“Ternate, sahabat kita. Ternate merupakan pulau utama dari kelima pulau lainnya.”
—Tome Pires, penjelajah asal Portugal, yang menulis dalam adikaryanya bertajuk Suma Oriental
Demi dewa-dewa penjaga semesta!
Ternate sungguh memukau dari angkasa. Saat mendusin dalam perjalanan udara menuju pulau ini, saya terkesiap dengan gugusan pulau berkelambu kabut pagi. Di antara Pulau Ternate dan Pulau Tidore, tersisip Pulau Maitara.
Mata saya, yang masih mengantuk, menyingkap permukiman padat yang menggelayuti pesisir Ternate. Latarnya meneduhkan hati: Puncak Gamalama yang berselendang asap tipis.
Selintas pemandangan itu mengingatkan saya pada litografi karya Francois Valentijn, pegawai VOC (kongsi dagang Hindia Timur). Litografi berjudul “Ternate”, melukiskan panorama kota dari lautan, terbit dalam Oud en Nieuw Oost Indien pada 1726.
Saat itu wajah permukiman Ternate tak sepadat hari ini. Valentijn melukiskan dengan menonjol Fort Oranje dengan berbagai bangunan kantor dan gudang VOC di dalamnya. Kini, pemandangan benteng itu tenggelam dalam kepungan ruko.
Lima pulau penghasil cengkih pada abad ke-16 adalah Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Sejarah Kesultanan Ternate yang dimulai sejak abad 13 meninggalkan jejak warisan kesultanan berupa khasanah budaya, religi, seni, kuliner yang tak lepas dari kekayaan rempah Ternate—cengkih dan pala. Cengkih kebanggaan Ternate tampak dalam aneka ragam hias yang banyak terdapat pada rumah-rumah kuno peninggalan para keluarga sultan, pedagang, juragan rempah, dan orang asing yang pernah datang di Ternate—Belanda, Arab, Cina, Melayu.
Saya mencoba mengingat kembali pendaratan kapal pertama orang-orang Portugis di Ternate. Pada 1512, atau beberapa bulan setelah Portugal menguasai Malaka, Fransesco Serrão dan beberapa eskader Portugis berlayar ke Kepulauan Rempah di Maluku.
Kepulauan Maluku, termasuk Ternate dan Tidore, telah membangkitkan pengembangan terhadap sejarah dan kartografi dunia. Semua penjelajah samudra abad ke-16 dan ke-17 berlomba mencari rute pelayaran menuju legenda kepulauan rempah. Jelas, kartografi dunia berutang pada rempah Maluku.
“Gosora se Bualawa ahu yo ma fara-fara ma rupa matero ua mai ma sosahu matero bato.”
Pohon pala dan pohon cengkeh tumbuh berpisah-pisah, bentuk pohonnya tidak sama namun rasa pedisnya sungguhlah sama.
—Ungkapan adat yang memiliki nilai moral dan religius bagi warga Ternate
Pala dapat dimanfaatkan buah, biji, dan bunga pala/bunga fuli—selaput berbentuk jaring-jaring berwarna merah yang melapisi biji). Biji pala biasanya dikeringkan sampai keluar aromanya yang khas sebelum digunakan. Di Indonesia, biji pala biasanya dicelupkan ke dalam larutan kapur untuk mencegah penjamuran. Sampai saat ini, Indonesia masih menjadi negara produsen pala terbesar di dunia, disusul oleh Grenada, Kepulauan Karibia.
Cengkih sebagai rempah adalah bagian tangkai bunga (dengan bunga yang masih kuncup) dari tanamannya. Cengkeh bisa dipanen setelah pohonnya berusia lima atau enam tahun; dan dapat dipanen hingga tiga puluh tahun berikutnya. Sampai saat ini, Indonesia masih menjadi negara produsen cengkeh terbesar di dunia, dengan cengkeh yang paling terkenal berasal dari Pulau Ambon, Kepulauan Maluku; negara produsen cengkeh lainnya adalah Zanzibar dan Madagaskar.
Ludovico di Varthema, sebuah nama yang nyaris dilupakan dunia. Jurnalnya dibukukan dengan tajuk Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese. Buku itu terbit pertama kali di Roma pada 1510, atau sekitar dua tahun sebelum Portugis menemukan Kepulauan Rempah. Dialah orang Eropa pertama yang sejatinya ‘menemukan’ Kepulauan Rempah di Nusantara. Maluku adalah titik paling timur dalam perjalanannya.
“Kita tiba di Pulau Monoch,” demikian dia menyebut Maluku, “yang lebih kecil ketimbang Bandan.” Tampaknya Varthema menganggap Maluku adalah toponimi sebuah pulau. Tidak jelas benar, di mana dia berlabuh. Namun pernyataannya bahwa pulau ini penghasil cengkih dan lebih kecil daripada Banda, mungkin dia berada di Ternate atau Tidore. “Negeri ini berada begitu rendah,” ungkapnya. Pada kenyataannya memang Maluku bergaris lintang rendah. “Dan, bintang utara tidak tampak dari sini.” “Kami menjumpai bahwa mereka menjual cengkih dua kali lebih mahal dari pala, sebagai ukurannya, karena mereka tidak mengenal ukuran berat.”
Ajaibnya, nilai tukar cengkih terhadap pala relatif tidak berubah sampai hari ini. Di Ternate, pada awal tahun ini, cengkih dijual seharga Rp105 ribu, sementara pala Rp55 ribu per kilogram. Nilai tukarnya tak berubah selama ratusan tahun!
