Lenggak-lenggok Sang Penari Tuli-Bisu Dari Desa Bengkala, Bali

Scroll

"Dalam sebuah dunia yang normal, para penari bergoyang mengikuti iringan dan tabuhan musik. Dalam dunia tuli-bisu, para penabuh menyesuaikan musik pengiring dengan lenggak-lenggok sang penari. Hasilnya sama: sebuah tarian yang memikat."

Gapura batu khas Bali berdiri di mulut gang dengan tulisan “Selamat Datang di Desa Bengkala”. Ini menandai kedatangan kami di Desa Bengkala, sebuah desa di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, di sebelah utara Bali. Desa ini tepatnya berlokasi sekitar 15,6 km dari pusat Kota Singaraja atau sekitar 100 km dari Kota Denpasar.

Menurut prasasti berbentuk enam lempengan tembaga dari zaman pemerintahan Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus Arkaja Cihna (1133-1173 M), pada masa itu desa ini terkadang disebut Bengkala, tetapi kadang juga disebut Bangkala. Prasasti ini berangka tahun saka 1103 (22 Juli 1181 M) dan ditemukan pada 1971.

Jumlah Masyarakat 3.000 Orang
Terlahir Kolok
(Tuli - Bisu)
48
Orang
Kolok dengan
Pendidikan SMP
4
Orang
Kolok dengan
Pendidikan SD
5
Orang
Kolok Buta Huruf
39
Orang
80%
Warga Bisa
Berbahasa Isyarat

Dengan adanya catatan dalam prasasti ini, sah sudah bahwa Desa Bengkala telah ada sejak sangat lama. Tanggal ditulisnya prasasti ini, yaitu 22 Juli, diresmikan menjadi hari peringatan lahirnya Desa Bengkala.

Keistimewaan Desa Bengkala baru terasa ketika kita berhadapan langsung dengan warga di sana. Kemungkinannya besar kita akan disambut dengan ucapan selamat datang menggunakan bahasa isyarat.

Desa Bengkala adalah sebuah desa istimewa yang memiliki komunitas tuli-bisu cukup tinggi. Dari keseluruhan penghuni desa, sekitar 2%-nya atau sekitar 48 orang, lahir dalam keadaan kolok—bahasa Bali untuk tuli-bisu. Karena itu pula, Desa Bengkala sering juga disebut dengan Desa Kolok.

Siang itu, area Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Kolok Bengkala, hasil kerja sama Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Ngurah Rai PT Pertamina (Persero) dengan FlipMas Indonesia dan FlipMas Ngayah Bali, ramai dengan orang-orang hilir-mudik. Warga desa berkumpul di wantilan, gazebo utama di tengah KEM.

Para perempuan telah siap dengan selendang yang mengikat di pinggang mereka. Sementara, para lelaki duduk-duduk di tepian wantilan, mengamati dengan tertarik apa yang para perempuan hendak lakukan.

Para perempuan yang semuanya kolok ini dengan luwes menggerakan tangannya. Tidak hanya itu, keseluruhan badannya pun ikut bergerak dengan lihai. Tentu hal ini bukanlah sebuah produk instan. Ibu Pande, seorang wanita yang tergerak untuk meningkatkan hidup masyarakat Bengkala berada di belakang tarian ini. Semuanya berasal dari gerakan-gerakan yoga yang ia buat sebelumnya.

Gerakan-gerakan yoga menjadi dasar untuk menciptakan gerakan Tari Yogi Nandini. Kenapa bernama Tari Yogi Nandini? Sebab, yogi artinya orang yang melaksanakan yoga dengan penuh kepercayaan diri, suka cita, dan penghayatan jiwa raga. Sementara, Nandini yang artinya “menyenangkan” adalah simbol lembu betina yang melambangkan tak kenal takut dan kuat. Semua bermuara pada tujuan khusus agar masyarakat yang belajar tarian ini hatinya bisa menjadi lebih damai dan bahagia.

Jika Tari Yogi Nandini masih dalam tahap penyempurnaan dan belum pernah dipentaskan di depan umum sebelumnya, lain lagi dengan Tari Jalak Anguci dan Tari Bebile ciptaan Ibu Dayu. Bernama lengkap Ida Dayu Tresnawati, perempuan yang sama kreatifnya dengan Ibu Pande adalah anggota FlipMas Ngayah Bali bidang Kesenian, khususnya berkaitan dengan kesenian di Desa Bengkala. Ia sejak 2017 terlibat dalam pemberdayaan kesenian di Bengkala melalui tari-tarian.

Ibu Pande

Tari Jalak Anguci terinspirasi dari burung jalak. Jalak artinya burung, dan anguci artinya suara yang merdu. Ini menjadi perumpamaan bahwa biarpun para penari Jalak Anguci kolok, mereka bisa tetap berkomunikasi lewat tarian. Jalak Anguci ditarikan oleh dua perempuan kolok, bernama Luh Budarsih (19 tahun) dan Komang Reswanadi (13 tahun).

Sementara, Tari Baris Bebek Bingar Bengkala (Bebile) menggambarkan semangat dari masyarakat kolok yang tetap ceria melakoni apa saja yang ada dalam hidup mereka. Bebile ditarikan oleh 7 lelaki yang kesemuanya kolok, yaitu I Wayan Ngarda, Wayan Sumendra, Made Subentar, Putu Juliarta, Made Karyana, Sugita, dan Made Sudarma. Kedua tarian ini diiringi oleh pemusik yang bisa mendengar dan berbicara dengan alat musik yang berbeda-beda.

Bagi Ibu Dayu, awal mengajar masyarakat kolok cukup menantang, sebab ia sendiri semula tidak bisa berbahasa isyarat. Namun, hal itu tidak membuatnya patah semangat. Ada Pak Kanta yang membantunya menjembatani komunikasi antara dirinya dan penari kolok. Dengan semangat yang mereka miliki, mereka dengan cepat memahami gerakan-gerakan tari. Beruntung pula, kini teknologi sudah maju. Ibu Dayu merekam gerakan-gerakan tari tersebut di ponsel, lalu diperlihatkan kepada para penari sembari berlatih gerakan dasar.

Ibu Ida Dayu Tresnawati

Keunikannya adalah jika selama ini dalam tarian, penari mengikuti melodi musik, kini para pemusiklah yang menyesuaikan gerakan penari yang kolok, tentu tetap disesuaikan dengan aba-aba dari para pemusik.

Dukungan PT Pertamina (Persero) DPPU Ngurah Rai terhadap kelompok tari KEM Kolok Bengkala ini juga sangat besar. Setiap kali diadakan acara yang dinilai sesuai, para penari akan diundang untuk mengisi acara. Di luar kegiatan mereka sehari-hari sebagai petani, buruh, dan lain-lain, masyarakat kolok yang memiliki passion di bidang tarian, kini dapat mengeksplorasi bakat dan kemampuannya melalui pelatihan ini.

Diharapkan, dengan berkembangnya seni dan budaya, Desa Bengkala akan segera siap untuk menjadi desa wisata. Dalam waktu panjang, masyarakat kolok akan lebih berdaya terutama di bidang ekonomi. Mereka mampu.

Reporter
Astri Apriyani
Fotografer
Kurniawan Mas’ud
Videografer
Mike Eng Naftali
Editor
Bhisma Adinaya
Desainer &
Ilustrator
Bhisma Adinaya