Nasib yang tak selalu mujur untuk tetap bertahan di tanah rantau, menjadikan para pemudik untuk tetap nekat pulang ke kampung halaman. "Dimensi spiritual Jawa juga menggerakkan hati untuk mudik seraya nyadran bertepatan dengan bulan Ruwah," lanjutnya.
Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda
Baca Juga: Pesjati, Takdir Balita Penyintas Pagebluk Pes di Hindia Belanda
Baca Juga: Pagebluk Pes Mematikan Menginfeksi Jalur Sutra Antara 1346-1352
Baca Juga: Apa Yang Sebenarnya Shakespeare Tulis Tentang Wabah Semasa Hidupnya
Kondisi mudik yang berlanjut membuat gelombang pagebluk terus meningkat. Namun, pemerintah kolonial sekeras mungkin untuk memberlakukan kebijakan isolasi kepada para pemudik yang balik ke desa-desa di Jawa.
Residen Harllof menerbitkan tulisan berjudul memorie van overgave, yang menyebutkan tentang penyediaan barak untuk tempat karantina. Sekitar 1.200 rumah penduduk telah dikosongkan dan penghuninya diungsikan ke barak-barak yang telah disediakan pemerintah bagi yang terjangkit maupun yang tidak terjangkit.
Kengerian juga digambarkan dalam tulisan Heri Priyatmoko yang menggambarkan suasana mencekam yang mewarnai mudik di awal abad ke-20 dengan ungkapan: "esok lara, sore mati." ungkapan itu bermakna "pagi sakit, sore meninggal dunia."
Upaya lain yang dilakukan pemerintah kolonial adalah dengan mendirikan pusat penelitian melalui laboratorium tikus yang diprakarsai Dokter Betmen. Bagi mereka yang mudik, mereka akan bergabung dengan tetangganya untuk bergotong-royong merenovasi tempat tinggal agar tak disambangi tikus yang bisa saja membawa penyakit.