Dari hasil kajian literatur itulah ia kemudian mengetahui ada tradisi leluhur yang unik dan masih bertahan di Mamasa. Ia pun kemudian mantap untuk datang ke sana.
"Di Mamasa ada ritus purba yang mirip dengan yang ada di Tana Toraja. Berawal dari situ saya membuat cerita ini. Menurut saya, apa yang saya lihat di Toraja Mamasa ini sangat unik dan masih mempertahankan keasliannya," ujar Ucup dalam acara Bincang Redaksi-27 National Geographic Indonesia: Cerita Sampul dan Selidik Edisi Juni 2021 pada Sabtu, 5 Juni 2021.
Salah satu "keaslian" yang Ucup temukan pada Rambu Solo di Mamasa dan agak berbeda dengan Rambu Solo di Tana Toraja adalah terkait jumlah kerbau yang disemblih untuk ritual tersebut. Menurutnya, jumlah kerbau yang dikurbankan di Mamasa tidak sedahsyat yang ada di Toraja.
Baca Juga: Mengikuti Ritual Rambu Solo di Mamasa, Apa Bedanya dengan di Toraja?
Jumlah kerbau untuk Rambu Solo di Toraja bisa puluhan sampai ratusan karena sudah terpengaruh dengan hingar bingar untuk menonjolkan kekayaan dan kerap disorot sebagai bagian atraksi pariwisata di wilayah setempat. Adapun jumlah kerbau di Mamasa lebih rasional karena masih berfokus untuk untuk mempertahankan nilai tradisi saja.
Kees Buijs, antropolog asal Belanda yang kini telah fasih berbahasa Indonesia itu, mengatakan bahwa tradisi Rambu Solo di Mamasa tampaknya lebih tua di Mamasa dibanding di Tana Toraja. "Menurut saya tradisi purba lebih lama disimpan di Mamasa." Meski begitu, sebenarnya tidak ada perbedaan pada ritual rambo solo di antara kedua wilayah tersebut.
Berdasarkan sepengetahuannya, jumlah kerbau yang dikurbankan di Mamasa memang tidak sebanyak di Toraja. "24 ekor itu sudah banyak sekali. Saya tidak pernah mendengar ada korban sampai ratusan ekor terjadi di Mamasa."
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR