Nationalgeographic.co.id—Dalam catatan sejarah kebesaran Tiongkok, Dinasti Qing memerintah Tiongkok sepanjang 1644 sampai 1911. Aisin Gioro Puyi atau dikenal dengan nama Puyi adalah Kaisar Tiongkok terakhir yang berkesempatan naik takhta sebanyak tiga kali. Akan tetapi, dia sejatinya tidak pernah berkuasa bahkan untuk sehari. Puyi adalah tragedi kaisar boneka.
Film The Last Emperor, kisah Kaisar Tiongkok terakhir yang ditulis oleh Mark Peploe dan Bernardo Bertolucci, rilis pada 1987. Film ini sempat menggemparkan bioskop-bioskop di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya.
Bertolucci, yang juga sutradara film asal Italia ini, berhasil menunjukkan kepada kita seorang pemuda bernama Pu Yi. Ia begitu dimanjakan oleh banyak kemewahan. Sosok pemikir yang berhati lembut yang bersemangat tentang tanah airnya, Manchuria. Namun, ia memiliki keinginan untuk merasakan kehidupan dunia luar. Pasalnya, Pu Yi hidup di dalam tembok Kota Terlarang.
Bertolucci membawa kita menyaksikan kembali masa kanak-kanak Pu Yi melalui rangkaian peristiwa sejarah yang pada akhirnya menyebabkan sang kaisar boneka itu menjadi manusia biasa.
Penobatan Pertama: Kaisar Qing
Periode 1908 sampai 1912 merupakan pemerintahan pertama Puyi atas Dinasti Qing sebagai Kaisar Xuan Tong (baca: Syuan T'ung). Ayahnya yang bernama Zaifeng, atau populer dengan sebutan Pangerang Chun, bukanlah seorang kaisar melainkan seorang Pangeran Bupati. Zaifeng merupan adik tiri dari Kaisar Guangxu.
Puyi adalah kaisar termuda. Ketika berusia dua tahun, dia diangkat oleh Janda Permaisuri atau Ibu Suri Ci Xi (baca: Ts'e-syi) yang sekarat. Kaisar Guangxu, yang bertakhta sebelumnya, tidak memiliki ahli waris. Sebagai keponakannya, Puyi menggantikan takhta sang paman.
Alasan Puyi dipilih oleh Ci Xi adalah karena akan mudah baginya untuk terus memerintah Tiongkok, karena dia masih balita. Karena Puyi adalah putra Zaifeng, Qixi berharap Zaifeng membantu Puyi dengan kemampuan terbaiknya. Namun, pada saat yang sama, Qixi menginginkan keponakannya, Janda Permaisuri Longyu, untuk mencegah Puyi jatuh sepenuhnya di bawah pengaruh ayahnya. Namun, Cixi tidak pernah menduga bahwa dia akan mati sehari sebelum penobatan Puyi.
Revolusi ini "Xinhai Geming" (baca: Syinhai Keming) atau "Revolusi 1911" diprakarsai oleh Sun Yat-sen. Revolusi ini telah mengganti pemerintahan dari Kekaisaran Tiongkok ke Republik (Nasionalis) Tiongkok. Pada 1 Januari 1912 Sun Yat-sen disumpah sebagai Presiden Republik Tiongkok sementara.
Kemudian, Puyi mengumumkan pengunduran dirinya pada 12 Februari 1912. Dia mengakhiri 267 tahun kuasa Dinasti Qing sekaligus akhir dari Kekaisaran Tiongkok yang bergulir lebih dari 2.000 tahun. Meskipun Puyi bukan lagi kaisar, dia diizinkan tinggal di Kota Terlarang.
Profesor Gondomono, Sinolog FIB-UI, dalam bukunya bertajuk Manusia dan Kebudayaan Han, mengungkapkkan tentang kemerosotan Kekaisaran Tiongkok. "Di bawah kekuasaan Ibu Suri Ci Xi, mulai sekitar pertengahan abad kesembilan belas sampai runtuhnya pada dasarwarsa pertama awal abad kedua puluh, Qing semakin lemah karena keserakahan dan salah kelola negara oleh Ibu Suri Ci Xi maupun karena dilanda banyak kerusuhan."
Penobatan Kedua: Restorasi Singkat Puyi
Sejak pendirian Republik Tiongkok, wilayah negeri ini terpecah belah dan dikuasai oleh Junfa (baca: cunfa) atau "panglima daerah perang".
Gondomono mengungkapkan bahwa sejatinya para Junfa telah berebut wilayah dan berperang. "Kesatuan Tiongkok benar-benar terancam oleh para Junfa yang hanya mementingkan diri sendiri," tulisnya. "Mereka sama sekali tidak memikirkan upaya untuk menciptakan kesatuan negara yang lebih besar dengan penduduk dari kelompok Sinitik (Han) maupun puluhan kelompok etnik minoritas lainnya."
Pada 1 Juli 1917, junfa atau panglima perang Zhang Xun berhasil menguasai Beijing, Tiongkok. Peristiwa ini dikenal dengan berbagai sebutan: Manchu Restoration, Dingsi Restoration, Zhang Xun Restoration, atau Xuan Tong Restoration.
Ia mengumumkan pemulihan Kaisar Xuan Tong sebagai penerus takhta Dinasti Qing, tetapi upaya Zhang digagalkan tak lama kemudian oleh tentara Republik. Puyi digulingkan untuk kedua kalinya hanya 12 hari setelah ia naik takhta kembali.
Kisahnya begini, pada hari kesembilan Pemulihan, Jenderal Zhang mengundurkan diri dari posisinya. Ia hanya mempertahankan komando pasukannya di ibu kota, yang dikepung oleh pasukan republik.
Pengadilan kekaisaran yang sudah dipulihkan oleh Zhang menyiapkan dekrit pelepasan untuk Puyi. Akan tetapi karena takut akan pasukan Zhang, akhirnya mereka tidak berani mengumumkannya. Pengadilan kekaisaran memulai negosiasi rahasia dengan pasukan republik untuk mencegah penyerangan ke kota, bahkan meminta kedutaan asing untuk menengahi kedua belah pihak.
Nasib istana kekaisaran dan nasib Jenderal Zhang menjadi tidak pasti. Perkara inilah yang menyebabkan negosiasi berantakan. Para jenderal republik mengumumkan serangan umum terhadap posisi kaum monarki pada pagi hari 12 Juli 1917.
Pasukan kaum monarki bercokol di dinding Kuil Surga. Tak lama setelah pertempuran dimulai, negosiasi dilanjutkan. Hasilnya, kaum monarki menyerah. Jenderal Zhang melarikan diri. Kaum republik pun berhasilkan menggulingkan pemulihan takhta Pu Yi.
Penobatan Ketiga: Penguasa Boneka Manchukuo
Pada 1924, Puyi dan istrinya tinggal di daerah pendudukan Jepang di Tianjin. Di daerah itu keduanya menikmati gaya hidup santai dan kosmopolitan.
Kemudian Pu Yi melakukan perjalanan ke negara boneka Jepang Manchukuo di Manchuria. Konsul dan jenderal asing masih memanggilnya kaisar di sana, merayakan hari ulang tahunnya, dan mengundangnya untuk berpartisipasi dalam berbagai perayaan. Perasaan diperlakukan seperti raja membuat Puyi semakin ingin menjadi kaisar lagi. Pada 1934, dia diangkat sebagai kaisar di negara bagian itu, meskipun hanya sebagai boneka Jepang.
Baca Juga: Perjalanan Puyi dari Kaisar Terakhir Tiongkok hingga Jadi Rakyat Biasa
Baca Juga: Lika-liku Kehidupan Aisin-Gioro Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok
Baca Juga: Kisah Xian, 'Kaisar Boneka' di Masa Kemunduran Dinasti Han Tiongkok
Baca Juga: Kisah Kota Terlarang Tiongkok yang Kini Sudah Tidak Terlarang Lagi
Sementara itu, Jepang ingin membangun rezim boneka Manchukuo setelah menduduki kawasan timur laut Tiongkok. Ketika Jepang menawarkan Puyi kesempatan untuk menjadi kaisar Manchukuo, dia langsung setuju.
Sejatinya relasi kuasa Jeang-Tiongkok sudah berlangsung sejak akhir abad ke-19. Pada 1895, Tiongkok dipaksa mengakui kemerdekaan Korea, meyerahkan Taiwan, Kepulauan Pascadores, dan Jazirah Liaodong kepada Jepang. Selain itu, pemerintahan Kekaisaran Tiongkok harus membayar ganti rugi perang kepada Jepang.
Pada 1945, setelah jatuhnya Jepang dalam Perang Dunia Kedua, Pu Yi ditangkap oleh pasukan Rusia. Dia dibebaskan pada 1959, kemudian menjadi tukang kebun.