Tampaknya, Ungku Wali mengekspresikan rasa sayangnya—bak anaknya sendiri—itu lewat disiplin. Meskipun mendapat hukuman dari guru mengajinya, Yunaidi jauh lebih mujur ketimbang bocah-bocah semasa Abdullah. “Saya merasakan dicambuk di kaki, atau dipukul bagian tangan saat tidak hafal ayat Alquran,” tutur Yunaidi mengenang masa bocahnya di pedalaman Sumatra Barat pada akhir 1990-an.
Guru mengajinya kerap mencambuk para santri dengan rotan kala mereka tidak lancar dalam tugas hafalan. Hukuman paling ringannya, ujar Yunaidi, saat malam santri terhukum dibiarkan pulang berjalan kaki sendirian melewati hutan dengan hanya membawa suluh. Dia miris dengan masa lalunya sembari meratap, “Kenapa nenek saya rela menitipkan saya kepada guru itu.”
Saat saya bertanya apakah dia geram dan dendam dengan guru mengaji yang menghukumnya, Yunaidi menjawab sembari menyeringai, “Saya masih lugu waktu itu. Kejadian seperti itu sebenarnya dianggap sudah biasa di sana.” Lalu dia menambahkan, “Tapi, kalau kejadiannya di sekolah, saya bisa dendam.”
Orang tua mengikhlaskan nestapa dan aniaya itu terjadi asalkan anaknya lancar membaca dan menghafal Alquran. Namun, saat kekerasaaan semacam itu terjadi di sekolah formal, para wali murid jelas akan melabrak dan memprotes pihak sekolah.
“Sejak ada TPA, tidak ada hukuman itu lagi,” ujarnya. Taman Pendidikan Alquran (TPA) memisahkan metode pengajaran puritan dan modern. Pun, perkembangan teknologi dan kemudahan akses informasi ikut memberi pengetahuan kepada masyarakat bagaimana mendidik dengan benar dan lebih manusiawi, kata Yunaidi. Kendati demikian, dia merasakan adanya perbedaan, "Dulu desa saya adalah pencetak juara qori dan qoriah sekabupaten," ujarnya, "sekarang tingkat kecamatan pun tidak juara."
“Benteng bahasa Melayu yang terkuat di dunia adalah di Indonesia,” ungkap Sweeney. “Menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional negara Indonesia menjamin masa depan serta kejayaan bahasa tersebut sebagai bahasa Indonesia.”
Kembali soal sosok Abdullah. Kesusastraan Melayu berkembang di Indonesia dan Malaysia. Laporan pandangan mata si penulis terhadap kenyataan sosial yang sungguh terjadi di masyarakat merupakan persembahan terbesar Abdullah bagi kesusastraan Melayu modern. Abdullah juga menggunakan sudut pandang orang pertama dalam mengisahkan riwayatnya, sesuatu hal yang membedakan dengan penulis-penulis sebelumnya.
Amin Sweeney menyunting “Hikayat Abdullah” dalam bukunya Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Dia merupakan ahli bahasa Melayu keturunan Irlandia yang berkewarganegaraan Malaysia.
Sweeney mengungkapkan dengan gaya renyah tentang pemikirannya. “Dampak bahasa Munsyi Abdullah perlu diberi perhatian oleh siapa pun yang akan meneliti perkembangan sastra dan bahasa Indonesia,” tulisnya. Namun perihal “Hikayat Abdullah” sebagai autobiografi, Sweeney mewanti-wanti kita bahwa karya itu bukanlah buku harian Abdullah sehingga berhati-hatilah saat menjadikannya sebagai fakta sejarah.
Sweeney juga mengungkapkan bahwa Abdullah merupakan pencinta bahasa Melayu yang dibesarkan di Melaka. Namun demikian, ironisnya, bahasa Melayu kian terpojok di Malaysia.
“Benteng bahasa Melayu yang terkuat di dunia adalah di Indonesia,” ungkap Sweeney. “Menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional negara Indonesia menjamin masa depan serta kejayaan bahasa tersebut sebagai bahasa Indonesia.”
(Artikel ini pernah terbit dengan judul "Azab Santri Bengal Abad Ke-19" pada 26 Juli 2016)
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR