal pada Kamis siang, 28 April 1949. Koran Merdeka, pada edisi esoknya, menulis: Mereka yang banyak bergaul dengan pujangga muda ini serta tahu keadaannya memang telah lama mengetahui bahwa jiwa yang melahirkan sajak-sajak yang indah ini terbungkus dalam jasmani rapuh yang selalu menderita sakit-sakit.  

Nyawa Chairil tak terselamatkan. Achmad Sunjayadi mencatat satu kalimat dalam surat Jassin kepada Saleha, ibunda Chairil di Medan. “Surat itu dikirim ketika Chairil masuk rumah sakit. Ada kalimat dalam surat itu yang bisa kita simpulkan, pada waktu itu kualitas rumah sakit di Medan lebih baik daripada di Jakarta. Seandainya Chairil sempat dibawa ke Medan mungkin nyawanya bisa diselamatkan,” katanya.

Chairil dan Sumirat dalam pementasan Perempuan Perempuan Chairil di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. (Titimangsa Foundation & Bakti Budaya Djarum Foundation)

Jalan Diponegoro, yang dulu bernama Oranje Boulevard menurut peta lama yang kami pakai, yaitu Batavia Military Guide Map (Penerbit Survey Dte. H.Q. AFNEI, December 1945), pagi itu agak lengang. Sekelompok lelaki di trotoar lebar dan bersih di seberang jalan berkumpul. Beberapa sambil minum kopi siap hidang dengan gelas plastik. Di jalan masuk ke RSCM ada beberapa bajaj dan motor ojek beraplikasi.

Di dalam kompleks RSCM, patung putih Dr. Cipto Mangunkusumo tegak di taman di tengah bangunan RSCM lama yang mudah dikenali dari desain tiang-tiang dan jendela yang tinggi dan lebar. Koridor sepi. Beberapa orang masih tertidur di kursi tunggu.  Rumah sakit sudah jauh berkembang, mengikuti kebutuhan melayani pasien. Ruang mayat ada di bagian belakang bangunan lama RSCM.

Ketika kabar kematian Chairil sampai ke M. Balfas, seorang penulis sezamannya, bersama Rivai Afin, bergegas ke RSCM.  Chairil sudah diletakkan di kamar mayat, ditutupi selimut yang memakai nama orang lain.  Balfas menemukan wajah sahabatnya yang,  Balfas mengenang, putih kejang, kulitnya seperti habis dibeset dengan paksa. Ada beberapa lembar jenggot yang jarang dan beberapa helai kumis di sudut. Seekor semut kecil leluasa berkeliaran di mukanya. 

Kesepian, sendiri, tak beralamat, tak ada keluarga yang merawat ketika sakit, dan me-numpang di rumah kawan adalah situasi tragis Chairil di tahun terakhir hidupnya. Situasi yang mengingatkan pada banyak bait sajaknya: Sedang aku mengembara seperti Ahasveros / Dikutuk sumpahi Eros (“Tak Sepadan”, 1943), di tubuhku ada luka sekarang, / bertambah lebar juga, mengeluar darah (“Kabar Dari Laut”, 1946), mengapa Ajal memanggil dulu / sebelum berpeluk dengan cintaku?! (“Cintaku Jauh di Pulau”, 1946), sebelum Aku terpanggang tinggal rangka (“Lagu Siul”, 1945).

Kembali ke rumah Jalan Damrink. Rumah itu kini dimiliki oleh Bank Indonesia dan digunakan sebagai rumah dinas salah satu pejabatnya. “Sekarang lagi direnovasi. Belum dihuni,” kata petugas keamanan rumah itu.

