Sebuah gerakan di Belanda bernama “Tiada 4 Mei Untuk Saya” memprotes pengabaikan korban Indonesia dari ritual peringatan sementara pembunuh mereka dikenang. Di antara para pembunuh orang Indonesia adalah mantan Nazi Belanda, yang dikirim ke Indonesia setelah Perang Dunia II untuk memperjuangkan Belanda dalam Perang Kemerdekaan.
Jadi siapa, dan siapa yang tidak, diperingati pada Hari Peringatan Belanda?
Kunci untuk jawabannya adalah ini: Belanda tidak secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1945–Belanda mengakui tahun 1949 sebagai perjanjian kedaulatan.
Ini alasan mengapa Belanda tidak dapat mengakui kemerdekaan Indonesia 1945: Jika Belanda mengakui tahun tersebut, itu berarti negara tersebut telah menyerang negara yang berdaulat setelah Perang Dunia II dengan tujuan untuk menjajahnya. Dan maka, pembantaian, yang di Belanda disebut secara eufimistis sebagai “tindakan penegakan hukum,” tidak dapat dikatakan “tindakan penegakan hukum” tetapi lebih tepat disebut sebagai kejahatan perang, seperti yang dijelaskan dalam buku yang akan terbit oleh Ady Setyawan dan Marjolein Van Pagee.
Menurut cerita resmi Belanda, bagaimanapun, Indonesia adalah “Belanda” selama terjadi “tindakan penegakan hukum”, dan dengan demikian membunuh orang-orang Anda sendiri bukan kejahatan perang, tetapi penegakan hukum yang salah.
Hanya saja para penegak hukum dalam tindakan tersebut bukanlah petugas polisi tetapi tentara yang bertugas di militer Belanda.
Publikasi “De Doden Tellen” (“Menghitung Orang Mati”) yang dirilis komite Hari Peringatan Nasional Belanda menunjukkan tidak konsistennya cerita resmi Belanda. Publikasi tersebut menyebut konflik sebagai “tindakan penegakan hukum” sementara secara bersamaan menggunakan bahasa “penaklukan” militer.
“Selama berlangsungnya apa yang disebut tindakan penegakan hukum, Belanda menaklukkan berbagai wilayah dan menyatakan mereka sebagai wilayah Belanda sekali lagi,” tertulis di publikasi tersebut.
Belanda ingin menghitung orang-orang yang mereka bunuh sebagai bagian Belanda, agar tidak dianggap melakukan kejahatan perang, sementara pada saat yang sama tidak memperingati kematian mereka.
Di balik pengecualian ini adalah pemisahan atas dasar ras.
Kolonialisme Belanda tidak memberikan kewarganegaraan kepada orang Indonesia asli. Sekarang, 70 tahun kemudian, kebijakan apartheid kolonial yang memisahkan, merugikan, dan merendahkan satu ras demi kepentingan ras lainnya diterapkan setelah kematian, pada Hari Peringatan Belanda. Pada hari yang memperingati korban sipil dari perang, korban sipil Indonesia tidak diperingati karena mereka tidak memiliki kewarganegaraan di bawah kekuasaan kolonial.
Ketua Komite Peringatan Hari Nasional Belanda, Gerdi Verbeet, mengakuinya ketika dia mengatakan bahwa “mereka yang tidak memiliki paspor Belanda tidak diingat pada saat ini. ”
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR