Sebagai orang awam, aku sendiri juga heran, kenapa bisa instalasi itu dibangun mengandalkan aliran Kali Duren yang ketika kutengok debitnya memang tak seberapa. Dari tingkat kemiringan pun sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan pembangkit di Dusun Tangsi Jaya.
Woto, seorang operator di pembangkit tersebut, menyebutkan bahwa pasokan air tidak memadai karena banyak warga menggantungkan kelangsungan tanaman pertanian mereka dari aliran kali itu. Pun yang tak kalah ikut menyumbang terhadap kelangsungan debit air Kali Duren adalah karena di daerah hulu kini sudah banyak di bangun pipa-pipa untuk memasok air bersih bagi pemenuhan keperluan rumah tangga masyarakat kota. “Sekarang pembangkit ini hanya dihidupkan kalau ada mahasiswa praktik saja,” selorohnya. ”Petugasnya sampai minta kepada saya bagaimanapun caranya agar pembangkit ini bisa terus hidup. Tapi mau usaha sekeras apapun juga tidak akan bisa kalau airnya tidak ada.”
Ketika dihubungi terpisah, perwakilan dari P3BA yang menolak untuk disebutkan namanya mengakui, ada hal yang luput dari perhitungan saat merancang pembangkit mikrohidro di Dusun Daleman: kondisi lingkungan sekitar yang rawan terhadap bencana. Ia menjelaskan, dalam perhitungan awal diketahui bahwa besar debit air mencapai seribu meter kubik per detik. “Tapi setelah terjadi erupsi Gunung Merapi, debitnya berkurang menjadi 500 meter kubik per detik saja,” terangnya.
Agar tidak menjadi bangunan sia-sia, sang perwakilan menjelaskan dalam waktu dekat ini pihaknya akan mengkaji penggunaan turbin yang lebih kecil. Turbin terpasang saat ini dengan kemampuan produksi listrik hingga 10 kW akan diganti menjadi turbin yang hanya mampu menghasilkan listrik sebesar 3,5 kW. “Ini memang kendala membangun mikrohidro di daerah rawan bencana,” keluhnya.
Berjalan ke arah barat, masih di wilayah Sleman, aku juga menemukan dua buah pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang letaknya tidak begitu jauh dan mengandalkan air dari selokan Van der Wijck. Satu pembangkit masih terlihat baru dan belum nampak jaringan listrik untuk mengalirkan energi dari gerakan turbinnya. Satu pembangkit lain sudah dihiasi jaringan kabel kecil. Namun, aku tidak menemukan satu pun petugas di sana. Pembangkit itu memang berada di pinggir jalan raya, tapi rumah terdekat yang mampu aku lihat berjarak sekitar satu kilometer. Maka kuputuskan untuk pergi dengan meninggalkan sebuah catatan kecil di bawah pintu. Berharap ada yang membalas pesanku itu.
!break!
Sekitar pukul 18.00 WIB, Sudarno, orang yang menemukan catatan tersebut menghubungiku. Ia bercerita pembangkit yang sudah menyala itu sebenarnya bisa menghasilkan listrik hingga 11 kW dan ditujukan bagi konsumsi warga di Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir. Sayang, karena banyaknya sampah yang melewati selokan, maka pembangkit hanya optimal bekerja sebesar 9,5 kW saja.
SWADAYA DENGAN KINCIR
Air memang menjadi salah satu persoalan serius dalam kelangsungan pembangkit mikrohidro. Tak jarang, isu perambahan hutan atau alih fungsi lahan menjadi tantangan serius. Bagaimana debit air bisa tetap cukup apabila hutan di daerah hulu-hulu sungai, sumber air, telah atau sedang lenyap? Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sendiri misalnya, sudah mengamanatkan pentingnya pelestarian daerah resapan air termasuk perundang-undangan yang terkait lainnya. Namun, apa boleh dikata, toh kerusakan hutan dan daerah hulu sungai masih terus terjadi.
Di Cibulao, sebuah dusun yang terletak beberapa kilometer dari jalan raya Puncak, Jawa Barat, debit sungai yang digunakan untuk pembangkit listrik juga terganggu akibat maraknya pengalihfungsian daerah resapan air. Itu termasuk pula pengalihfungsian kebun-kebun teh di hampir seluruh kawasan Puncak terutama menjadi bangunan batu bata. Warga di sekitar kawasan wisata Puncak menyebut para penjarah daerah resapan air sebagai biong atau biang bohong. Sebutan itu berawal dari aktivitas mereka menjarah lahan perkebunan dengan cara merusak atau membakar tanaman teh, lalu lahan tersebut dijual setelah sebelumnya bersama dengan oknum-oknum pemerintah setempat menerbitkan sertifikat tanah palsu.
Ketika aku akan memasuki Dusun Cibulao, terlihat ada sejumlah lahan yang baru saja dibakar. Aku bertanya kepada Nanang—pionir pembangkit listrik dengan kincir air di sana—apakah itu juga merupakan ulah para biong? Nanang hanya menjawab dengan tawa lebar.
Di tengah-tengah berbagai berita mengenai krisis listrik, krisis energi, ketergantungan pada pemerintah, masyarakat Dusun Cibulao terbilang berhasil dalam usaha memenuhi kebutuhan energi listriknya sendiri. Memang, di dusun ini sejak Juli lalu PLN telah masuk. Akan tetapi, sebelumnya masyarakat menggunakan kincir-kincir air dengan usaha sendiri, untuk menghasilkan listrik.
!break!
Hal itu bermula ketika Nanang menemukan kincir air sederhana yang mampu membuat rumahnya terang. Mengaku mendapat ide dari ayah mertuanya yang tinggal di dusun tetangga dan mengusahakan energi listriknya sendiri, Nanang bergerak. Lelaki muda yang hanya lulus Sekolah Dasar itu menggunakan dinamo, magnet, pelek sepeda, pipa paralon, sampai kabel telepon. Semua dimanfaatkannya untuk menghasilkan listrik dengan tenaga air di Sungai Cibulao hingga mengalirkannya ke rumahnya. ”Lumayanlah, bisa menghasilkan listrik 200 watt,” katanya dengan bangga.
Nanang menghabiskan uang tak lebih dari satu juta rupiah untuk merealisasikan idenya itu. Ia banyak menggunakan barang bekas. Ayah dua anak ini sempat menawarkan ke sejumlah tetangganya agar mau dibuatkan kincir penghasil listrik. Sayang, jangankan percaya, para warga yang rata-rata hanya lulusan Sekolah Dasar itu malah justru menganggap Nanang seperti orang gila. Maklum, tidak sedikit dari mereka yang masih berpikir bahwa listrik adalah milik PLN dan hanya perusahaan milik negara itu saja yang bisa memberi mereka listrik.
Setelah rumah Nanang terang, satu per satu warga mulai tertarik untuk mencoba. Selain mengandalkan air Sungai Cibulao, warga juga memanfaatkan air dari Telaga Saat dengan cara membangun bendungan dengan pipa seadanya. Ketika ingin menghidupkan kincir air, mereka tinggal membuka pintu bendungan tersebut. Selama kurun waktu sepuluh tahun sejak 1997, sudah puluhan kincir yang dibuat Nanang atas permintaan warga. Biaya untuk satu unit kincir air berkisar antara 1,5 juta sampai dua juta rupiah.
Bagaimanapun, seperti permasalahan di Tangsi Jaya, penggunaan kincir air rentan merusak barang-barang elektronik bagi penggunanya karena sangat bergantung pada debit arus air sungai. Jika musim kemarau, si kincir bahkan bisa sampai tidak berfungsi sama sekali. Maklum saja, tenaga utama untuk menggerakkan kincir memang berasal dari kucuran air sungai. Kalau sudah begitu, maka warga harus siap menyambung malam dengan lampu teplok atau alat penerangan lain yang berbahan bakar minyak tanah. ”Sementara kalau airnya deras, daya yang dihasilkan bisa melebihi jumlahyang dibutuhkan lampu-lampu di rumah. Kalau sudah terlalu besar, lampu bisa pecah," ungkap Nanang.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR