Nationalgeographic.co.id—Bulan Juni 1644 merupakan titik balik dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok. Saat itu, Istana Kota Terlarang dibakar oleh Li Zicheng. Pembakaran istana tersebut merupakan bagian dari peristiwa transisi Dinasti Ming ke Dinasti Qing. Qing merupakan salah satu dinasti Kekaisaran Tiongkok yang terpanjang, paling berpengaruh, dan yang terakhir.
Tansisi Ming-Qing memiliki konsekuensi yang sangat besar jika dilihat dari berbagai perspektif. Namun, detail tentang peristiwa di bulan Juni 1644 itu sendiri sangat menarik. Salah satu sumber penting untuk peristiwa ini berasa dari karya klasik Frederic Wakeman tahun 1985, The Great Enterprise.
Dua pasukan siap berperang
Pada tanggal 25 Mei, di perbukitan dekat Teluk Bohai di utara Tembok Besar, dua pasukan bersiap untuk berperang. Yang pertama terdiri dari pasukan Ming yang dipimpin oleh Jenderal Wu Sangui. Perintah Wu adalah membela kaisarnya dari pasukan kedua. Pasukan kedua adalah pasukan Manchu yang dipimpin oleh Dorgon dari Dinasti Qing.
Saat kedua pasukan itu berhadapan, ada pasukan ketiga yang dipimpin oleh Li Zicheng. Li Zicheng baru saja memproklamasikan Dinasti Shun. Li Zicheng adalah pemimpin pemberontakan petani di era Dinasti Ming.
Dengan rencana penaklukan, tentara Manchu yang dipimpin Dorgon telah meninggalkan ibu kotanya — Shenyang saat ini — dan berbaris menuju Tiongkok. Namun jalur mereka diblokir oleh pasukan Wu. Dorgon memulai serangannya dengan berpikir bahwa ia mungkin bersekutu dengan para pemberontak melawan Ming. Bahkan ada diskusi tentang kemungkinan pengaturan pembagian kekuasaan yang mungkin membagi Tiongkok Utara antara Shun dan Qing.
Namun, keadaan berubah dengan cepat. Pada tanggal 20 Mei, Dorgon mengetahui bahwa Kaisar Ming telah meninggal dan Li Zicheng telah menduduki ibu kota. Pasukan Li Zicheng tidak lagi menjadi sekutu potensial.
Siapa yang akan memegang Mandat Surga setelah Dinasti Ming digulingkan?
Tantangan militer untuk menggulingkan Dinasti Ming bukanlah hal yang mudah. “Namun memenangkan hati rakyat Tiongkok secara politik akan lebih sulit lagi,” tulis James Carter di laman The China Project. Penasihat Dorgon dari Kekaisaran Tiongkok menyarankan agar invasi Manchu digambarkan sebagai pembalasan atas Dinasti Ming, alih-alih upaya penaklukan. Dengan cara tersebut, maka Dorgon bisa mengambil hati rakyat Kekaisaran Tiongkok.
Tapi apakah invasi asing lebih baik daripada pemberontakan dalam negeri? Kisah-kisah dari Beijing menunjukkan hal itu. Wakeman mengutip Fan Wencheng, seorang negarawan Tiongkok Han yang melayani beberapa kaisar awal Dinasti Qing sebagai penasihat. Wencheng menggambarkan bagaimana tentara Li telah menyiksa rakyat ibu kota. Pemerkosaan, penjarahan, dan pembakaran adalah hal yang biasa. Mandat Surga memang sudah terlepas dari genggaman Dinasti Ming. Tapi kekejaman seperti itu jadi bukti bahwa Mandar Surga bukanlah milik para penjahat yang dipimpin oleh Li Zicheng.
Wu Sangui, jenderal Dinasti Ming, sedang mempertimbangkan pilihannya. Kaisarnya telah gantung diri. Ia ditugaskan untuk mempertahankan jalur Tembok Besar di Shanhaiguan dari para penyerbu dari timur laut. Namun pasukan Manchu yang tertib, disiplin, dan bersenjata lengkap tampak menjadi pilihan yang lebih baik. Ia membandingkannya dengan para petani pemberontak yang kini menduduki Beijing.
Baca Juga: Bagaimana Rasanya Hidup di Kota Terlarang Kekaisaran Tiongkok?