Melelehnya Permafrost Arktika Lepaskan Asam yang Melarutkan Batuan

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 28 September 2018 | 17:50 WIB
Permafrost di Greenland. (Adrian Wojcik/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Saat temperatur meningkat di Arktika, permafrost – lapisan es yang membeku di bawah tanah – mencair dengan tingkat yang mengkhawatirkan.

Namun, bukan hanya permafrost di Arktika yang meleleh. Batuan yang sebelumnya tertutup es pun semakin hancur karena ‘termakan’ larutan asam. Studi terbaru menyatakan, efek asam ini juga bisa berdampak luas pada iklim global.

Mineral dari permafrost akan dilepaskan saat es meleleh. Ia kemudian menjadi rentan terhadap pelapukan kimia atau pemecahan batu melalui reaksi kimia.

Baca Juga : BREAKING NEWS: Gempa 7,7 Guncang Donggala, Sulawesi Tengah

Para peneliti menyelidiki wilayah yang pernah tertutup permafrost di Arktika, Kanada Barat. Mereka menemukan fakta bahwa pelapukan disebabkan oleh sulfur yang diproduksi mineral sulfida ketika permafrost meleleh.

Selain itu, pelapukan juga disebabkan oleh asam karbonat yang dapat melarutkan bebatuan di Arktika. Menurut peneliti, meskipun asam karbonat mengunci karbon dioksida (CO2) pada tempatnya, namun erosi asal asam sulfat akan melepaskan CO2 ke atmosfer dalam jumlah yang tidak bisa diperhitungkan.

Di daratan, permafrost yang meleleh akan membentuk lanskap baru melalui proses bernama thermokarst. Itu menciptakan formasi baru seperti danau dan lubang tanah. Proses tersebut , lagi-lagi, memengaruhi pelapukan mineral dan berdampak pada pelepasan CO2.

Diperkirakan ada 1.400 miliar ton karbon yang disimpan dalam permafrost. Jika pencairan terus berlanjut dan aktivitas thermokarst meningkat, maka wilayah yang kaya akan sulfida akan terus mentransfer CO2 dari makam esnya.

Baca Juga : Peradaban yang Hidup dan Berkembang di Dalam Area Panas Bumi Kamojang

Selain pada permafrost, perubahan dramatis juga terjadi di Arktika yang menghangat dua kali lebih cepat dibanding lokasi lain di Bumi. Es semakin menipis sehingga mengurangi kemampuannya dalam memantulkan panas dan membuat suhu laut meningkat.

Beruang kutub, yang juga bergantung pada es untuk memburu anjing laut, kehilangan tempat berburunya sehingga mereka kesulitan mendapat makanan.

Penemuan ini dipublikasikan pada jurnal Geophysical Research Letters.