Kebakaran Hebat yang Menggagalkan Mega Proyek Beras Indonesia 1997

By Galih Pranata, Rabu, 11 Mei 2022 | 08:01 WIB
Tanah gambut yang membara di sawah, Kalimantan Tengah, akhir 1997. (Jenny Goldstein/Arcadia)

Nationalgeographic.co.id—Pada akhir 1997 dan hingga 1998, hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, Indonesia, di pulau Kalimantan terbakar, mengirimkan gumpalan asap ke Sumatera, Singapura, dan Malaysia.

"Kebakaran di rawa-rawa Kalimantan Tengah termasuk yang terburuk, lahan gambut dan hutan terbakar di seluruh Kalimantan dan Sumatera di Indonesia tahun itu," tulis Jenny Goldstein dalam jurnalnya.

Goldstein menulis dalam jurnal Arcadia dengan judul Carbon Bomb: Indonesia’s Failed Mega Rice Project yang dipublikasikan pada tahun 2016.

"Menurut perkiraan beberapa ilmuwan, jumlah karbon dioksida yang dimuntahkan kebakaran Indonesia ke atmosfer pada akhir tahun 1997 setara dengan sekitar 13-40% emisi karbon tahunan global dari bahan bakar fosil," terusnya.

Bertepatan dengan penggulingan Presiden Indonesia—Soeharto, krisis ekonomi Asia, dan badai pergolakan lingkungan dan politik pada tahun 1998, mendorong hutan rawa gambut Indonesia ke dalam kesadaran nasional bahkan global.

"Pusat dari krisis lingkungan ini adalah Proyek Beras Mega Indonesia," sebut Jenny Goldstein dalam jurnalnya.

Pada awal 1990-an, Presiden Soeharto membayangkan rawa gambut Kalimantan Tengah sebagai lanskap yang ideal untuk sebuah mega proyek yang membangun produksi beras basah ala Jawa yang intensif.

Hal itu sejalan dengan tujuan untuk meningkatkan swasembada pangan Indonesia yang masih muda dan memberi makan 200 juta orang di negara itu.

Sementara kelompok adat di pesisir Kalimantan telah lama membudidayakan padi dengan irigasi pasang surut, sistem pertanian asli ini jauh berbeda dengan budidaya padi sawah irigasi yang ditemukan di Jawa.

Namun, pulau Jawa yang berpenduduk padat, pusat politik Indonesia dan sumber makanan yang subur, kehilangan sawah karena pembangunan industri. 

Maka dari itu, Pemerintahan Soeharto berupaya mengimbangi penurunan produksi beras dengan membuka lahan pertanian baru di pulau-pulau terluar Indonesia.

Sebuah perusahaan agribisnis yang berbasis di Singapura, PT Sambu, membanggakan keberhasilannya dalam menanam kelapa dan nanas secara komersial di lahan gambut di tenggara Sumatera dengan mengandalkan jaringan tanggul dan kanal yang rumit untuk mengendalikan banjir.

"Meski ekosistem Sumatera dan Kalimantan Tengah tidak sejalan, para pengusaha membujuk Soeharto untuk merencanakan penanaman padi sawah intensif di Kalimantan," imbuhnya.

Citra NASA tentang polusi membubung di atas Samudera Hindia dari kebakaran di Indonesia pada 22 Oktober 1997. (Jenny Goldstein/Arcadia)

Mereka kemudian ditunjuk sebagai kontraktor dalam Mega Proyek Beras. Para ilmuwan dan insinyur dari beberapa universitas terkemuka di Indonesia ditugaskan untuk merancang bagian dari infrastruktur berbasis kanal proyek.

"Beberapa ilmuwan secara diam-diam berpikir bahwa Mega Proyek Beras tidak akan pernah berhasil, tetapi hanya sedikit yang berani menentang kebijakan Presiden Soeharto, seorang penguasa bertangan besi selama 35 tahun pemerintahannya," terusnya.

Pembangunan kanal dimulai secara tiba-tiba pada akhir Januari 1996. Selama 1996 dan hingga 1997.

Kementerian Pekerjaan Umum, dengan dukungan Kementerian Transmigrasi, Kehutanan, dan Pertanian, mengoordinasikan beberapa ribu ekskavator buatan Jepang dan puluhan ribu pekerja untuk menggali.

  

Baca Juga: Meredakan Diare Hingga Menjaga Gula Darah, Ini Manfaat Beras Kencur

 Baca Juga: Jangan Dibuang, Inilah Beberapa Rahasia Air Beras Bagi Manusia

 Baca Juga: Ilmuwan Gunakan Beras Untuk Mencegah HIV, Bagaimana Caranya?

 Baca Juga: Emisi Gas Rumah Kaca Menyebabkan Kandungan Gizi Padi Berkurang

  

Sebagai bagian dari program transmigrasi yang telah berjalan lama di Indonesia, sekitar 40.000 petani Jawa dan Bali masing-masing diberi 2,5 hektar lahan untuk mengubah tanah gambut yang dalam dan asam menjadi ladang pertanian yang subur untuk penanaman padi basah.

Pada akhir tahun 1997, setelah satu tahun kekeringan yang disebabkan oleh siklus El Niño/Osilasi Selatan yang kuat, kebakaran mulai membakar di bawah tanah, melalui tanah gambut itu sendiri. 

"Tanah gambut tropis adalah bahan organik yang mudah menguap yang terdiri dari batang pohon, daun, dan akar yang membusuk," terus Goldstein lagi.

Karbon sangat terkonsentrasi di tanah gambut dan relatif stabil jika tanahnya jenuh dengan air. Tetapi ketika lahan gambut tropis dikeringkan di area hidrologis yang luas, seperti pada Proyek Beras Mega, tanah mengalami oksidasi biogeokimia yang cepat, mengeluarkan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer.

Proyek ini sekarang disebut sebagai salah satu bencana lingkungan terbesar dalam sejarah Indonesia, bukan hanya karena memungkinkan kebakaran gambut besar-besaran, tetapi juga karena proyek tersebut—yang bertujuan untuk penanaman padi beririgasi skala besar di rawa gambut—malah menciptakan kelangkaan beras.