Rumah itu memiliki dua paviliun—juga bungker. Jika benar ini rumah yang dulu ditempati Sjahrir, di paviliun itulah Chairil pernah tinggal. Di ruang bawah tanah itulah, dahulu, ia dan Des Alwi, anak Banda yang diadopsi Sjahrir, menemukan sejumlah barang bekas dan menjualnya ke Pasar Senen. Jika kami sempat ragu, itu karena kini rumah itu tercatat dengan alamat Jalan Cicurug 19. Pintu masuk pagarnya memang dipindahkan ke samping, ke Jalan Cicurug. Sementara fasad depan menghadap ke jalan Latuharhary, berurutan dengan rumah nomor 20 (dengan bangunan yang tampaknya sama sekali belum dirombak dari kondisi awalnya, tetapi tampak terbiar karena tak berpenghuni) dan nomor 18 di sebelahnya. Jika benar ini rumah Sjahrir, inilah tempat tinggal Chairil paling baik.

Chairil gemar menyinggahi toko buku di Pasar Senen untuk mendapatkan ide membuat puisi. Para penggandrung literasi mengunjungi Senen sampai hari ini. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonsia)

Apa yang kami lihat ketika merandai sepanjang jalan antara Menteng, melewati stasiun Karet, jalan-jalan sempit dan pada rumah di kiri-kanannya, yang membawa kami menembus hingga TPU Karet Bivak, mengingatkan pada lingkungan orang kecil yang diakrabi Chairil: tukang bakso, penjual mie ayam, juga penjual sayur dengan gerobaknya.

Penyair peraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2012, Zeffry Alkatiri, untuk bukunya Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak, membaca sajak-sajak Chairil sebagai sajak urban, bukan sajak-sajak rural. Chairil menghayati dan mengenal kota Jakarta. Penyebutan permakaman “Karet” itu misalnya.

“Sejak dulu memang ada pemisahan soal permakaman ini; orang-orang Belanda di Menteng Pulo, keturunan Arab, orang Kristen di Petamburan, dan pribumi di Karet itu. Muhammad Husni Thamrin kan dimakamkan di sana, bukan di Kalibata karena memang belum ada,” kata pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu.

"Rumahku dari unggun-timbun sajak. Di sini aku berbini dan beranak. Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang. Aku tidak lagi meraih petang." -Rumahku, 27 April 1943-

Seniman dan kota memang tak bisa ter-pisah-kan. Zeffry mengingat bagaimana di kawasan Pasar Senen dahulu menjadi tempat berkumpul seniman, lalu akhirnya lahir sebutan “Seniman Senen” yang antara lain menonjolkan nama Misbach Yusa Biran dan Ajip Rosidi. “Mereka itulah yang kemudian mengusulkan kepada Gubernur Ali Sadikin pentingnya satu tempat yang menjadi pusat kesenian. Lalu, lahirlah Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta,” papar Zeffry.

Marco pernah mengemban kepercayaan sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2006-2010. Ia tahu benar bagaimana lembaga itu tak lagi punya peran sepenting tahun-tahun awal kehadirannya. “Ya, memang DKJ dan TIM adalah implantasi Seniman Senen, pindah mereka ke situ. Seniman yang lebih muda kemudian datang, seperti Rendra dan Sardono W. Kusumo. Sampai 1980, saya kira TIM masih menjadi Mekkah-nya seni Indonesia, tetapi kemudian memang ada keterbengkalaian di era Orde Baru, otoritas dan anggarannya disunat terus,” ujarnya.

Zeffry lahir di Jakarta. Masa kecilnya masih bisa dia ingat dan menjadi bahan tulisan nostalgis dalam beberapa buku. Soal pasar, misalnya. Kenapa Senen jadi tempat seniman berkumpul? “Karena itu pasar hidup 24 jam. Pasar lain, Tanah Abang, Pasar Baru, cuma pagi sampai sore. Penyebab lain, Senen itu murah. Segmennya menengah ke bawah. Makanya seniman ngumpulnya di sana, bisa nongkrong di emperan toko sampai pagi,” kata Zeffry.

