Studi Pada Gigi Hitler Berhasil Ungkap Waktu dan Penyebab Kematiannya

By Gita Laras Widyaningrum, Senin, 21 Mei 2018 | 14:10 WIB
Adolf Hitler (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id - Menurut para ilmuwan Prancis yang memiliki akses untuk meneliti gigi Adolf Hitler, diktator tersebut benar-benar meninggal pada 1945 akibat menenggak sianida dan menembak dirinya sendiri.

“Gigi sangat autentik, tidak ada keraguan sama sekali. Studi kami membuktikan bahwa Hitler meninggal pada 1945,” kata profesor Phillippe Charlier.

“Dengan ini, kita bisa menghentikan semua teori konspirasi Hitler. Ia tidak kabur ke Argentina menggunakan kapal selam, tidak berada di markas tersembunyi di Antartika, atau di mana pun,” tambahnya.

Baca juga: Sejarah Singkat Si Fisikawan Genius Kontroversial, Stephen Hawking

Pada Maret dan Juli 2017 lalu, biro penyelidikan rahasia Rusia, menugaskan tim peneliti untuk memeriksa tulang-tulang sang ditaktor, pertama kalinya sejak 1946.

Studi ini memastikan bahwa Hitler benar-benar meninggal pada 30 April 1945, dalam bungker di Berlin, bersama istrinya, Eva Braun. Selain waktu, hasil penelitian juga menunjukkan penyebab kematiannya.

Para peneliti menganalisis pecahan tengkotak Hitler dan menemukan lubang di sisi kirinya. Lubang itu kemungkinan besar disebabkan oleh peluru yang ditembakkan sendiri oleh sang Fuhrer.

“Kami tidak tahu apakah sianida atau peluru di kepala Hitler yang akhirnya mencabut nyawanya. Keduanya sangat mungkin,” kata Charlier.

Baca juga: Meghan Markle Bukan Wanita Berdarah Campuran Pertama Kerajaan Inggris?

Dari hasil pemeriksaan gigi, tidak ditemukan jejak mesiu. Ini mengindikasikan bahwa pistol tidak ditembakkan ke mulut, melainkan ke leher atau dahi.

Sementara itu, endapan kebiru-biruan terlihat pada gigi palsunya. Ini menunjukkan adanya reaksi antara sianida dan logam gigi palsu.

Hasil analisis pada gigi asli maupun palsu milik pemimpin Nazi ini, juga menemukan adanya endapan karang. Namun, tidak ada sisa-sisa serat daging. Charlier mengatakan, itu karena Hitler merupakan seorang vegetarian.

Studi ini dipublikasikan pada majalah ilmiah Eropa, European Journal of Internal Medicine.