Ekspansi Portugis ke luar negeri dimulai pada awal abad ke-14 Masehi menghasilkan pertemuan banyak budaya. Ini pun memengaruhi seni ubin khas Portugal. Azulejo menunjukkan pertemuan budaya-budaya dengan memasukkan gajah, monyet, dan masyarakat adat dari koloni dan wilayah seperti Brasil.
Pada awal abad ke-18 Masehi, pengrajin ubin Portugis mendapat pengaruh besar dari Dinasti Ming (1368-1644) dan Delftware Belanda. Keduanya menyebabkan tampilan visual biru dan putih kobalt pada ubin Azulejo hingga kini.
Desain azulejo dari abad ke-19 melayani selera borjuasi yang baru muncul. Borjuasi ingin azulejo mencerminkan kesuksesan dan status sosial mereka. Para emigran kaya baru yang kembali dari Brasil membawa tren mendekorasi fasad rumah dengan ubin keramik. Ini menjaga interior tetap sejuk dan mengurangi kebisingan dari luar. Akibatnya, ada perpindahan dari panel besar ke azulejo yang lebih kecil dan dieksekusi dengan lebih hati-hati.
Industrialisasi memperkenalkan teknik baru seperti metode transfer-cetak pada azulejo biru dan putih atau polikrom. “Namun ubin yang dilukis dengan tangan tetap populer,” ujar Martins. Produksi massal berarti bahwa ubin dapat diproduksi dengan biaya lebih rendah. Sehingga variasi desain bergaya yang lebih besar, dari pola tradisional hingga adaptasi asing, dapat ditawarkan.
Seiring dengan berjalannya waktu, seni ubin ini pun dianggap kuno. Para elite budaya menolak penggunaannya.
Pada awal abad ke-20 M, seni ubin keramik tidak lagi disukai dan terancam punah. Namun berkat seniman Portugis kontemporer seperti Maria Kell, seni ubin azulejo pun bangkit kembali. Saat itu, stasiun metro dibangun dan ubin digunakan dalam mural sebagai karya seni modernis.
Ubin azulejo bisa dinikmati di museum, istana, atau gereja untuk menikmati sejarah visual Portugal. Namun, Anda juga dapat berjalan-jalan di jalan mana pun di Lisbon dan menemukan azulejo. Seringkali pemilik rumah tampak sedang membersihkan dan memoles azulejo kebanggaannya itu.