Wawasan Baru dari Liang Bua, Tempat Homo floresiensis Ditemukan

By Utomo Priyambodo, Kamis, 5 Oktober 2023 | 07:00 WIB
Liang Bua adalah gua dingin tempat ditemukannya manusia kerdi Homo floresiensis yang namanya berarti manusia dari Flores. (Rosino/WorldHistory.org)

Nationalgeographic.co.idLiang Bua adalah tempat ditemukannya kerangka manusia kerdil Homo floresiensis yang namanya berarti manusia dari Flores. Gua ini berada di daerah perbukitan karst di wilayah Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.Pada 28 Oktober 2004, dunia ilmu pengetahuan di Indonesia dan hampir seluruh dunia gempar. Pasalnya, Nature, sebuah jurnal sains bergengsi dari Amerika, mengumumkan sebuah temuan spesies manusia baru dari Flores, Indonesia.Publikasi berjudul "Short for her age; Third Asian Homo species reveals diversity of Pleistocene humanity" itu disajikan amat mencolok pada halaman sampul depan majalah jurnal tersebut. Hal ini tentu saja membuat kalangan ilmuwan dunia (khususnya di Indonesia) menjadi sangat terkejut. Sebuah rangka manusia yang tergolong lengkap (serta beberapa fragmen tulang dari individu lain) dan budayanya (alat-alat litik) serta sisa-sisa tulang fauna endemik (stegodon kecil dan besar, komodo, sejenis tikus, burung besar, dan lain-lain) telah ditemukan di gua itu. Penemuan dilakukan lewat suatu penggalian sistematis oleh tim kerja sama antara peneliti dari Indonesia (Puslitbang Arkeologi Nasional, kini BRIN) dan Australia (University of New England). Rangka manusia dan budayanya yang ditemukan di Liang Bua pada tahun 2003-2004 itu kemudian diberi nama Homo floresiensis. Hasil penanggalan sementara menunjukkan bahwa manusia ini hidup sekitar 38.000-18.000 tahun lalu demikian laporan penelitian Jatmiko dan timnya dalam A new small-bodied hominin from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia.Kerangka manusia purba berbadan kecil itu dijuluki juga sebagai Mama Flo. Dia memiliki tinggi 106 sentimeter dengan volume otak sekitar 380 hingga 400 cc. Ukuran kecil ini membuat publik menjuluki Homo floresiensis ini sebagai Hobbit. Julukan itu merujuk pada tokoh fiksi dalam film yang diangkat dari novel karya J.R.R Tolkien Lord of The Rings, yang kebetulan trilogi filmnya tayang pada tahun 2001, 2002, dan 2003, berdekatan dengan momen penemuan kerangka Mama Flo.Selain berukuran kecil, bentuk tulang paha Mama Flo lebih panjang dari lengan atas. Karakter ini memiliki persamaan dengan manusia tertua Lucy (Australopithecus afarensis) di Etiopia dari 3,2 juta tahun silam. Artinya, walau memiliki dua kaki untuk berjalan di atas tanah, mereka sering menghabiskan waktunya dengan memanjat, urai Jatmiko, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, beberapa waktu lalu.Kini, sebuah penelitian terbaru mengenai Liang Bua telah memberi wawasan baru mengenai perubahan perilaku manusia dari masa lampau. I Made Agus Julianto, peneliti arkeologi dari Universitas Udayana, membuat sebuah studi bertajuk "New insights into modern human behaviour at Liang Bua (Flores, Indonesia) based on the temporal distribution of pottery and mollusks during the past 5,000 Years"."Liang Bua, seperti kita ketahui, merupakan gua karst yang terkenal dengan temuan Homo floresiensis-nya yang ditemukan pada tahun 2003," ujar Agus di acara Commemoration of the 20th Anniversary of Homo floresiensis Discovery yang diadakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Selasa, 3 Oktober 2023."Situs ini juga memiliki temuan-temuan dari periode Holosen yang relatif lengkap, seperti sisa-sisa fauna, artefak batu, gerabah, dan bukti kerangka atau sisa manusia modern yang ada di situs Liang Bua. Ini ditemukan sekitar 46.000 tahun lalu hingga sekarang," lanjut agus di acara perayaaan 20 tahun penemuan Homo floresiensis di Liang Bua itu.

Homo floresiensis di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, menjadi tema perdana di National Geographic Indonesia. Penyinkapan arkeologis ini masih menimbulkan tanda tanya tentang peradaban purba manusia di kepulauan Indonesia. (National Geographic Indonesia)
Agus menjelaskan bahwa eksploitasi kerang biasanya dikaitkan dengan kelompok manusia pemburu dan peramu yang memiliki kompleksitas sosial yang besar. Eksploitasi kerang sebagai sumber makanan oleh manusia modern awal dan Neanderthal telah terdokumentasi dengan baik. Misalnya manusia modern di Afrika mengonsumsi setidaknya sepuluh spesies kerang laut yang berbeda sejak 160.000 tahun lalu. "Sedangkan di situs Gibraltar menunjukkan bahwa Neanderthal juga mengeksploitasi kerang dan hewan sejenis lainnya," imbuh Agus."Kemudian di Asia Barat dan Afrika Utara, manik-manik yang terbuat dari cangkang kerang laut merupakan bukti awal simbolis manusia modern sekitar 100.000 tahun lalu."Di situs Sangiran, Pulau Jawa, ditemukan pula bukti yang menunjukkan bahwa Homo erectus menggunakan kerang sebagai alat sejak 1,6 juta tahun lalu. Secara umum, eksploitasi moluska oleh manusia modern di Kepulauan Asia Tenggara berkembang pesat sekitar 140.000 tahun lalu untuk makanan maupun produksi artefak, baik itu dari kerang laut, payau, dan air tawar."Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa eksploitasi kerang oleh manusia Liang Bua tidak ditemukan pada lapisan Pleistosen, melainkan ditemukan pada masa Holosen, terutama sekitar 5.000 tahun lalu. Kemudian gerabah diperkirakan masuk kesitu sekitar 4.000 tahun lalu," tutur Agus. Analisis stratigrafi dalam peneliti lalu dilakukan secara manual. Adapun analisis stratigrafi dalam peneliti terbaru yang dilakukan Agus dilakukan secara digital agar lebih akurat."Ini untuk menentukan secara lebih tepat kapan gerabah pertama kali masuk ke Liang Bua. Hal ini penting karena gerabah kemungkinan besar menandakan populasi manusia di wilayah ini sedang beralih ke gaya hidup yang lebih menetap dan bercocok tanam," ucap Agus.Data waktu masuknya gerabah ke Liang Bua ini penting. Sebab, penyebaran gerabah di Kepulauan Asia Tenggara sudah lama dikaitkan dengan persebaran manusia atau masyarakat Austronesia. "Kemudian tujuan kedua dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang sisa kerang di Liang Bua. Dalam hal umur, taksonomi, dan apakah keseluruhan kerang ataupun sebagian tumpukan kerang di Liang Bua ini merupakan hasil aktivitas dari manusia. Kemudian jika iya, bagaimana cara pengolahannya," beber Agus. Hasilnya ditemukan 261 pecahan gerabah dari sektor XXXII hingga XXIX di situs Liang Bua. Berdasarkan sebaran ini, Agus memperkirakan gerabah telah digunakan di situs itu sejak 3,3 ribu tahun yang lalu. "Namun, digunakan dengan skala yang lebih besar itu setelah 3 ribu tahun yang lalu di atas tumpukan kerang yang cukup padat," ujar Agus. Kemunculan dan penggunaan gerabah secara rutin di Liang Bua kemungkinan menandakan adanya pergeseran ke arah peningkatan sendentisme atau pertanian di daerah sekitar gua.

Liang Bua, gua di Flores, tempat ditemukannya Homo floresiensis yang dijuluki sebagai hobbit. (Felix Dance/Wikimedia Commons)
Adapun terkait timbunan kerang di situs Liang Gua, umurnya diperkirakan lebih tua. "Timbunan kerang di Liang Bua itu terjadi di antara 4,4 ribu hingga 3,3 ribu tahun yang lalu. Mencakup sebagian besar spesies air tawar yang dieksploitasi untuk dikonsumsi oleh manusia," paparnya. "Kemudian selain eksploitasi kerang air tawar dan mungkin air payau untuk dimakan, cangkang kerang dari berbagai spesies kerang air laut menunjukkan adanya tanda-tanda komodifikasi. Di mana 12 di antaranya dibuat menjadi manik-manik dan satu seperti bor dan scraper."Kehadiran 12 kerang laut yang dikomodifikasi di Liang bua merupakan bukti simbolis yang menunjukkan bahwa masyarakat di daerah ini tidak hanya mengeksploitasi kerang untuk makanan. Mereka juga telah mengolah kerang juga menjadi produk budaya dan alat teknologi.Menurut Agus, penelitian ini membantu menyempurnakan pemahaman kita tentang populasi manusia yang tinggal di sekitar Liang Bua sekitar 5.000 tahun yang lalu. Penelitian lebih lanjut tentu akan semakin menyempurnakan pemahaman kita tentang kehidupan manusia masa lampau di sekitar Liang Bua, tempat kerangka Homo floresiensis atau Mama Flo ditemukan.