Penobatan Ketiga: Penguasa Boneka Manchukuo
Pada 1924, Puyi dan istrinya tinggal di daerah pendudukan Jepang di Tianjin. Di daerah itu keduanya menikmati gaya hidup santai dan kosmopolitan.
Kemudian Pu Yi melakukan perjalanan ke negara boneka Jepang Manchukuo di Manchuria. Konsul dan jenderal asing masih memanggilnya kaisar di sana, merayakan hari ulang tahunnya, dan mengundangnya untuk berpartisipasi dalam berbagai perayaan. Perasaan diperlakukan seperti raja membuat Puyi semakin ingin menjadi kaisar lagi. Pada 1934, dia diangkat sebagai kaisar di negara bagian itu, meskipun hanya sebagai boneka Jepang.
Baca Juga: Perjalanan Puyi dari Kaisar Terakhir Tiongkok hingga Jadi Rakyat Biasa
Baca Juga: Lika-liku Kehidupan Aisin-Gioro Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok
Baca Juga: Kisah Xian, 'Kaisar Boneka' di Masa Kemunduran Dinasti Han Tiongkok
Baca Juga: Kisah Kota Terlarang Tiongkok yang Kini Sudah Tidak Terlarang Lagi
Sementara itu, Jepang ingin membangun rezim boneka Manchukuo setelah menduduki kawasan timur laut Tiongkok. Ketika Jepang menawarkan Puyi kesempatan untuk menjadi kaisar Manchukuo, dia langsung setuju.
Sejatinya relasi kuasa Jeang-Tiongkok sudah berlangsung sejak akhir abad ke-19. Pada 1895, Tiongkok dipaksa mengakui kemerdekaan Korea, meyerahkan Taiwan, Kepulauan Pascadores, dan Jazirah Liaodong kepada Jepang. Selain itu, pemerintahan Kekaisaran Tiongkok harus membayar ganti rugi perang kepada Jepang.
Pada 1945, setelah jatuhnya Jepang dalam Perang Dunia Kedua, Pu Yi ditangkap oleh pasukan Rusia. Dia dibebaskan pada 1959, kemudian menjadi tukang kebun.