Nationalgeographic.co.id—Apa yang kita bayangkan ketika berbicara mengenai peninggalan Yunani Kuno, patung? Atau reruntuhan bangunan kuno? Namun, tahukah Anda jika Yunani Kuno juga meninggalkan banyak`karya di bidang sastra? Sayangya, kini banyak yang telah musnah.
“Yunani Kuno juga meninggalkan warisan di bidang sastra, meski diperkirakan 75 persen karya sastra, filsafat, dan ilmu pengetahuan diperkirakan telah hilang,” tulis Fernando Báez, dalam bukunya bertajuk Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, terbitan tahun 2013.
Zaman itu, benda yang disebut “buku” adalah selembar papirus yang digulung. Sedangkan buku disebut sebagai biblos. Dahulu, sebelum menulis di atas papirus, bangsa Yunani menulis di atas tablet tanah liat dengan abjad silabik. Para penemu Inggris di awal abad 20, menamainya dengan linear B.
Papirus telah diterimai oleh bangsa Yunani Kuno sebagai media menulis. Hingga sekitar abad ke-5 SM, kegiatan membaca dan menulis telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat yang tinggal di berbagai kota. Namun tentu saja, itu bukanlah satu-satunya media, terdapat juga seperti kulit binatang, lempengan kayu, dan batu, meskipun jumlahnya terbatas.
Fragmen terkuno yang memuat karya bangsa Yunani adalah Papirus Derveni, yang ditulis pada abad ke-4 SM. Kondisi papirus ini tidaklah utuh lagi, melainkan beberapa bagian telah habis terbakar. Isinya memuat mengenai interpretasi alegoris dan filosofis dari puisi yang ditujukan untuk Orpheus.
Diduga, bangsa Yunani Kuno menulis buku-buku pertama di atas papirus yang didatangkan dari Mesir dan dibuat pada abad ke-9 SM. Apabila benar demiklian, menurut Báez kita telah kehilangan jejak budaya Yunani Kuno selama 500 tahun, “sebab kita hanya memiliki kepingan papirus yang ditulis pada abad ke-4 SM.”
Perlu diketahui, bahwa kita telah kehilangan begitu banyak buku pada periode Hellenistik. Felix Jacobi, melalui karyanya Die Fragmante der griechischen Historiker (Fragmen-fragmen Sejarawan Yunani), menggambarkan bahwa buku tersebut memuat petikan lebih dari 800 sejarawan periode Hellenistik yang karya-karya tulisnya telah musnah.
Hilang dan musnah acapkali menjadi hal yang sulit dibedakan dalam sejarah buku. “Kadang sebuah karya hilang karena dimusnahkan dan kadang musnah karena hilang atau belum pernah ditemukan,” terang Báez, “yang jelas teks-teksnya sudah tidak ada lagi.”
Seluruh karya pra-Socrates dan kaum Sofis, hanya tinggal potongan. Hilangnya teks-teks ini meluas ke seluruh periode dalam sastra, filsafat, dan ilmu pengetahuan Yunani. Báez memberikan beberapa contoh karya-karya yang keberadaanya kini belum ditemukan dan terus menjadi misteri.
Sebagai contoh, karya Corina, seorang penyair perempuan kedua terpenting dalam dunia perpuisian Yunani. Dari lima buku Karyanya, kini hanya menyiskan kepingan-kepingan yang tidak saling bersambungan. Selanjutnya, Dari 82 tragedi Euripides, saat ini kita hanya dapat memiliki 18 judul saja, beserta drama satir dan banyak kutipan.
Agathon, seorang penyair tragis yang pernah dikutip Plato dan dikagumi oleh Socrates, sepertinya telah sukses menyelesaikan karyanya dengan kesempurnaan yang nyaris tak bercelah. Namun, Báez menegaskan, bahwa kini karya-karya tersebut tidak menyisakan apapun, selain fragmen-fragmen yang rapuh.
Di muka, hanyalah beberapa gambaran mengenai hilangnya karya-karya dari seorang penyair Yunani Kuno. Nyatanya, menurt Báez masih banyak lagi, seperti karya perempuan besar Sappho dari Lesbos, seorang dramawan Aristophanes dari Athena. Semua karya kaum Sinis, Pyrrhonis, Skeptis, dan Stoik hanya tinggal kutipan.
“Karya Zeno dari Citium mengalami nasib serupa. Padahal Republik karyanya dibaca oleh lebih banyak orang ketimbang Republik-nya Plato,” kata Báez. Kini hanya ada kepingan- kepingan dari 500 buku yang ditulis Crisipus dari Solos yang keberadaanya masih ada hingga sekarang.