Nationalgeographic.co.id—Mungkinkah, gajah sumatra kelak tinggal cerita? Dari tahun ke tahun, populasi sang gergasi rimba terus menurun dan mengkhawatirkan. Berdasarkan data dalam “Rencana Tindakan Mendesak Penyelamatan Populasi Gajah Sumatera 2020-2023”, populasi gajah sumatra pada 2017 diperkirakan 1.694-2.038 individu.
Lembaga konservasi internasional, IUCN (International Union for Conservation of Nature), telah memasukkan mereka dalam status Critically Endangered (CR), yang artinya berisiko punah dalam waktu dekat. Salah satu penyebab terancamnya hidup sang gajah adalah menyusutnya hutan yang menjadi habitat mereka.
Di Riau misalnya, sebagian hutan telah berubah menjadi perkebunan, tambang, atau permukiman. Di tengah ancaman itu, gajah-gajah mencoba bertahan untuk meneruskan spesiesnya. Terdapat sebuah kisah pilu di Riau, tentang seekor gajah jantan yang berjalan puluhan kilometer untuk kawin.
Namanya adalah codet, gajah jantan dewasa tanpa gading yang sering beraktivitas di Balai Raja. Ia diberi nama codet karena saat ditemukan pertama kali dalam kondisi penuh luka. Mulai dari leher hingga tubuh bagian belakang.
Codet adalah gajah soliter, yang hidupnya menyendiri. Saat itu, tim Rimba Satwa Foundation (RSF) sedang mengikuti pergerakan codet melalui GPS Collar dan pengamatan langsung di lapangan.
Kala itu, belum ada yang mengetahui jika codet sedang memasuki masa kawin. Namun, setelah melihat ciri khusus seperti munculnya minyak di dekat mata dan sifatnya yang agresif, mereka mulai curiga. Tim RSF kemudian melanjutkan untuk melakukan pengamatan.
Sebab, gajah betina lebih banyak berkumpul di kawasan Giam Siak Kecil. Antara Balai Raja dan Giam Siak Kecil, kini telah mengalami perubahan lanskap, sehingga menyulitkan gajah-gajah untuk saling bertemu. Perubahan itu seperti akses jalan lintas Sumatra, jalan tol, jalan lingkar barat Duri, permukiman, hingga perkebunan.
Selama tiga hari, RSF mengikuti pergerakan codet. Hal yang menyesakkan adalah ia kerap mengalami pengusiran ketika hendak melewati perkebunan. Sehingga, ia harus berbalik atau melewati jalan lain. “Ada masyakarat yang mengusir, dia berlari,” terang Zhulhusni Syukri, pendiri RSF.
Hari berikutnya, codet juga harus berhadapan dengan jalan tol. Namun, ia berhasil menyebrang melalui bawah jembatan. Sesampainya di Desa Balai Pungut, codet perlu menunggu hingga malam hari supaya dapat menyebrang jalan lintas Sumatra. Kemudian, ia masuk lagi ke sebuah desa dan lagi-lagi, menghadapi pengusiran.
Namun, karena codet merupakan gajah tunggal, masyarakat setempat tidak merasa terlalu terusik, karena kerugian dari satu ekor gajah dianggap tidak terlalu banyak. Setelah itu, ia masih harus melewati kebun perusahaan, kebun sawit, dan kebun eukaliptus. Hingga akhirnya, dia bergabung dengan kelompok betina. “Waktu itu ada sekitar 40 kilometer dia berjalan,” terang Husni.
Codet kemudian tinggal selama dua minggu dalam kelompok betina untuk kawin. Gajah termasuk hewan poligini. Artinya, satu individu jantan bisa melakukan aktivitas kawin dengan lebih dari satu betina.
Kini, dengan semakin sempitnya hutan, hidup gajah sumatra kian terpinggirkan. Bahkan, untuk berkembang biak, mereka perlu melewati rintangan atau lari dari kejaran manusia.
Ke manakah gajah sumatra harus bertahan? Sudah saatnya, manusia memberi peluang bagi gajah untuk hidup lebih baik. Mari, lestarikan gajah sumatra!