Oleh Maulana Ibrabim pendiri Ternate Heritage Society, dan staf pengajar di Program Studi Arsitektur, Universitas Khairun.
Nationalgeographic.co.id—Morotai adalah salah satu basis militer dalam Perang Dunia II antara Sekutu dan Jepang—yang menyisakan begitu banyak peninggalan bersejarah, termasuk di perairannya.
Morotai juga memiliki pesona pantai dan panorama bawah laut memikat, mulai dari hamparan pasir putih nan halus serta beragam terumbu karang nan indah.
Tujuh landasan pacu pangkalan sekutu pada Perang Dunia II yang dikelilingi oleh jejeran pohon kelapa, menyambut kami jelang roda-roda pesawat menyentuh bumi.
Pantai berpasir putih begitu menggoda tuk dinikmati sambil mengisi perut dengan ikan bakar khas perairan Morotai. Pesisir yang memukau dengan saujana laut indah dan pulau-pulau yang seakan sambung-menyambung.
Ini bukan pantai biasa. Setidaknya 61.000 personel tempur pasukan sekutu yang diangkut oleh kapal perang dan kendaraan amfibi, mendarat di pantai ini 77 tahun silam.
Sisi selatan pantai ini pun dijadikan pangkalan Angkatan Laut mereka. Hingga saat ini, area itu masih dikenal warga dengan nama “Navy Base”, yang kini digunakan sebagai pelabuhan feri.
Pendaratan pasukan sekutu pada 15 September 1944 di pantai yang saya tapaki ini tidak menimbulkan korban jiwa. Mereka berhasil membuat sekitar 500 sampai 1.000 tentara Jepang yang menghuni Pulau Morotai, menyerah. Tidak heran, warga setempat pun mengenal dan menyebut pantai ini Army Dock.
Begitu masif dan dahsyatnya peninggalan perang di sini. Beberapa tinggalan berupa tank amfibi seakan membeku, bergeming di antara geliat perkampungan.
Tinggalan lainnya dapat ditemui bahkan di halaman rumah warga, di area permukiman, dan di dalam kebun. Rupa-rupa macamnya: alat-alat kelengkapan perang sampai alat kehidupan sehari-hari milik tentara yang bertugas saat itu.
Di dalam lautnya masih terdapat beberapa bangkai pesawat, mungkin jatuh tertembak. Persemayamannya menjadi objek yang sangat menarik untuk wisata selam.
Kini, pantai ini menjadi ruang publik warga Morotai. Pada hari kerja, tempat ini tidak terlalu ramai. Pada Minggu pagi, lautnya menjadi kolam renang akbar, berjejer anak dan orang tua bermain air serta berinteraksi riang gembira. Sungguh ruang publik yang terbuka, gratis, sehat dan menyegarkan bagi semua!
Wajah penuh senyum menyambut seakan saudara yang lama tak berjumpa! Dia masih mengingat saya setelah perdana bersua pada 2012. Muhlis Eso masih konsisten dalam upaya pengumpulan benda-benda bersejarah peninggalan Perang Dunia II di Pulau Morotai, di kebun milik keluarganya.
Ceritanya bermula dari kedatangan seorang veteran Pejuang Trikora pada 1980-an, untuk membeli besi peninggalan Perang Dunia II. Pengambilan berlangsung pula di kebun itu.
Namun Muhlis, yang saat itu masih duduk di kelas tiga SD, ingat kakeknya berucap, “Ingat Muhlis, sebagai anak-cucu pejuang 45, jangan jadi pengkhianat!”
Saat SMP, Muhlis pun menjadi semakin gencar mengumpulkan peninggalan perang. Ia menulis dan mencatatnya. Saat ada keluarga tentara sekutu yang memintanya, ia menye-rahkannya dengan imbalan foto sang tentara. Atas bantuan pemerintah dan donasi pengun-jung, pada 2012 museum mini didirikan di samping rumahnya.
Konsistensi dan idealismenya terbukti saat dia mengembalikan cincin milik tentara Amerika di Texas, Amerika Serikat. Sebuah upaya panjang dengan bantuan awal seorang pejalan yang juga vlogger, cincin itu akhirnya disambut dengan penuh tangis haru dalam gelaran upacara khusus, di stadion Texas A & M University, dua tahun yang lalu.
Kini Muhlis ingin membuat area perkemah-an, tempat pengunjung bisa ikut bersamanya mencari barang peninggalan perang, mencatat pe-nemuan, menulis perasaan, lalu menyimpannya di Museum Swadaya Perang Dunia II. Nama penemu, waktu, dan titik lokasi penemuannya akan dicatat.
Bercerita dengan mata berbinar, ia ingin membangun tujuh gedung museum yang akan memuat tujuh tema koleksi. Rencananya, gedung itu berarsitektur khas Morotai, agar pengunjung dapat merasakan suasana masa perang. Dalam hati saya bergumam: ini orang luar biasa!
Saat kendaraan kami memasuki area Wisata Sejarah Air Kaca keesokan harinya, dengan senyum ramah Syukur menyambut kami. Dia sedang membersihkan lahan bersejarah yang juga kebunnya. Suasana pagi nan syahdu, saat cahaya matahari masuk di sela pohon rindang.
Mata Air ini dinamakan Air Kaca atau Ake Kasinanga oleh warga sekitar. Alasannya, dahulu kala tempat ini menjadi pelaksanaan ritual pengobatan orang sakit. Ini terjadi jauh sebelum Perang Dunia II, saat kampung Syukur yang tidak jauh dari mata air ini dipindahkan oleh tentara Sekutu.
Tentara Sekutu juga memba-ngun instalasi air bersih untuk kebutuhan kamp, pemandian lengkap dengan mesin pe-manas air dan pancurannya, serta toilet di luar area mata air. Masih tersisa tangga ke mata air dan lantainya, juga bekas lubang dan bautnya. Ada tulisan terukir di lantai beton: 23 Januari 1945.
Syukur mulai rajin merawat tempat ini sejak 2009, dan sempat dikatai orang gila. Namun, ia menemukan banyak peninggalan tentara sekutu, termasuk sikat gigi. Ia pun diangkat sebagai juru pelihara Situs Sejarah Air Kaca oleh BPCB Maluku Utara.
Pria ini berharap, peme-rintah bisa membuat fasi-litas pendukung seperti bangunan, guna menyimpan dokumen, buku, dan barang-barang peninggalan yang ditemukannya di sekitar mata air. Saya pun diajak menuju gudang yang tadinya bagian toilet yang dibangun pemerintah.
Di sinilah ia menyimpan segala barang peninggalan tentara sekutu yang ia temukan. Di antaranya, kancing kemeja tentara, obat-obatan, morfin utuh, ompreng makan, senjata, peluru, ratusan botol minuman, radio komunikasi, dan berbagai alat perang lain.
Syukur memajang beberapa kutipan Jenderal Douglas MacArthur—yang pernah bertugas di tempat itu. Menurutnya, “Mereka berperang namun tetap puitis dan bijak.”
Kedatangan kami begitu disyukuri oleh Syukur, “Mudah-mudahan tempat saya ini lebih dikenal masyarakat di luar sana,” harapnya. Pejalan yang datang tidak hanya melihat air, namun dapat belajar, seperti kata-kata bijak Bung Karno yang pernah ia pajang: Jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah!
Baca Juga: Kegagalan Magellan Menemukan Maluku, Kepulauan Rempah Nusantara
Baca Juga: Penemuan Fosil Tanaman Ini Menautkan Patagonia dengan Papua dan Maluku
Baca Juga: Giolo, Lelaki Bertato asal Maluku yang Kulitnya Dipamerkan di Inggris
Baca Juga: Manis Diambil Sepah Dibuang: Nestapa Prajurit KNIL Maluku di Belanda
Sebelum saya tiba di Morotai, Festival Toku Wela diselenggarakan di Bere Bere, desa di utara pulau. Dalam bahasa Galela, toku berarti “berjalan di titian” dan wela berarti “tali”.
Dahulu, ritual ini dilakukan untuk menyambut kedatang-an kolano atau raja. Rakyat akan saling me-nyatukan tangan, berhadap-hadapan, membentuk seruas jalan yang dilalui sang pemimpin.
Makna ritual adat ini adalah saling menguatkan, sebagaimana orang-orang Morotai zaman dahulu. Mereka begitu terbuka dan berbaur dengan orang dari berbagai penjuru dunia, menjadikannya pulau yang kosmopolit sejak lama.
Morotai tak sekadar kunci kemenangan Sekutu di Pasifik pada Perang Dunia II. Morotai telah mengajarkan saya agar menjadi pemenang dalam memperkuat diri, menjaga warisan alam dan budaya terbaik yang dititipkan para pendahulu dengan keringat darah. Semuanya untuk diles-tarikan ke anak-cucu dengan cara terbaik pula.