Mari Bercerita Tentang Kita, Pangan, dan Kehilangan-Kehilangan

By National Geographic Indonesia, Kamis, 19 Desember 2024 | 15:00 WIB
Potret orang Sasak di Desa Adat Bayan, Lombok. Perkembangan zaman bisa mengubah budaya dan selera masyarakat. Jalan untuk menyelamatkan keragaman dan ketahanan pangan tampaknya masih panjang. Apa yang seharusnya kita lakukan untuk masa depan pangan? (Syafiudin Vifick/National Geographic Indonesia)

Saya, misalnya, sempat tidak tahu bahwa Lombok punya jeruk endemik bernama sempage, yang kulitnya tebal, terasa asam dan sering dijadikan “kerupuk” yang bisa di-colet-kan ke sambal. Orang-orang tua biasa menyimpan dan mengeringkan kulit sempage sebagai cadangan pangan, tapi itu dulu. Sekarang sempage pelan-pelan hilang. Generasi orangtua saya pun tidak melakukannya.

Di laut, sebaliknya, pengetahuan lokal tentang pangan hilang ketika sumber daya laut hilang. Kalau ikan-ikan semakin ke tengah dan tidak bisa dijangkau oleh mata anak-anak yang berenang, itu artinya pewarisan pengetahuan terhenti. Orang dewasa tidak bisa lagi memperkenalkan ragam jenis ikan berikut teknik olahan, eksplorasi rasa, dan khasiatnya. Ikan semakin ke tengah karena ekosistem pinggir pantai telah rusak, sedangkan ekosistem pinggir pantai rusak karena berbagai faktor.

Di sejumlah daerah, di Padang bagian pesisir misalnya, tujuan-tujuan pariwisata telah mendorong masyarakat untuk melihat laut dengan cara yang sepenuhnya berbeda. Dulu, laut adalah sumber kearifan dan kekayaan pangan; uang yang bisa dihasilkan dari sana sekadar bonus. Kini, laut cuma mata kapital. Nelayan Padang diminta melayani kepariwisataan, tidak lagi mencari ikan. Relasi humanis-spiritual dengan laut memudar. Ikan semakin ke tengah karena hiruk pikuk aktivitas pariwisata.

Masa Depan Keanekaragaman dan Ketahanan Pangan

Tulisan yang tampak penuh kisah duka kehilangan sejak mula paragraf ini mungkin saja dapat memicu rasa pesimis. Namun, saya harus bilang: kita tidak akan bisa beranjak lebih jauh bila tidak berlega hati mengulas masalah-masalah mendasar kita. Harus diakui juga bahwa skala kehilangan yang saya bicarakan di atas cukup luas, terutama sekali karena kehilangan-kehilangan keragaman pangan itu disebabkan oleh adanya perbedaan yang sangat mendasar akan logika pemanfaatan “ruang hayat” antara masyarakat tradisi dan pemangku kebijakan.

Pemerintah yang berkawan dengan korporasi akan sangat sulit dihentikan ketika mereka menentukan ruang hayat sebagai “aset komersil” yang mendatangkan untung-untung praktis semata. Di sisi lain masyarakat tradisi melihat ruang hayat sebagai sumber kekayaan hayati, kekayaan pangan, dan kekayaan budaya, yang, pada gilirannya, melahirkan keragaman dan ketahanan pangan.

Artinya, memperjuangkan masa depan keragaman pangan berarti kita tidak boleh hanya bicara tentang pangan itu sendiri, melainkan juga tentang faktor-faktor yang memastikan pangan tetap tumbuh beragam dan terjaga. Artinya, kita harus bicara tentang lahan, kesehatan tanah, ideologi kaum tani, ideologi negara, dan budaya pangan kita sendiri.

Tentu saja kita bisa menyelenggarakan berbagai forum penggalangan ide-ide baik, misalnya Forum Bumi yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, atau melaksanakan berbagai program strategis yang mempertemukan stakeholders dan kekuatan sipil.

Namun, sebelum itu, saya rasa kita harus mengajukan pertanyaan: Apakah kita semua sanggup untuk makan apa yang tumbuh di sekitar kita, yang ditumbuhkan dengan tangan kita, dan yang tumbuh pada musimnya saja? Apakah kita semua sanggup makan dari apa kita olah sendiri di dapur kita, meski itu artinya kita harus berproses sedikit lebih ribet, daripada mengalah pada pangan praktis yang dibeli?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mewakili hal-hal kecil yang sesungguhnya sangat (atau lebih?) fundamental untuk menyelamatkan keragaman dan ketahanan pangan, dan kita masih kesulitan untuk setia melakukannya. Lukas 16:10 berkata, mereka yang setia pada hal-hal kecil akan pula setia pada hal-hal yang besar. Pemahaman terbalik dari Lukas 16:10 adalah: mereka yang tidak mampu untuk setia melakukan hal-hal kecil akan pula tidak mampu untuk setia melakukan hal-hal yang besar. Jalan untuk menyelamatkan keragaman dan ketahanan pangan tampaknya masih panjang, dan di depan sana, harus kita akui, tujuannya masih tampak suram. 

Kisah ini terpilih sebagai Juara Pertama Kompetisi Menulis Forum Bumi-2: Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia? Kolaborasi National Geographic Indonesia dan Yayasan KEHATI.