Ida melontarkan sebuah retorika. Menurutnya, bagaimana mungkin orang Eropa—dia menyebutnya dengan kita—meminta bangsa pribumi tak beradab untuk menghormat, tatkala pribumi dibiarkan menyaksikan hal yang tak berprinsip dan memalukan itu terjadi. Perdagangan candu telah dilegalkan dan menyumbang laba besar untuk Hindia Belanda. “Sejumlah keuntungan yang cukup membuat kita semakin mirip dengan penjahat yang menjijikkan.”
Ida Pfeiffer merupakan perempuan tomboi yang gemar melancong sendiri, mengarungi samudra sejauh 240.000 kilometer, dan 32.000 kilometer perjalanan darat di empat benua!
Kisah perjalanannya di Kalimantan tampaknya yang paling menarik karena sampai dicetak ulang hingga lima kali, selama 1880-an hingga 1906. "Bahwa sesoenggoehnja adalah seorang orang perempoean, yang bernama Ida, anak ditanah Eropah; maka terlaloe amat soeka perempoean itoe pergi melihat-lihat negeri-negeri, akan mengetahoei 'adat lembaganja, dan tabi'at masing-masing bangsa manoesia; maka apaapa yang dilihatnja atau didengarnja, sekaliannja disoeratkannjalah, soepaja akan dibatja oleh sekalian orang, dengan maksoed, pertama akan menambah pengetahoean mereka itoe, kedoea akan menghiboer-hiboerkan hati mereka itoe djoea adanja."
Demikian kutipan sebuah buku berjudul Kesah pelajaran kepoelau Kelemantan, yang diterbitkan di Batavia pada 1888. Seorang penjelajah Kalimantan melaporkan bahwa buku perjalanan Madame Pfeiffer dalam bahasa Melayu telah menjadi salah satu buku bacaan anak-anak sekolah pada akhir 1940-an!
Catatan perjalanannya pertama kali diterbitkan di Wina pada 1844, yang berjudul Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci). Untuk mengenang penerbitan tersebut, web National Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda.
Sekitar 2.500 spesimen telah menjadi koleksi Ida dalam perjalanan keliling dunia ini. Sebagian koleksinya seperti udang, siput, kumbang yang menghuni Kalimantan. Dunia ilmu pengetahuan mengabadikan nama perempuan itu dalam spesimen temuannya dengan imbuhan “ideae” atau “pfeifferi”.
Ida memang mempunya gaya melancong tersendiri. Tidak seperti gaya pelancong sekarang yang umumnya lebih mengutamakan daftar belanjaan dan oleh-oleh, tampaknya Ida Pfeiffer melancong untuk menyelami lebih dekat dengan peradaban setempat—geotraveling.
Mary Somers Heidhues, ahli sejarah politik dari University of Göttingen, menyingkap kiprah pelancong ini dalam Woman on the Road : Ida Pfeiffer in the Indies, terbit di jurnal Archipel pada 2004. “Dia menceritakan kisah yang bagus,” ungkapnya. “Tak heran bahwa buku-bukunya yang dibaca, diterbitkan, dan diterjemahkan ke dalam bahasa lain memberikan semangat bagi para pembaca pemula.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR