Kehidupan Biarawati yang Harus Perawan dalam Sejarah Abad Pertengahan

By Ricky Jenihansen, Rabu, 18 Oktober 2023 | 08:00 WIB
Keperawanan dianggap sebagai bukti kemurnian fisik bagi biarawati dalam sejarah Abad Pertengahan. (Giussepe Molteni/Creative Commons)

Nationalgeographic.co.id—Biarawati adalah wanita Kristen Katolik yang menjalani hidup untuk melayani tuhan. Dalam sejarah Abad Pertengahan, keperawanan merupakan persyaratan integral dan wajib bagi seorang biarawati.

Keperawanan dianggap sebagai bukti kemurnian fisik, sebagai satu-satunya titik awal untuk mencapai kemurnian spiritual.

Seperti diketahui, biara merupakan fitur yang selalu ada di lanskap sejarah Abad Pertengahan. Mungkin lebih dari setengahnya dikhususkan hanya untuk perempuan.

Peraturan dan gaya hidup di dalam biara sangat mirip dengan di biara laki-laki. Para biarawati mengucapkan kaul kesucian, meninggalkan barang-barang duniawi dan mengabdikan diri mereka untuk berdoa.

Para biarawati perawan ini belajar agama dan membantu masyarakat yang paling membutuhkan. Banyak biarawati yang menghasilkan literatur dan musik keagamaan.

Yang paling terkenal di antara semua literatur dan musik keagamaan adalah karya kepala biara Hildegard dari Bingen pada abad ke-12 M.

Asal Usul & PerkembanganBiarawati adalah wanita Kristen Katolik yang berikrar untuk menjalani kehidupan asketis sederhana yang suci demi menghormati Tuhan.

Kehidupan biarawati untuk memperoleh pengetahuan dan melakukan pekerjaan amal dibuktikan sejak abad ke-4 M, atau bahkan lebih awal.

Sama seperti orang-orang Kristen yang menjalani kehidupan seperti itu di daerah terpencil di Mesir dan Suriah.

Sama seperti pria Kristen yang menjalani hidup semacam itu di daerah terpencil Mesir dan Suriah. Bahkan, beberapa asketif terkenal dari periode tersebut adalah perempuan.

Termasuk Santa Maria dari Mesir yang dulunya pelacur yang bertaubat (sekitar 344-421 Masehi) yang terkenal menghabiskan 17 tahun di padang pasir.

Seiring berjalannya waktu, para asketis mulai hidup bersama dalam komunitas, meskipun pada awalnya mereka tetap menjalani kehidupan individualistis dan hanya bergabung bersama untuk melakukan pelayanan.

Ketika komunitas-komunitas tersebut menjadi lebih besar, maka para anggotanya mulai hidup lebih komunal. Mereka berbagi akomodasi, makanan dan tugas-tugas yang diperlukan untuk menopang kompleks yang membentuk apa yang sekarang kita sebut biara dan biarawati.

Ilustrasi skandal hubungan seksual dengan biarawati pada pertengahan abad ke-12 M di Biara Gilbertine Watton di Inggris. (Creative Commons)

Sejarah Abad Pertengahan mencatat, ide monastik menyebar ke Eropa pada abad ke-5 M. Tokoh-tokoh seperti kepala biara Italia Saint Benedict dari Nursia (480-c. 543 M) membentuk aturan perilaku biara.

Ia kemudian mendirikan Ordo Benediktin yang kemudian mendirikan biara-biara di seluruh Eropa. Menurut legenda, Benediktus mempunyai saudara kembar, Saint Scholastica, dan dia mendirikan biara untuk wanita.

Biara-biara seperti itu sering kali dibangun agak jauh dari biara-biara para biarawan, karena para kepala biara khawatir para anggotanya akan terganggu oleh kedekatan dengan lawan jenis.

Biara seperti Biara Cluny di Burgundy Prancis, misalnya, melarang pendirian biara dalam jarak beberapa kilometer dari biara wanita.

Namun demikian, pemisahan seperti itu tidak selalu terjadi dan bahkan terdapat biara-biara campuran. Terutama di Eropa utara dengan Biara Whitby di Yorkshire Utara, Inggris dan Interlaken di Swiss menjadi contoh yang terkenal.

Mungkin penting untuk diingat bahwa, bagaimanapun juga, kehidupan monastik abad pertengahan antara biarawan dan biarawati sangat mirip.

Seperti biara laki-laki, biara perempuan dapat menghidupi diri mereka sendiri melalui sumbangan tanah, rumah, uang dan barang dari para dermawan. Kemudian dari pendapatan perkebunan dan properti melalui sewa dan produk pertanian atau melalui pembebasan pajak kerajaan.

Kehidupan sehari-hariKebanyakan biarawati pada umumnya mengikuti peraturan ordo Benediktin. Namun ada pula biara-biara lain yang berasal dari abad ke-12 M, khususnya biara-biara Cistercian yang lebih keras.

Para biarawati pada umumnya mengikuti serangkaian aturan yang harus dipatuhi oleh biarawan, tetapi beberapa kode etik ditulis khusus untuk biarawati dan kadang-kadang bahkan diterapkan di biara pria.

Para biarawati dipimpin oleh seorang kepala biara yang memiliki otoritas absolut. Kepala biara dibantu oleh seorang kepala biara dan sejumlah biarawati senior (taat) yang diberi tugas khusus.

Berbeda dengan biarawan, seorang biarawati (atau wanita mana pun) tidak bisa menjadi pendeta dan oleh karena itu pelayanan di biara memerlukan kunjungan rutin dari pendeta laki-laki.

Keperawanan merupakan persyaratan integral bagi seorang biarawati dalam sejarah Abad Pertengahan. Kemurnian fisik dianggap sebagai satu-satunya titik awal untuk mencapai kemurnian spiritual.

Namun, pada abad ke-7 M, dan dengan diterbitkannya risalah seperti Aldhelm's On Virginity (680 M), diketahui bahwa wanita dan janda yang sudah menikah juga dapat memainkan peran penting dalam kehidupan biara.

Yang penting memiliki ketabahan spiritual untuk menjalani kehidupan pertapa adalah syarat terpenting bagi wanita berikrar.

Seorang biarawati diharapkan mengenakan pakaian sederhana sebagai simbol penolakannya terhadap barang-barang duniawi dan gangguan.

Tunik panjang merupakan pakaian khas, dengan kerudung yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah sebagai simbol perannya sebagai 'Mempelai Kristus'.

Kerudung itu menyembunyikan rambut biarawati yang harus dipotong pendek. Para biarawati tidak boleh meninggalkan biara mereka dan kontak dengan pengunjung luar, terutama laki-laki.

Meski begitu, terdapat kasus-kasus skandal, seperti pada pertengahan abad ke-12 M di Biara Gilbertine Watton di Inggris di mana seorang pria melakukan hubungan seksual dengan seorang biarawati.

Setelah skandal itu terungkap, pria itu dikebiri sebagai hukumannya karena dianggap pemerkosaan. Meskipun dalam kasus ini hubungan tersebut tampaknya bersifat suka sama suka.