Perkembangan kota Jakarta sendiri juga semakin kompleks, makin terdesentralisasi. Karet yang dulu pinggiran kini berada di tengah kota, dikepung gedung-gedung tinggi, jalan layang.  “Karet itu kan dulu di luar pusat, pada waktu dulu itu Groot Batavia hanya ingin membangun kawasan yang sekarang Monas, bukan yang ke pinggir. Pada 1970-80-an, Karet, Kuningan, bahkan Pondok Indah itu kampung. Orang yang biasa tinggal di kota dulu pasti gak mau tinggal di sana,” kata Achmad Sunjayadi.

Warga beraktivitas di halaman rumah yang langsung berbatasan dengan kereta api di Petamburan. Kemiskinan dan kesenjangan sosial menjadi salah satu yang diamati Chairil, yang digubahnya menjadi puisi. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonsia)

Marco mempertegas soal itu. “Saya rasa de-sentralisasi itu yang belum selesai kita sikapi. Dahulu satu tempat cukup, sekarang sudah pasti tidak cukup, kan? Maka orang juga berkumpul di Bintaro, di Salihara. Di TIM masih juga ada kegiatan, tetapi kini kegiatan ada di lebih banyak tempat, tak lagi satu. Sistem transportasi kita juga tak mendukung, orang tak bisa lagi sering bertemu karena jauh dan makan ongkos.”

“Ke TIM sekarang kalau tak penting atau tak menarik benar acaranya rasanya malas ya, sekarang. Ya transportasi itu yang terasa merepotkan, dan mahal kan, pakai kendaraan  umum atau pribadi sama ribet dan mahalnya,” kata Zeffry.

Dalam satu seminar tentang “Chairil Anwar dan Kota” pada 2008, Marco duduk sebagai salah satu pembentang makalah. “Saya tulis di makalah saya itu, kota memang tempat segala serentak terjadi. Chairil Anwar membangun keserentakan segala itu, baik pada isi maupun bentuk bangunan sajak itu,” ujar Marco.

Kamis pagi itu, perbincangan kami beralih dari kantornya di lantai tiga ke warung makan padang pada bangunan di sebelahnya. Ia membawa sepeda lipatnya. Kami bersama membaca sajak itu, dan menikmati bagaimana Chairil dengan tertib menata rima, seluruh larik sajaknya berakhiran dengan bunyi “a”. Ia bukan sekadar pertunjukan keterampilan menyair, kata Marco, tetapi isyarat betapa ketika bicara soal kota, dan memautkan dirinya dengan kota itu, Chairil dengan sadar bicara soal keteraturan, ketertiban, pola yang berulang.  

“Solidaritas, rasa senasib, derita yang sama, dirasakan ketika ada gangguan pada ketertiban itu, misalnya ketika trem terlambat dari jadwal. Sementara hari makin malam, ditimpa hujan pula, kan?” kata Marco.

Di sajak itu, Chairil dua kali mengulang larik: kami tunggu trem dari kota. Trem yang terlambat itu mengesalkan. Tetapi, mau apa? Marah?  “Tak akan teratasi masalahnya. Orang sejalang Chairil pun bahkan hanya melampiaskannya dengan menulis larik itu dua kali. Kesal dia. Tetapi, dalam sajak itu hanya sekeras itulah ia lampiaskan kekesalannya,” kata Marico.   

Pada 1946, di salah satu gerbong Kereta Luar Biasa—kini koleksi Museum Transportasi TMII—Chairil pernah menggoda jurnalis Mary Welsh, istri Ernest Hemingway. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonsia)

Trem, dalam catatan Zeffry, pada masanya adalah transportasi umum yang memadai. Rute Kota–Tanah Abang, Harmoni–Gunungsahari, Kota–Jatinegara, cukup untuk jumlah penduduk Jakarta pada zamannya. Tetapi, pertumbuhan penduduk kota membuat trem yang hanya terdiri dari dua atau tiga gerbong jadi tak cukup.  “Mulai muncul oplet, taksi gelap yang mangkal di Harmoni,” kata Zeffry. Tahun 70-an, kenangnya, yang pusing Gubernur Ali Sadikin. Pertumbuhan penduduk kota benar-benar tak terkejar oleh usaha menyediakan sarana transportasi yang cukup. Trem, akhirnya kini hanya tersisa dalam bait sajak Chairil.

Dalam perkisarannya, Chairil memindai kota. Bagian dari kota yang ia rekam itu menjadi  unsur dalam sajak-sajaknya. Dari sajaknya kita tahu, Pasar Baru, dulu menjadi pelarian warga kota ketika jiwa kesal dan tak tahu mau bikin apa. Di pasar baru mereka / Lalu mengada-menggaya / Mengikat sudah kesal / Tak tahu apa dibuat / Jiwa satu teman lucu / Dalam hidup dalam tuju (“Cerita”, 9 Juni 1943).  Atau, lari ke kedai minum yang pada saat itu—dan kini mungkin menjelma menjadi apa yang kita sebut kafe—Jangan kau berhenti di sini / Tuaknya tua, sedikit pula / Sedang kita mau berkendi-kendi …. Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris / Pelayannya kita dilayani gadis-gadis (“Jangan Kita di Sini Berhenti”, 24 Juli 1943). Gadis-gadis yang melayani minum itu, apa bedanya dengan pembicaraan kita tentang Jakarta hari-hari ini?  

Dua kelas di smp negeri 5 Jakarta di Jl. Dr. Soetomo, Pasar Baru, dirawat tetap seperti asalnya. Bangku dan meja kayu dengan permukaan miring masih dipertahankan. Kusen kayu jati, dinding beton tebal, dan lantai tegel menegaskan ketuaan bangunan tersebut. Saya mengunjungi sekolah itu Selasa siang di akhir April. Seorang siswi berkacamata sedang menunggu jemputan pulang. Dia menjawab tahu, ketika saya bertanya siapa Chairil Anwar. Tetapi, ketika saya beri tahu, bahwa Chairil Anwar, pernah sekolah di sekolahnya ketika dulu masih bernama MULO, dia mula-mula tak percaya.

Para penumpang menunggu bus Transjakarta di halte Senen, penantian yang juga pernah dialami Chairil saat menunggu trem lewat, yang dituangkannya dalam puisi berjudul 'Aku Berkisar Antara Mereka'. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonsia)

Fakta itu pun tak diketahui oleh beberapa pegawai tata usaha, kecuali bahwa bangunan itu adalah cagar budaya. Saya mengelilingi kompleks sekolah yang ditilik sekilas menampakkan kekhasan arsitektur era kolonial. Langit-langit ruangan yang tinggi, jendela-jendela yang jangkung, yang dirancang khusus untuk menepis hawa panas tropis tersekap.

Di ruang kelas itu, saya bayangkan Chairil duduk. Ke Jakarta, tujuannya memang cuma satu, yaitu melanjutkan sekolah MULO. Ketika Jepang masuk, semua sekolah ditutup. Chairil memilih tak pulang ke Medan. Di rumah Sjahrir, tempat ia menumpang, bacaan berlimpah! Ketika sekolah dibuka kembali, Chairil sudah terlampau dan telanjur matang secara intelektual. Situasi ini yang mungkin ia gambarkan dalam sajaknya beberapa tahun kemudian, sudah berapa waktu bukan kanak lagi… tambah terasing dari cinta sekolah rendah (“Derai-Derai Cemara”, 1949).