“Raja dilindungi payung bersulam emas. Dikawal dengan dua belas lembing. Kain sarungnya, yang dipenuhi tenunan benang emas, menyentuh tanah […] Ia begitu tampan dan tampak anggun dengan penutup kepala bak mahkota itu.”
—Francis Drake, penjelajah asal Inggris yang singgah di Ternate pada 1579
“Tara no ate”—asal sebutan Ternate—berarti “turun dan perbaiki”. Kami beruntung bisa menyambangi pulau yang luasnya sekitar dua kali Jakarta Pusat ini. Pulau Gapi adalah nama otentik untuk pulau ini. Entah sejak kapan sebutan Pulau Gapi berubah menjadi Pulau Ternate. Bahkan, peta Cosmographia goresan kartografer Sebastian Münster, yang terbit pada 1550, sudah menyebutkan toponimi “Taranate”—meski lokasinya agak mengawur. Münster mendapat rujukan dari peta Ptolomeus, catatan Marco Polo, dan kabar tersegar dari orang-orang Portugal yang menjelajahi Maluku pada awal abad ke-16. Tampaknya, orang-orang Portugal-lah yang harus bertanggung jawab soal penggantian toponimi tanpa kenduri ini.
Perahu motor terempas-empas menuju Pulau Tidore, seberang tenggara Pulau Ternate. Gunung Marijang nan menjulang menjadi tengaranya. Pulau ini pernah berada dalam cengkeraman Raja Spanyol sejak 1522 hingga 1663. “To ado re”, demikian asal nama Tidore, bermakna “daku telah sampai”.
“Saya Panglima Kesultanan Tidore. Nama saya Kapita Muhammad Ali Alting,” ujar lelaki menak berperawakan tinggi sembari menjabat tangan saya dengan erat. Dia berkaca mata hitam dan berbusana bangsawan setempat: stelan ala Kapten Spanyol berabad silam. Dia mempersilakan saya untuk menikmati tarian dan kudapan di Pantai Tugulufa, Tidore.
Setiap panen cengkih, warga Ternate menggelar upacara syukuran. Sajiannya nasi kuning yang berbentuk bola, yang bersanding dengan telur bulat. Nasi kuning merupakan perlambang persatuan warga, sementara telur merupakan perlambang Kesultanan Ternate.
“Sebelum matahari terbenam pada 8 November 1521, kami memasuki perairan Tidore, berlabuh di lepas pantai dan memberikan 20 kali tembakan salvo dengan meriam di atas kapal.”
— Antonio Pigafetta (1491 - 1534), penjelajah asal Venesia yang mengarungi samudra bersama Ferdinand Magellan dan awaknya demi menemukan Kepulauan Rempah.
Rempah Maluku menakdirkan orang Eropa untuk menjelajah dan berlayar hingga ke Nusantara. Portugis menguasai Maluku selama 63 tahun (1512-1575) dan Spanyol menguasainya selama 142 tahun (1521-1663). Belakangan, Belanda menguasai penuh kepulauan nan melegenda ini. Kedatangan peradaban barat telah mewariskan jejak pada arsitektur benteng sampai budaya dan bahasa.
Fort Santa Lusia berlokasi di Desa Bastiong. Sebutan “bastiong” disematkan lantaran desa itu bersebelahan dengan bastion benteng. Mungkin, warga Ternate adalah orang Indonesia terawal yang mempelajari istilah arsitektur perbentengan. Bahasa dialek sehari-hari mereka dipengaruhi oleh bahasa Portugis. Orang Ternate menyebut topi dengan sebutan “capeo”, yang berasal dari kata “chapéu” dalam bahasa Portugis. Juga, kata “tamate” untuk menyebut buah tomat.
Di pesisir selatan yang senyap, saya menghampiri Desa Kastela, Ternate. Nama desa ini mirip dengan “castelo”, bahasa Portugal yang berarti benteng. Fort São João Baptista, pertahanan pertama milik Portugal di Maluku ini diprakarsai Antonio de Brito pada 1522. Pembangunan bertahap telah mewujudkan barak, kapel, sekolah, permukiman, dan menara-menara ala kastel di Eropa. Inilah jantung kota kolonial pertama di Indonesia!
Ketika Portugal hengkang dari Ternate, Sultan Baabullah menguasai Fort São João Baptista pada 1575. Benteng pun berganti nama menjadi Gamlamo, yang bermakna “kampung besar”. Kabarnya, istana kesultanan pernah berada dalam benteng ini. Tak disangka, Spanyol mengambil alih benteng itu pada 1606. Spanyol mengganti Gamlamo dengan nama yang religius: Nuestra Señora del Rosario. Nama itu bermakna “Santa Perawan Maria Ratu Rosario”.
Benteng lain yang masih tersisa dan lestari di Ternate adalah Fort Tolluco, yang dibangun Portugis pada 1606, remah Fort Santo Pedro atau Benteng Kota Janji yang dibangun pada 1530, dan Fort Oranje tinggalan Belanda sejak 1607.
Saya beringsut ke Pulau Tidore. Tampak Fort Torre yang bersarang di bukit sebelah Kesultanan Tidore. Dalam bahasa Spanyol, torre berarti menara. Pulau ini memiliki sederet benteng, seperti Fort Tahoela yang dibangun Spanyol pada 1610, dan Fort Roem yang dibangun Portugis pada 1605.
“Ingatlah baik-baik bahwa testimoni dari satu saksi mata akan lebih bernilai ketimbang sepuluh kabar burung.”
—Ludovico di Varthema, pejalan asal Venesia yang menjadi orang Eropa pertama berjejak di Ternate, Kepulauan Rempah.