Kanjuruhan yang Aman dan Tentram di Masa Pemerintahan Gajayãna

By Galih Pranata, Rabu, 5 Oktober 2022 | 14:00 WIB
Potret Candi Badut merupakan peninggalan dari Kerajaan Kanjuruhan di Malang. (Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur)

Nationalgeographic.co.id—Ratusan jiwa melayang di Stadion Kanjuruhan di Kota Malang. Kanjuruhan, sebuah nama yang menjadi saksi bisu, kecelakaan terparah sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Markas dari klub sepak bola, Arema Malang.

Bentrokan para suporter Aremania—nama suporter Arema Malang—dengan pihak aparat keamanan yang berakhir dengan sejumlah kisah ngeri dan pilu. Nama Kanjuruhan kian di sorot banyak media dan menarik perhatian dunia, tempat tragis terjadinya musibah itu.

Namun, di balik itu semua, Kanjuruhan pernah menjadi tempat yang aman di masa lalu. Ya, berkat seorang raja bernama Gajayãna, Kanjuruhan berkembang pesat di Malang sebagai sebuah kerajaan yang aman dan tentram bagi para penduduknya dari mara bahaya dan ancaman.

Rully Dwi Oktavianto pernah menggambarkan Kanjuruhan dalam jurnal Pancaran berjudul Kajian Historis tentang Candi Badut di Kota Malang yang terbit pada tahun 2013. Berdasar pada Candi Badut dan prasasti Dinoyo-lah, kisah Kerajaan Kanjuruhan dirumuskan.

Bukti peninggalan situs arkeologis itu, mengisahkan kehidupan Malang dari Kerajaan Kanjuruhan. Kerajaan ini diperkirakan telah ada sekitar abad ke-7 M yang berpusat di Dinoyo, sebelah barat Kota Batu hari ini. Prasasti Dinoyo yang ditemukan, diperkirakan ditulis sekitar tahun 760 M. 

Reruntuhan candinya juga sempat dinyatakan hilang dari publik sepanjang kejatuhannya sampai dengan abad ke-20. "Reruntuhan candi Badut ditemukan pertama kali oleh controleur (kontrolir) bangsa Belanda bernama Maurenbrecher," imbuhnya.

Pada tahun 1921, Maurenbrecher sedang dalam misinya untuk melakukan inventarisasi si Kota Malang. Ia secara tak sengaja menemukan reruntuhan sebuah candi di antara belukar dan pepohonan yang lebat, tinggi menjulang.

Setelahnya, laporan dari Maurenbrecher mulai diperhatikan secara serius oleh B. de Haan. Pada 1923, de Haan menyaksikan hanya reruntuhan candi dengan ditumbuhi pepohonan lebat. Namun, jejaknya meninggalkan pertanyaan besar, bagaimana peradaban yang ada di candi Badut?

Prasasti Dinoyo telah membantu menjelaskannya. Diceritakan tentang Dewashima yang menjaga singgasananya dengan api, memiliki putra bernama Gajayãna yang kemudian mendirikan candi bernama Badut. Nama Badut diketahui berasal dari nama lainnya, yaitu Liswa yang memiliki arti sama.

Keagungan Gajayãna banyak dilukiskan dalam prasasti sebagai sosok raja yang dicintai, baik oleh rakyatnya maupun para dewa-dewi. Rakyatnya percaya bahwa Dewashima telah melahirkan putranya (Gajayãna) yang dicintai para dewa.

Gajayãna menikahi putri desa Kanjuruhan bernama Dewi Setrawati lalu mendirikan istananya, salah satunya adalah Candi Badut. Ia memerintah dengan bijaksana dan memusatkan seluruh kekuatannya di Kanjuruhan.

Kepemimpinannya yang baik atas rakyatnya, ditambah dengan kepercayaan rakyatnya tentang Gajayãna sebagai titisan dewa, membuat kondisi politik Kanjuruhan stabil dan jauh dari huru-hara. Kanjuruhan menjadi kerajaan yang aman dan tentram di bawah kuasa Gajayãna.