Ketika menyelinap ke ruang belakang panggung Schouwburg atau Gedung Komedi, yang kini bernama Gedung Kesenian Jakarta, yang saya bayangkan adalah lengking suara Chairil memaki Jassin. “Bangsat Si Jassin! Bangsat. Aku ditinjunya kemarin di Schouwburg. Dia tidak ngerti sajak, dan dia bersekutu dengan Belanda bangsat, toke Schouwburg itu. Aku dihina si Jassin. Aku dihina si Belanda keparat itu. Masih sakit dadaku rasanya!” Nasjah Djamin mengenang aduan Chairil itu dalam Hari-Hari Akhir Si Penyair (Pustaka Jaya, 1982).

alah satu sudut RSCM, rumah sakit yang menjadi tempat wafatnya Chairil tersebab gerogotan penyakit tifus. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonsia)

Dinding pemisah ruang panggung dan ruang belakang, tempat pemain yang akan naik pentas menunggu, dan ruang rias di sebelah kanan gedung tebalnya tiga jengkal. Ada pintu besi geser untuk memasukkan properti pertunjukan.  Dinding ruang belakang itu nyaris penuh dengan poster pertunjukan. Musik, tari, drama. Tari flamenco, hingga topeng Cirebon. Beberapa nama, seniman dalam dan luar negeri.

Di gedung yang sama, Jassin, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan kelompok Sandiwara Maya yang mereka gerakkan, mementaskan lakon “Api”. Jassin bersiap naik panggung. Chairil datang dan berteriak-teriak marah karena tak berselang lama ada satu tulisan Jassin mengkritik Chairil. Pada saat itu, dan di belakang panggung itulah Jassin meninju Chairil!  GKJ kini dikelola Pemerintah DKI Jakarta lewat Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (UP PKJ TIM). UP ini mengelola sepuluh gedung pertunjukan lain, termasuk semua gedung di TIM, gedung Miss Tjitjih, dan gedung Wayang Orang Bharata. 

Saya berjalan menelusuri jejak Chairil di Gedung Kesenian Jakarta, bekas sekolah MULO,  dan Pasar Baru. Ketiganya ada dalam satu lokasi yang saling bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Jalan Pasar Baru membentang lurus sekiar satu kilometer, dari Jalan Pos di selatan tembus ke Jalan Samanhudi di utara. Tak sampai sepuluh menit waktu untuk menelusuri jalan itu. Ada masanya Pasar Baru menjadi tempat warga Jakarta “mengada-menggaya”. Tempat pelesir ketika mengikat sudah kesal dan tak tahu apa hendak dibuat. 

Sebuah perahu tradisional bersandar setelah mengantarkan penumpang di Muara Angke, Jakarta. Chairil kerap mengunjungi kawasan pelabuhan untuk melepas penat sambil menuliskan sajak-sajaknya. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Jimi, 47 tahun, adalah saksi hidup Pasar Baru. Ia pemilik  Lee Ie Seng, toko yang dibuka pada 1873. “Sudah 144 tahun, masih asli. Bangunan zaman Belanda itu kuat, betonnya tebal, kusennya jati semua,” kata Jimi, menunjuk ke kusen pintu ke ruang belakang toko tiga lantainya itu. Ia pewaris ketiga.  Sejak semula, Lee Ie Seng menjual barang kelontong, buku tulis, alat tulis, dan perlengkapan kantor. Saat itu, dua siswa SMU sedang berbelanja.  Tak banyak toko dengan bangunan masih asli di Pasar Baru. Dulu, kenang Jimi dari cerita kakeknya, Pasar Baru memang pernah jaya, lalu pasang surut.

Sajak “Cerita” Chairil, memang tidak bercerita utuh tentang Pasar Baru, tetapi cukup dengan frasa: lalu mengada-menggaya, sebuah frasa yang tak lazim, dan menjadi bahasa yang amat khasnya, Chairil merekam semangat zaman, bagaimana satu bagian dari kota menjadi tempat untuk menunjukkan diri, memperlihatkan keberadaannya, dan bergaya untuk menunjukkan status dan keberbedaan.  

