Pada akhirnya, mencoba menekankan status Hazleton sebagai wilayah yang seluruhnya kulit putih Amerika sama saja seperti mengepalkan tinju ke awan hujan. Orang Latin kini menjadi motor penggerak ekonomi Hazleton, dan kota ini terlihat, terdengar, tercium, dan terasa berubah.
Berkali-kali kita mendengar penghuni lama berkata mereka merasa seperti orang asing di kampung halamannya sendiri. Yale, si pemilik kedai kopi tadi, menyaksikan sebagian besar teman sekolahnya di Bishop Hafey High School meninggalkan Hazleton, terutama untuk mencari kemungkinan kerja yang lebih baik.
Ia memilih untuk tetap tinggal dan membuka kedai kopi dan makanannya, bernama the Abbey, dengan mesin espresso warna merah berkilauan serta makanan gaya rumahan. Meskipun kafenya hanya sedikit di atas bukit dari pusat kota, ia jarang pergi ke arah distrik pusat tempat usaha.
Yale menarik diri dari Funfest bertahun-tahun yang lalu. “Terlalu seram,” tuturnya. “Kalau kau memang ke sana, kau tidak tahu siapa yang membawa pistol.”
Ironi ini begitu jelas buat Yale. Kakeknya tiba dari Italia pada awal 1900-an dan menjadi seorang agen asuransi serta mengubah namanya menjadi lebih Amerika dari Yuele menjadi Yale. Wanita ini tahu bahwa stereotip yang sama juga menimpa imigran Italia dan Irlandia saat mereka pertama tiba di Hazleton.
Yale orang yang murah tawa serta meningkahi sapaan dan selamat tinggalnya dengan pelukan erat. Namun, jelaslah bahwa ia juga wanita baja. Ini cocok untuk seorang wanita lajang yang menjalankan sebuah usaha. Begitu restorannya tutup, ia bisa mengungkapkan pendapatnya sendiri dengan terbuka.
“Kami punya salah satu dari kami di Gedung Putih,”ujar Yale tentang Trump. “Kami akan membuat Amerika hebat lagi.”
Ketika ditanya siapa yang ia maksud dengan “kami,” Yale diam sejenak. “’Kami’ yang dimaksud adalah orang Kaukasian yang membangun negara ini,” tuturnya. “Generasi kami. Kami akan… Kami akan membuat para kakek kami bangga. Kami harus melakukannya.”
Selama delapan tahun saya telah mendengarkan orang-orang Amerika berbagi pendapat spontan mereka, saya memulai Race Card Project, sebuah inisiatif untuk membangun perbincangan jujur dengan meminta orang-orang menyarikan pemikiran mereka tentang ras hanya dalam enam kata. Puluhan ribu orang turut serta dalam hal ini, banyak yang mengirimkan foto, dan esai untuk berbagi latar belakang.
Saya membuat Race Card Project ini ketika kata “pascarasial” sedang naik daun, tetapi saya tahu betul kalau Amerika tidak seperti kata tersebut. Para pemilih AS baru saja mengirim sebuah keluarga kulit hitam ke Gedung Putih untuk pertama kalinya, dan kami pikir pembicaraannya sudah selesai? Kebanyakan orang Amerika tidak pernah punya bos kulit hitam, dan sekarang mereka punya presiden kulit hitam.
Ketika kisah-kisah enam kata mulai berdatangan, saya berasumsi bahwa banyak kisah itu akan datang dari mereka yang termasuk kaum minoritas. Ternyata saya salah.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR