Dari semua cerita itu, yang membuatku berdecak kagum adalah kemandirian warga dalam memenuhi kebutuhan energi mereka. Menurut Nanang, selama puluhan tahun dusun itu berdiri, tak satu pun bantuan yang mengucur ke rumah mereka. Padahal bagiku, dusun itu tak begitu terpencil. Hanya berjarak sekitar tiga jam saja dari Jakarta. Memang dulu bantuan pernah datang dari pihak perkebunan yang memberikan genset berbahan bakar solar. Pihak perkebunan melalui salah seorang mandornya, sebut Nanang, pernah menawarkan kepada warga untuk membayar iuran sebesar 50 ribu rupiah per bulan demi mendapat pasokan listrik. “Sayangnya listrik hanya menyala dua jam dari pukul enam sore hingga pukul delapan malam karena keterbatasan solar. Jadi untuk apa pakai itu, lebih baik kincir saja,” tambahnya.
Mengenai kenapa listrik dari PLN baru masuk baru-baru ini, agaknya lantaran faktor bentangan alam dan efisiensi. Meskipun hanya beberapa kilometer dari jalan raya Puncak, Dusun Cibulao dikelilingi perbukitan dan jalan menuju ke sana cukup sulit. Selain itu, jumlah penduduknya tidak seberapa banyak, hanya 97 keluarga. Setelah listrik dari PLN tersedia saat ini, ditambah cadangan penggunaan kincir air buatan sendiri yang telah lama berjalan, masyarakat Cibulao juga tetap mengandalkan kayu bakar untuk memasak sehari-hari. Kayu-kayu itu kebanyakan berupa ranting yang sudah terjatuh dari pohonnya di hutan yang berjarak sekitar satu sampai tiga kilometer dari rumah warga.
Ibu Uun, istri dari Kepala Dusun Cibulao juga masih menggunakan minyak tanah namun dalam jumlah yang relatif kecil. “Hanya tiga liter untuk satu bulan,” terangnya. Kutemui pula seorang warga, yaitu Eli, yang sudah menggunakan gas elpiji. “Saya memang berasal dari Jakarta, terbiasa menggunakan elpiji,” ucapnya. Apapun asalnya, masyarakat di dusun tersebut cukup terpenuhi kebutuhan energinya. Fakta bahwa sebagian besar diusahakan sendiri oleh mereka adalah suatu hal yang mengagumkan.
SEHARUSNYA PILIHAN TERAKHIR
Dalam sebuah perjalanan melintasi pohon-pohon jati yang tumbuh subur di perbukitan batuan kapur Gunung Kidul, aku bertanya-tanya mengapa Indonesia masih saja terengah-engah mengikuti pergerakan harga minyak dunia? Bukankah sumber-sumber energi alternatif seperti tenaga air, angin, surya, dan sebagainya, tersedia luas?
!break!
Selain persoalan dana dan teknologi, penyebabnya barangkali survei dan riset yang belum optimal seperti kasus pembangkit listrik mikrohidro yang sia-sia di Dusun Daleman di atas tadi. Atau, dalam skala yang lebih luas, seperti contoh yang disebutkan oleh Soeripno Martosaputro, salah seorang peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN): “Saat ini adalah kita belum memiliki peta potensi energi angin.”
Meskipun tampaknya potensi tenaga angin di Indonesia cukup besar, potensi tenaga angin yang paling besar agaknya hanya terdapat di Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan Pantai Selatan Jawa di mana kecepatan di atas lima meter per detik dengan daya spesifik W/m2 sehingga potensi energi yang dihasilkan bisa mencapai di atas 100 kW. Aku teringat pada sebuah lokasi di Nusa Penida, Bali, di mana kincir angin yang telah dibangun dengan biaya mahal ternyata tidak berfungsi sebagaimana diharapkan karena anginnya telalu kecil—pertanda bahwa riset awalnya kurang cermat.
Di Dusun Gesing, sebuah lokasi transmigran yang terpencil di kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta, dua kincir angin dengan kapasitas 30 watt dan 35 watt disumbangkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY. Awalnya, kedua kincir tersebut dimaksudkan untuk memompa air sumur dan penggunaan telepon satelit guna mempermudah akses warga. Namun, seiring perjalanan waktu, ternyata listrik yang dihasilkan kincir tersebut tidak mampu mengangkat air karena kekuatan angin yang tidak optimal. Ketika salah satu kincir rusak seperti yang terjadi kemudian, masalah bertambah.
Akhirnya, kincir tersebut hanya digunakan untuk menerangi rumah warga. Itu pun hanya empat keluarga yang berminat. Sebabnya, biaya 150 ribu rupiah untuk membeli kabel dan biaya penyambungan dirasa terlalu berat. Selain kincir angin, dusun tersebut juga memiliki panel pembangkit listrik tenaga surya hasil sumbangan pemerintah daerah. Namun, panel surya tersebut hanya mampu menyimpan daya kurang dari 100 watt dengan tegangan 220 volt, sehingga hanya bisa menghidupkan empat lampu neon masing-masing 10 sampai 15 watt.
!break!
Menurut Satijan, salah seorang transmigran yang masih bertahan, satu panel surya digunakan oleh dua keluarga. Rata-rata mereka mendapat tiga buah lampu yang terangnya tidak seberapa. “Kita juga bisa menghidupkan televisi tetapi hanya yang hitam putih,” katanya. Perjuangan untuk mendapatkan energi listrik, bagi warga Dusun Gesing sehari-harinya juga diisi dengan perawatan seperti mengganti air aki secara rutin. Selain itu, aki yang sudah terisi penuh oleh energi yang dihasilkan dari panel surya tidak bisa didiamkan terlalu lama. Energi itu harus segera dialirkan, atau akan merusak lampu. Sementara untuk mendapatkan lampu itu sendiri tidak mudah karena dalam sistem panel surya menggunakan listrik arus searah atau direct current (DC). Sedangkan yang ada di pasaran, lebih banyak tersedia lampu dengan sistem arus bolak-balik atau alternating current (AC).
Apabila matahari sedang redup tertutup awan, atau hujan, dipastikan pula daya listrik yang dihasilkan dari panel mengecil. Dalam kondisi itu, sehari-hari warga kembali mengandalkan lampu teplok atau sentir berbahan bakar minyak tanah sebagai alat penerangan. Berharap dari sambungan PLN? Kembali terbentur pada persoalan infrastruktur jalan dan pengguna potensialnya. Jarak dari tiang terakhir di Desa Girikerto sampai lokasi Dusun Gesing lebih dari enam kilometer belum memungkinkan untuk dipasang jaringan. Jumlah penduduk Dusun Gesing pun tidak seberapa—ongkos instalasi dan perawatannya tidak sebanding dengan pemasukan bagi PLN.
Di lokasi lain yang masih di wilayah Gunung Kidul, tepatnya di Dusun Ploso, Desa Giritirto, berdiri pula dengan menawan pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 1.440 watt peak (Wp). Pembangkit ini bukan untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi 140 keluarga yang memang sudah mendapat pasokan langsung dari PLN. Namun, pembangkit ini digunakan untuk menghidupkan pompa-pompa yang mampu menarik air dari gua dengan kedalaman sekitar 20 meter ke bak-bak penampung agar lebih mudah dijangkau masyarakat—untuk mengatasi persoalan air bersih dan kekeringan yang sudah menjadi masalah klasik di wilayah Gunung Kidul.
Dua pembangkit tenaga surya ini kemudian rusak setelah beberapa tahun beroperasi, dan perbaikannya tak kunjung mampu dilakukan. ”Biayanya puluhan juta,” ungkap Haryono, Kepala Dusun Ploso. Dirjen Listrik dan Pemanfataan Energi (LPE), Ratna Ariati, mengatakan bahwa panel surya menjadi sangat mahal karena sel surya fotovoltaik (PV) masih harus diimpor. Jika dibandingkan secara rata-rata, misalnya, untuk menghasilkan satu kilowatt listrik dengan menggunakan teknologi surya dibutuhkan dana sekitar 200 juta rupiah. Apabila menggunakan mikrohidro hanya berkisar 25-30 juta rupiah. Sedangkan menggunakan energi angin berkisar antara 40-50 juta rupiah. Untuk itu ia menyebutkan, sebenarnya pemanfaatan sel surya untuk listrik bagi penduduk di daerah pedalaman tidak menjadi prioritas. “Panel surya itu pilihan terakhir, kalau memang di daerah itu sudah tidak ada sumber energi alternatif lainnya,” sebut Ratna.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR