Nationalgeographic.co.id—George Perkins Marsh (1801-1882) sudah memprediksi perubahan iklim sejak lebih dari 175 tahun lalu. Dia mengungkapkannya dalam sebuah pidato pada 30 September 1847. Pidato yang nyaris terlupakan itu memperingatkan manusia akan terjadinya perubahan iklim dan salah kelola sumber daya alam.
Marsh adalah dosen filologi dan etimologi Inggris di Columbia University dan Lowell Institute. Dia dikenal sebagai diplomat, cendekiawan, dan ahli konservasi di Amerika Serikat. Karya pemikiran terbesarnya adalah Man and Nature, or Physical Geography as Modified by Human Action yang diterbitkan oleh penerbit C. Scribner di New York pada 1864. Buku dan pemikirannya merupakan salah satu kemajuan paling signifikan dalam geografi, ekologi, dan pengelolaan sumber daya pada abad ke-19.
Marsh menyampaikan pidatonya di hadapan Agricultural Society of Rutland County, Vermont. Pidato itu jauh mendahului masanya karena pemikiran Marsh tentang isu tersebut satu dekade lebih maju dibandingkan pemikir lain di masanya. Bahkan, Svante Arrhenius baru memunculkan gagasannya mengenai emisi karbon dioksida dari pembakaran batubara yang bisa memicu pemanasan global, 50 tahun kemudian.
Dalam pidatonya, Marsh sudah bergulat dengan konsep yang sekarang kita kenal sebagai urban heat island effect dan greenhouse effect. Hal tersebut ditunjukkannya dalam kalimat, "Pengeringan rawa-rawa dan pembabatan hutan memengaruhi penguapan dari bumi dan membentuk kelembaban yang menggantung di udara. Kondisi ini mengubah kondisi listrik di atmosfer dan kemampuannya untuk memantulkan, menyerap dan memancarkan sinar matahari sehingga memengaruhi distribusi cahaya dan panas serta kekuatan dan arah angin".
Selain itu, Marsh juga memperingatkan untuk mengonsumsi sumber daya alam dengan lebih bijak. Ia yakin, semua konsumsi sumber daya alam harus mempertimbangkan dampak yang akan ditanggung generasi di masa mendatang. Dengan kata lain, Marsh telah meletakkan konsep dasar dari apa yang sekarang kita kenal sebagai sustainable development.
Britanica mencatat biografi singkatnya. Dia mengenyam pendidikan di Dartmouth College, Hanover. Marsh mengembangkan praktik hukum yang boleh dibilang sukses. Namun, pemikirannya yang luas membawanya ke studi sastra klasik, bahasa, dan ilmu terapan dari silvikultur dan konservasi tanah.
Baca Juga: Peristiwa Cuaca Ekstrem Memicu Timbulnya Ancaman Penyakit Kulit
Baca Juga: Debu Gurun dari Es Gletser Menyimpan Rahasia Perubahan Iklim Bumi
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Lahan Gambut Kongo Lepas Miliaran Ton Karbon
Baca Juga: Kenaikan Air Laut Pesisir Jawa Lebih Tinggi daripada Rata-Rata Global
Pada 1842 dia terpilih menjadi anggota Kongres. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh mantan presiden John Quincy Adams, seorang rekan anggota kongres yang memiliki visi dan gagasan tentang peran pemerintah dalam pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam. Pemikiran itu sebagai tanggapan atas pandangan Theodore Roosevelt.
Setelah menjalani masa jabatan kedua di Kongres, Marsh diangkat menjadi menteri Turki oleh Pres. Zachary Taylor. Selama penugasan itu dia memelajari geografi dan praktik pertanian Timur Tengah dan Mediterania. Di negeri itu ia mengirim banyak spesimen ke Smithsonian Institution di Washington, D.C., sebelum dia purnatugas dan kembali ke Amerika Serikat pada 1852.
Kemudian ia menjadi anggota Partai Republik pada 1856. Pada 1861 Pres. Abraham Lincoln menjadikannya menteri pertama di Italia, posisi yang dia pegang sampai wafatnya.
"Manusia di manapun juga adalah agen pengganggu. Di mana pun dia menjejakkan kakinya, keharmonisan alam berubah menjadi perselisihan," demikian kata-kata Mars dalam bukunya nan sohor Man and Nature, yang masih dikenang sampai hari ini.
George Perkins Marsh, layaklah bila kita menjulukinya sebagai Bapak Perubahan Iklim.