Nationalgeographic.co.id—Aleksander Agung dikenal sebagai penakluk terhebat dalam sejarah kuno. Di usianya yang ke-20, ia sudah memegang takhta tertinggi Kerajaan Makedonia.
Sayangnya, ia hanya memimpin selama 12 tahun. Sang raja dan penakluk muda itu meninggal setelah menaklukkan salah satu kerajaan terbesar di dunia kuno. Selama waktu itu, apakah dia memiliki keturunan?
Jika Aleksander Agung memiliki keturunan, apa yang terjadi pada ahli warisnya? Apakah anaknya menggantikan sang ayah di Kerajaan Makedonia?
Kematian Aleksander Agung yang memicu pertikaian dalam sejarah kuno
Tak lama setelah kematiannya di Babilon, kekacauan merebak. Aleksander Agung tidak menyebutkan nama penerus yang jelas.
Rakyat Makedonia pun berdebat tentang nasib kekaisaran.Termasuk para jenderal yang saling bertikai.
Saking serunya mereka berselisih, jenazah Aleksander Agung dibiarkan berhari-hari tanpa pengawasan.
Meski dibiarkan begitu saja di tengah panasnya udara Babilonia, menurut legenda, jenazahnya tidak mengalami pembusukan.
Bagi para jenderal-jenderal yang haus kekuasaan, tubuh Alexander lebih dari sekadar mayat. Jenazah tersebut merupakan jimat yang mewakili otoritas dan legitimasi di dunia baru setelah kematian Aleksander Agung.
Jadi, siapa pun yang mengendalikan jenazah tersebut, memegang kekuasaan besar di kerajaannya.
Lalu mengapa bukan keturunan Aleksander Agung saja yang mengisi kekosongan takhta?
Keturunan Aleksander Agung yang dicatat dalam sejarah kuno
Aleksander memiliki satu dan bahkan mungkin dua anak - keduanya putra. Salah satunya, yang dikenal sebagai Aleksander IV.
Anak itu adalah putranya dengan istrinya, Roxana. Yang lainnya, yang dikenal sebagai Herakles dari Makedonia, adalah putranya dengan Barsine. Barsine dipercaya sebagai gundik sang penakluk dari Makedonia itu.
Roxana adalah putri seorang kepala suku di Bactria, sebuah daerah di Asia Tengah. Pasukan Aleksander menangkapnya saat melakukan penyerangan di wilayah tersebut.
Ia menikah dengannya sekitar tahun 327 Sebelum Masehi, tulis Ian Worthington, seorang profesor sejarah kuno di Macquarie University.
“Ironisnya, Aleksander Agung tidak pernah melihat putra-putranya,” tulis Owen Jarus di laman Live Science.
Roxana mengandung Aleksander IV ketika Aleksander Agung meninggal di Babilonia pada tahun 323 Sebelum Masehi.
Herakles dari Makedonia lahir dari seorang gundik bernama Barsine. Ia adalah wanita bangsawan Persia. Herakles diperkirakan lahir sekitar tahun 327 Sebelum Masehi.
Beberapa sarjana di zaman modern mempertanyakan apakah Aleksander Agung sebenarnya adalah ayah dari Herakles.
Mengapa? Keraguan muncul karena Aleksander Agung tidak pernah secara resmi mengakui anak tersebut. Meski begitu, tampaknya ada konsensus di antara beberapa sarjana modern bahwa Heracles adalah putra kandungnya.
Mengapa kedua putra Aleksander Agung tidak menjadi raja?
Setelah Aleksander Agung meninggal di usia 32 tahun, tidak ada penerus yang jelas untuk kerajaan besarnya.
Wilayah kekuasaan sang penakluk itu membentang dari Balkan hingga Pakistan modern. Karena itu, dia dikenal sebagai penakluk hebat dalam sejarah kuno.
Istrinya sedang mengandung Aleksander IV, meskipun pada saat itu tidak diketahui apakah anaknya laki-laki atau perempuan.
Meski ia putra Aleksander Agung, Herakles dari Makedonia bukanlah keturunan yang sah. Fakta itu mempersulit klaimnya atas takhta.
Anak laki-laki itu tidak pernah berusaha untuk mengambil takhta ayahnya. “Pasalnya, ia adalah tidak sah dan anak dari seorang gundik,” kata Jarus.
Selain itu, Roxana dan Barsine adalah keturunan Asia. Fakta ini tidak disukai oleh beberapa pasukan Aleksander.
“Menurut sejarawan Romawi kuno Quintus Curtius, kedua putranya diusulkan sebagai calon pewaris takhta dalam pertemuan para jenderal dan kavaleri. Namun rupanya infanteri menolak keduanya. Hal itu disebabkan karena kedua ibu adalah orang Asia,” ungkap Carol King. Carol King adalah seorang profesor klasik di Memorial University of Newfoundland.
Perebutan kekuasaan yang penuh darah dalam sejarah kuno
Arrhidaeus, saudara tiri Aleksander Agung, menjadi raja dan Aleksander IV dijadikan wakil penguasa setelah dia lahir.
Namun, baik Arrhidaeus maupun Aleksander IV sama-sama tidak memerintah secara nyata.
Arrhidaeus memiliki beberapa macam gangguan mental yang membuatnya sulit untuk menjalankan kekuasaan. Sementara Aleksander IV masih bayi pada saat itu. Akibatnya, semua menjadi pion dalam perang penentuan penerus.
Jenderal Aleksander yang kuat berperang satu sama lain untuk merebut takhta. “Pada saat itulah Arrhidaeus dan Aleksander IV dibunuh,” ujar Jarus.
Ibu Aleksander Agung, Olympias, memiliki peran penting dalam perebutan kekuasaan yang berdarah itu. Pada 317 Sebelum Masehi, dia setuju untuk menjadi wali Aleksander IV.
Lalu dengan bantuan pasukan yang dipimpin oleh seorang jenderal bernama Polyperchon, ia menangkap Arrhidaeus dan membunuhnya.
Namun, pasukan yang dipimpin oleh seorang jenderal bernama Cassander menyerang Olympias. Sang jenderal kemudian menangkapnya bersama Aleksander IV pada tahun 316 Sebelum Masehi. Saat itulah Olympias tewas di tangan Cassander.
Aleksander IV dan Roxana kemudian mendapati diri mereka ditawan oleh Cassander. Dengan begitu, Cassander secara efektif menguasai Makedonia sebagai raja.
Cassander tidak ingin ada persaingan untuk takhta. Oleh karena itu, dia pun membunuh Aleksander IV dan Roxana sekitar tahun 309 Sebelum Masehi. Tindakannya itu dilakukan untuk mencegah pewaris remaja menjadi dewasa dan berpotensi mengambil kekuasaan kelak.
Herakles dari Makedonia tidak lebih baik. Jenderal Polyperchon menawan anak haram Aleksander. Setelah mencapai kesepakatan dengan Cassander, Polyperchon membunuhnya tak lama setelah kematian Aleksander IV.
Jadi, Aleksander Agung memiliki dua orang putra. Ironisnya, ia tidak pernah bertemu dengan keduanya. Dalam dokumentasi sejarah kuno, putra-putra Aleksander Agung pun tidak pernah menggantikan sang ayah untuk memimpin.