Nationalgeographic.co.id—Demi berpergian jarak jauh, masyarakat Nusantara tempo dulu harus menggunakan kapal laut, sementara tidak semua kota memiliki pelabuhan. Akibatnya, perjalanan antarpulau atau antarnegara memakan waktu tempuh yang sangat lama.
Baru pada 1928 berdiri perusahaan maskapai komersial pertama di Hindia Belanda. Kehadirannya dilatarbelakangi adanya kepentingan beberapa perusahaan Eropa di Hindia Belanda, seperti KLM (Koninklijk Luchvaart Maatschappij), Deli Maatschappij, dan Nederlandse Handel Maatschappij, bersama pemerintah Hindia Belanda.
Baca Juga: Apa Arti Tanda-Tanda yang Berada di Sebuah Landasan Penerbangan?
Dadan Adi Kurniawan, Sejarawan dari Universitas Sebelas Maret dalam artikelnya, Menelusuri Jejak Awal Penerbangan di Indonesia (1913-1950-an) menulis, KLM sebagai perusahaan penerbangan Kerajaan Belanda sangat berperan menghadirkan pesawat komersil di Hindia Belanda.
“Berkat KLM, Belanda menjadi salah satu pengarung angkasa terbesar di Dunia. KLM merupakan induk dari KNILM yang merupakan cabang di Hindia Belanda,” tulisnya lewat artikelnya yang dipublikasikan di jurnal Mozaik.
Semenjak KNILM beroperasi, rute awal yang dibuka antara lain Batavia-Bandung sekali seminggu, dan Batavia-Surabaya setiap hari. Kemudian bertahap membuka rute Batavia-Palembang, Pekanbaru-Medan, hingga rute internasional ke Singapura dan Australia sekali dalam seminggu.
Dadan menyebutkan, Fokker merupakan jenis pesawat yang digunakan pada masa awal penerbangan komersil. Pesawat tersebut masih khusus untuk keperluan bisnis dan pengiriman surat. Barulah pada 1930-an, pesawat mulai dipergunakan untuk penumpang umum dengan jumlah terbatas.
"Seiring berjalannya waktu, mulai berkembang jenis pesawat DC seperti 3 Douglas DC-3, 4 Douglas DC-5, dan Sikorsky S-43 yang memiliki daya tampung penumpang lebih banyak hingga puluhan orang," terangnya.
Baca Juga: Kecelakaan Pesawat yang Mengubah Arah Sejarah Dirgantara Dunia
Namun, penerbangan komersial mengalami kevakuman selama masa kependudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan. Sejumlah lapangan terbang beralih fungsi sebagai tempat militer Jepang maupun Republik.
Setelah kondisi kian stabil pada 1950-an, menurut Dadan, penerbangan komersial kembali hidup. Pemerintah Indonesia pun menasionalisasi KNILM menjadi Garuda Indonesia Airways (GIA) dengan jalur diplomatik perusahaan.
"Periode ini menjadi momen sekaligus tonggak bangkitnya dunia penerbangan tanah air baik militer maupun komersial hingga seperti sekarang," Dadan berpendapat.
Setelah nasionalisasi, GIA belum menjadi maskapai unggulan di Indonesia karena pemerintah belum mengesahkan UU Nasionalisasi hingga 1958. Sementara, penerbangan masa itu masih diwarnai dengan maskapai penerbangan asing.
Setelah disahkan, pemerintah pun memberi dukungan penuh pada GIA untuk pembelian beberapa pesawat komersial.
"Berkembangnya dunia penerbangan pada akhirnya mampu menjadi semacam 'jembatan' yang membuat jarak antarkota, antarnegara bahkan antarbenua menjadi sangat dekat dan cepat," tulis Dadan. "Adapun berkembangnya penerbangan komersial juga telah meningkatkan arus mobilitas horizontal yang kian meluas, tidak hanya tingkat lokal, nasional, tetapi juga global."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR