Berbeda dengan biarawan, seorang biarawati (atau wanita mana pun) tidak bisa menjadi pendeta dan oleh karena itu pelayanan di biara memerlukan kunjungan rutin dari pendeta laki-laki.
Keperawanan merupakan persyaratan integral bagi seorang biarawati dalam sejarah Abad Pertengahan. Kemurnian fisik dianggap sebagai satu-satunya titik awal untuk mencapai kemurnian spiritual.
Namun, pada abad ke-7 M, dan dengan diterbitkannya risalah seperti Aldhelm's On Virginity (680 M), diketahui bahwa wanita dan janda yang sudah menikah juga dapat memainkan peran penting dalam kehidupan biara.
Yang penting memiliki ketabahan spiritual untuk menjalani kehidupan pertapa adalah syarat terpenting bagi wanita berikrar.
Seorang biarawati diharapkan mengenakan pakaian sederhana sebagai simbol penolakannya terhadap barang-barang duniawi dan gangguan.
Tunik panjang merupakan pakaian khas, dengan kerudung yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah sebagai simbol perannya sebagai 'Mempelai Kristus'.
Kerudung itu menyembunyikan rambut biarawati yang harus dipotong pendek. Para biarawati tidak boleh meninggalkan biara mereka dan kontak dengan pengunjung luar, terutama laki-laki.
Meski begitu, terdapat kasus-kasus skandal, seperti pada pertengahan abad ke-12 M di Biara Gilbertine Watton di Inggris di mana seorang pria melakukan hubungan seksual dengan seorang biarawati.
Setelah skandal itu terungkap, pria itu dikebiri sebagai hukumannya karena dianggap pemerkosaan. Meskipun dalam kasus ini hubungan tersebut tampaknya bersifat suka sama suka.