Di kawasan Monas, ada beberapa hal yang mengingatkan pada Chairil. Selain, tentu patung torsonya itu, juga patung Pangeran Diponegoro— Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali, dan bara kagum menjadi api (“Diponegoro”, 1943), juga lapangan Monas itu sendiri, apa yang dulu bernama Lapangan Ikada. Di lapangan itulah, setelah gagal digelar membacakan Proklamasi di sana, Bung Karno berpidato di depan ratusan ribu massa rakyat dalam peristiwa yang dicatat sebagai Rapat Besar Lapangan Ikada. Tak lebih dari lima menit, massa bubar, menurut dengan tertib. Chairil hadir di sana. Merekam kesan atas pesona Bung Karno, lalu kelak pada 1948 menuliskan sajak heroik “Persetujuan dengan Bung Karno”—Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat. Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar.

"Kami pulang tidak kena apa-apa. Sungguhpun ajal macam rupa jadi tetangga. Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota. Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa." -Aku Berkisar antara Mereka, 1949-

Tugu Monas, Patung Diponegoro, dan patung torso Chairil berada dalam satu garis lurus menghadap ke Jalan Merdeka Utara, berhadap-hadapan dengan kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Mahkamah Agung, dan Istana Merdeka. Ekspresi keras Chairil pada patung itu senada dengan pilihan sajak  yang dicetak pada prasasti di bawahnya “Krawang Bekasi”, Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi / tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. 

Kenyamanan batavia sebagai kota dalam penelitian Achmad sudah diupayakan oleh sebuah organisasi bernama Groot Batavia atau lengkapnya Vereeniging Groot Batavia (Perhimpunan Batavia Raya).  “Perhimpunan ini berdiri pada 1937 dengan tujuan untuk mengembangkan Batavia. Groot Batavia ingin menjadikan Batavia sebagai kota menarik dan lebih nyaman bagi warganya dan pendatang,” kata Achmad.

Sebelum mementaskan lakon “Api” karya Usmar Ismail, pernah terjadi pertengkaran antara HB Jassin dan Chairil Anwar di belakang panggung Schouwburg, yang kini menjadi GKJ. Setelah kejadian itu, Jassin benar-benar menyesali perseteruan itu. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonsia)

Groot Batavia merencanakan, antara lain menjadikan bagian dari kawasan Tanjungpriok sebagai resor tepi laut, Koningsplein-plan (rencana Koningsplein), memperbaiki Schouwburg, membangun taman untuk paru-paru kota, memperbaiki sarana transportasi dan lalu lintas, memperbaiki dan merenovasi daerah pertokoan, memperluas kawasan permukiman, memperbanyak sarana untuk hiburan bagi warga, membangun kolam renang dan lapangan olahraga, menggairahkan kegiatan seni, memberikan kesempatan untuk membuka sarana hiburan malam, membangun jalan penghubung antara lapangan terbang dan pusat kota.  “Singkat kata, rencana perhimpunan ini ingin menjadikan Batavia sebagai kota metropolitan,” kata Achmad.

“Coba baca bait ini,” kata Marco. Ia menunjuk bait ke-19 dari sajak “Aku Berkisar…”—Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama. Marco menandai pentingnya bait itu. “Lewat bait ini, Chairil mengingatkan bahwa kemerdekaan itu milik bersama, bukan milik orang per orang. Kota ini milik kita bersama. Kita ini urban citizen, yang mau tak mau bergelanggang di kota. Ya, kota adalah gelanggang, arena bermain kita bersama, dan tentu saja, harusnya itu adalah gelanggang yang nyaman.”

  

—Kisah ini terbit pertama kali dengan judul "Jakarta di Mata Sang Pujangga" di majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2017. Hasan Aspahani adalah wartawan dan penyair dengan sejumlah buku puisi. Bukunya berjudul Chairil, terbit pada 2016, berkisah tentang perjalanan kepenyairan sang pujangga. Fotografer Rahmad Azhar adalah staf fotografer National Geographic Indonesia. Cerita ini merupakan penugasan pertamanya untuk majalah ini.