Sebagai makanan tradisi, gudeg juga menjalankan fungsi lain, yakni merekam perubahan Yogyakarta. Pengetahuan tentang gudeg pun diwariskan dari generasi ke generasi dan banyak orang. Dahulu, sebelum ada gudeg kering dan gudeg kemasan dalam kaleng, makanan ini disajikan dengan areh, kuah dari santan kelapa bercampur dengan ampas minyak kelapa yang banyak sebagai menu sarapan keluarga. Beberapa menyebutnya gudeg basah karena teksturnya.
Gudeg hadir dengan menu pelengkap seperti aneka lauk, yakni telur bebek bacem, tahu, ayam, dan sambal krecek kulit sapi yang dimasak dengan kacang kedelai merah (tholo). Beberapa penjual gudeg juga membuat bubur selain nasi putih untuk menjangkau anggota keluarga berusia bayi dan orang tua. Tidak sedikit juga yang menambahkan sayuran seperti daun singkong dalam gudeg. “Biar tetap ada yang segar karena gudeg gorinya dimasak lama,” jelas putri pertama Yu Djum ini.
Beberapa orang yang saya temui melihat gudeg sebagai kendaraan untuk ingatan masa kanak-kanak dan keluarga. Sementara saya dan beberapa orang lain menyematkan tanda gudeg sebagai makanan istimewa.
Sekitar tahun 1950-an, Yogyakarta mulai dihadiri banyak kampus seperti UGM dengan mahasiswa dari luar Yogyakarta. Peracik gudeg mulai merespons banyaknya orang dari luar Yogyakarta yang mulai membawa gudeg sebagai oleh-oleh dengan gudeg dengan tekstur lebih kering dan areh yang lebih kental. Tujuannya agar bisa bertahan lama dan tetap lezat saat disantap. Cita rasanya tetap sama karena menggunakan alat produksi dan bahan bakar tradisional.
“Kami tetap pakai kayu bakar untuk memasak, meski tawaran memakai kompor gas juga ada. Lebih praktis. Kalau dengan kayu, selain lebih hemat, kendali api sepenuhnya ada di kami,” jelas Haryani.
Lokasi penjualan gudeg pertama di Yogyakarta ada di seputaran Jalan Wijilan, tidak jauh dari Keraton Yogyakarta.
Baca Juga: Sisik Melik Makna di Balik Toponimi 'Jalan Malioboro' di Yogyakarta
Seiring dengan dinamika kota, banyak nilai tanda yang kemudian disematkan pada gudeg. Nilai tanda tersebut di antaranya ikon nostalgia, oleh-oleh, dan kenangan personal lainnya.
Gudeg menjadi simbol perubahan kota yang menyesuaikan tanpa meninggalkan bentuk aslinya sesuai kebutuhan dan keberagaman peminatnya. Gudeg basah tetap masih banyak dijumpai di setiap ruas jalan dan pasar tradisional. Akan tetapi, di saat yang bersamaan ada gudeg kering dalam kendil dan gudeg kaleng yang bisa dinikmati orang luar daerah dan luar negeri.
Beberapa orang yang saya temui melihat gudeg sebagai kendaraan untuk ingatan masa kanak-kanak dan keluarga. Sebagian lagi mengingatnya sebagai menu sarapan sebelum berangkat kuliah. Sementara saya dan beberapa orang lain menyematkan tanda gudeg sebagai makanan istimewa.
Ibu saya selalu membelikan gudeg bagi anggota keluarga yang sakit sebagai menu sarapan sebelum minum obat. Atau, ibu membelikannya untuk bekal saya ketika hendak memulai perjalanan jauh.
Katanya, agar saya ingat pulang.
—Artikel ini pernah terbit dengan judul Gudeg dan Rekaman Perubahan Kota pada 27 Juli 2016.
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR