Nationalgeographic.co.id—Seorang samurai Kekaisaran Jepang memiliki keluarga. Sebagai istri samurai, seorang wanita menjalani kehidupan yang sedikit berbeda dengan wanita lain di masanya. Mereka adalah sosok yang tertutup dan hampir tidak pernah terlihat, sehingga sering kali dipandang sebelah mata.
Menjadi istri seorang samurai di Kekaisaran Jepang
Samurai melakukan tugas mereka bukan di rumah tetapi di kastel atau tempat institusional lainnya. Mereka menerima gaji berdasarkan status turun-temurun sebagai samurai yang tidak ada hubungannya dengan wanita.
Wanita yang lahir dalam rumah tangga samurai membutuhkan pria untuk mendapatkan penghasilan dan perlindungan. Bagi seorang samurai miskin, mereka tidak bisa membiayai seorang istri, bila ia memiliki pembantu. Tapi selain untuk memperoleh keturunan, apakah samurai membutuhkan wanita?
Karena terbatasnya peluang kerja, samurai memiliki banyak waktu luang. Mereka dapat berpartisipasi dalam mengasuh anak, termasuk mendidik anak laki-laki. “Pria dari kelas samurai bahkan memasak dan membersihkan atau melakukan perbaikan di sekitar rumah,” tulis Anne Walthall di laman Engelsberg Ideas.
Banyak samurai mengandalkan pekerjaan sampingan, membuat kandang kriket, misalnya, untuk menambah gaji mereka yang tidak seberapa. Para istri juga berkontribusi pada pendapatan keluarga dengan membuat ikat rambut, menjahit, atau melakukan pekerjaan sambilan lainnya. Wanita samurai di wilayah Mito melakukan pemintalan dan menenun.
Wanita diperlukan dalam rumah tangga samurai di Kekaisaran Jepang
Organisasi rumah tangga samurai membuat keberadaan seorang wanita diperlukan. Silsilah yang disimpan oleh domain mencantumkan setiap anggota kelompok pengikut sebagai kepala rumah tangga. Meskipun rumah tangga ini adalah patrilineal, konstitusi rumah tangga mengharuskan istri juga dicantumkan. Dalam hal ini, dijelaskan juga siapa ayah atau orang tua dari sang istri.
Kehadiran wanita dalam silsilah ini menunjukkan bahwa mereka memainkan peran penting dalam membangun aliansi antar rumah tangga. Samurai dari semua tingkatan harus mendapatkan izin untuk menikah untuk memastikan kohesi kelompok punggawa, untuk menjaga dari kolusi, dan untuk menjamin bahwa pasangan yang bertunangan berasal dari rumah tangga dengan status yang kurang lebih sama.
Pria dari kelas samurai seharusnya menikah dengan wanita dari keluarga samurai juga. Bagaimana jika seorang samurai ingin menikahi seorang wanita dari keluarga non-samurai? Si wanita harus diadopsi ke dalam keluarga samurai lain, sebaiknya dari wilayah yang sama. Setelah itu, pernikahan dapat dilakukan.
Memiliki seorang istri memberi samurai kedudukan dalam komunitasnya. Ia dipandang sebagai pria dewasa dengan tanggung jawab orang dewasa. Maka karena itu, ia pun dihormati.
Aktivitas istri samurai di Kekaisaran Jepang
Wanita non-samurai dan wanita samurai melakukan banyak aktivitas yang sama. Selain kontribusi untuk penghidupan yang disebutkan di atas, perempuan menjahit untuk rumah tangga.
Untuk mencuci kimono misalnya, harus dibongkar, potongannya dicuci, direntangkan di atas papan hingga kering, lalu dijahit kembali. Pakaian juga harus dijahit dan diperbaiki.
Wanita menyiapkan makanan atau setidaknya mengawasi persiapannya. Istri samurai juga bertanggung jawab dengan hubungan antar keluarga dan kerabat. Sama halnya seperti wanita lain pada umumnya.
Namun ada yang membedakan antara istri samurai dengan wanita lain. Istri seorang petani tinggal dan bekerja di luar ruangan. Wanita di kota bekerja di dalam rumah tetapi ia pergi berbelanja dan bertamasya. Istri samurai diharapkan untuk tetap berada di dalam ruangan. “Semakin tinggi pangkatnya suaminya, semakin tidak terlihat istrinya,” tambah Walthall.
Pada kesempatan langka ketika istri samurai meninggalkan rumah mereka, mereka tidak pernah keluar sendirian. Jika wanita itu berpangkat cukup tinggi, dia naik tandu dengan setidaknya satu pelayan mengikuti di belakang. Dua kali setahun istri samurai melakukan kunjungan ke orang tuanya, ziarah ke kuil, dan kuburan setempat. Mereka juga menghadiri pesta pernikahan dan pemakaman kerabat.
Wanita samurai dilarang pergi ke teater atau tempat hiburan lainnya.
Istri samurai Kekaisaran Jepang harus belajar beberapa hal baru
Meski jarang tampil di depan umum, wanita samurai diharapkan untuk terus meningkatkan keahliannya. Istri samurai di kota kastel provinsi, terutama di timur laut Jepang, memiliki sedikit kesempatan untuk belajar. Mereka lebih banyak menjahit, melakukan manajemen rumah tangga, etiket dan tingkah laku. Banyak dari mereka tidak memiliki akses ke buku.
Lain halnya dengan istri samurai yang tinggal di Kekaisaran Jepang bagian barat atau lebih dekat ke pusat kota. Mereka memiliki lebih banyak pilihan untuk belajar. Mereka mungkin belajar cara menulis puisi, cara membedakan berbagai jenis dupa, hingga cara memainkan koto atau alat musik lain. Istri samurai di wilayah barat juga mempelajari cara menggunakan naginata – tombak dengan bilah melengkung.
Peran penting istri samurai dalam menjaga hubungan sosial dengan kerabat
Terlepas dari keterasingannya, wanita samurai memainkan peran penting dalam membangun hubungan erat antara kelompok punggawa. Dua kali setiap tahun, keluarga bertukar hadiah dengan kerabat dan pelanggan. Wanita melacak pertukaran ini dan menyiapkan hadiah. Ia membungkusnya dengan kertas atau daun atau menemukan objek yang cocok untuk dipajang.
Selain mengatur pertukaran hadiah, wanita samurai memiliki kewajiban sosial lainnya. Di era sebelum telepon, orang sering mampir secara tidak terduga. Ini dilakukan kapan saja tanpa memperhatikan kenyamanan tuan rumah.
Istri samurai adalah orang yang bertanggung jawab atas rumah tangga saat suaminya sedang bekerja. Maka, ia harus menjamu teman-temannya ketika mereka datang berkunjung dengan menyiapkan makanan dan bercakap-cakap.
Meski jarang terekspos, istri samurai Kekaisaran Jepang memiliki peran dan posisi penting dalam rumah tangganya.