Meskipun demikian, Ratna memberitahuku bahwa usia panel surya dapat mencapai 20 tahun jika kita paham cara merawatnya. Batere harus rutin diperiksa air akinya. Usia batere bertahan hingga dua tahun. Biasanya, pengetahuan masyarakat penggunan panel surya itu sangat minim. Ketika pembangkit itu tidak lagi bekerja, mereka mungkin cepat berpikir bahwa itu sudah rusak. “Padahal mungkin saja yang jadi masalah ada di batere,” terang wanita yang juga memanfaatkan bauran energi listrik dari PLN dan panel surya ini di rumahnya.
Sebenarnya di luar negeri sendiri terutama negara-negara maju, menurut Ratna, fokus penggunaan panel surya juga didorong oleh isu lingkungan—dalam hal ini pemanasan global. Bukan semata-mata karena keterbatasan energi fosil. “Jadi, di luar negeri pun harga panel surya masih mahal. Sekarang bisa dikatakan harganya meningkat karena permintaan tinggi. Mereka tidak memakai panel surya untuk daerah terpencil, melainkan daerah perkotaan karena dikaitkan dengan isu lingkungan. Sementara di negeri kita, panel surya masih dipakai untuk memenuhi kebutuhan daerah terpencil,” sebutnya.
MASIH LEBIH MAHAL
Salah satu contoh lain mengenai inovasi di bidang energi alternatif dapat ditemukan pada pemanfaatan tetes tebu menjadi ethanol, yang antara lain dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Baru-baru ini aku bertemu dengan Ivan Aries, seorang pria muda yang memberikan pelatihan pembuatan bahan bakar nabati jenis ethanol kepada masyarakat yang membutuhkan.
Melalui alat penyulingan yang ia ciptakan sendiri, Ivan sukses menciptakan ethanol dengan kadar kemurnian hingga 95 persen. Pengetahuan itu ia dapatkan sendiri melalui coba-coba selama hampir 11 bulan dengan bantuan fasilitas internet sampai terjun langsung mengunjungi pelosok negeri. “Intinya ’kan di penyulingan,” kata Ivan. ”Hasil fermentasi molase ini mengandung kadar 10 persen ethanol. Supaya bisa mengandung 90 persen butuh proses yang namanya penyulingan.”
!break!
Kegelisahan lain yang mendorong Ivan melakukan ini adalah kekecewaannya terhadap program konversi minyak tanah ke elpiji yang diserukan pemerintah. Baginya, pemerintah kurang kreatif mensiasati harga minyak yang terus melambung tinggi dengan memaksa masyarakat mengganti kompor minyak mereka. Ivan menciptakan ethanol bukan sebagai pengganti bahan bakar minyak untuk kendaraan seperti yang dilakukan banyak orang, melainkan sebagai pengganti minyak tanah. Sebuah inovasi yang memenuhi dua hal sekaligus: mendukung misi pemerintah mengurangi penggunaan energi fosil serta membantu masyarakat agar tidak perlu meninggalkan kebiasaan turun-temurun dalam hal memasak.
Bahan bakar ini bersih. Dengan mata kepala sendiri aku melihat bagaimana api yang diciptakan ethanol mampu membakar dengan sempurna namun tidak meninggalkan bekas apapun juga. Sebab sudah merupakan karakteristik ethanol yang tidak akan membakar media apapun yang berada di dalamnya. Maka ketika digunakan untuk kompor minyak, Anda akan berdecak kagum melihat sumbu kompor yang masih putih bersih meski sudah digunakan berkali-kali. Untuk satu liter ethanol bisa bertahan untuk memasak selama lima jam.
Pada dasarnya, tumbuhan apapun yang manis seperti tebu dan aren bisa menjadi ethanol melalui proses fermentasi. Sementara kalau jagung, singkong, ketela, beras, ataupun kedelai itu harus dikonversi dulu menjadi gula. Ivan kemudian menjelaskan rincian teknis yang berujung pada kalimat ini: “Jadi bukan singkong mendadak jadi ethanol. Singkong diubah patinya dulu menjadi enzim gula.”
Untuk membangun pabrik sederhana yang mampu menghasilkan 70 liter ethanol per hari, menurut Ivan investasinya sebesar 30 juta rupiah—termasuk untuk membeli mesin pengolahan yang ia rancang sendiri sebesar 8 juta rupiah. Namun, karena mudah dibuat dan rentan disalahgunakan menjadi minuman keras, proses perizinan produksi ethanol tidak mudah didapatkan. Masalah berikutnya: bahan baku. ”Kita kalah dari Malaysia yang produksi singkongnya bisa 150 ton sementara Indonesia kebun singkongnya hanya bisa menghasilkan enam ton,” keluhnya.
!break!
Sekretaris Tim Nasional Bahan Bakar Nabati, Evita Legowo mengatakan, jika dibandingkan dengan biodiesel yang biasa digunakan untuk mengganti bahan bakar solar, harga bioethanol memang relatif lebih bagus. Akan tetapi, pasokan bahan untuk bioethanol belum siap. Mengenai harga, diperkirakan ethanol ini juga sekitar enam ribu rupiah per liter—masih lebih mahal dibandingkan dengan minyak tanah harga sekarang (yang disubsidi pemerintah), yang berkisar di angka 2.300 rupiah.
ANTARA METANA DAN BIOGAS
Aku bergidik penuh rasa jijik ketika Sutrisna, salah seorang warga Jetis Pasiraman di tepi Kali Code, Yogyakarta, mengajakku mendekati sebuah tong penimbunan yang ditanam di sebidang tanah. Bentuknya seperti tong penyimpanan air biasa namun dibangun secara permanen. Jika sebelumnya tidak diberitahu apa isi tong itu, mungkin aku tanpa ragu akan menengok ke dalam. “Di situ kita menimbun tinja, Mbak. Biar bisa menghasilkan gas,” tunjuk Sutrisna. “Ada 19 keluarga membuang kotoran mereka ke bak itu.”
Gas hasil pembusukan material organik seperti kotoran manusia bisa digunakan sebagai salah satu sumber energi alternatif. Cukup dengan membangun biodigester (bak penampungan) yang kedap udara ataupun berkadar oksigen rendah (anaerobic), gas bio sudah bisa dihasilkan melalui sebuah proses mikrobiologi.
Bagaimanapun, masyarakat tak mudah untuk diyakinkan. Meski berkali-kali dijelaskan bahwa gas itu aman untuk digunakan, bahkan tidak dikenakan biaya penyambungan, pada awalnya hanya dua keluarga yang menyatakan berminat. “Mereka bilang, nanti saja kalau sudah ada bukti baru mau ikut menyambung,” kenang Sutrisna.
!break!
Dalam suatu uji coba pada sebuah kompor, gas yang dihasilkan dari biodigester itu mampu bertahan hingga sembilan jam. Salah seorang warga penggunanya, Heru, tidak perlu pusing ketika elpiji 12 kilogram yang dulu digunakan istrinya untuk masak naik harganya pada Mei lalu. Namun, sebagai antisipasi jika biodigester tidak berproduksi, ia tetap menyimpan kompor minyak. “Yang jelas, saya tidak pernah membeli elpiji lagi. Dulu dalam sebulan saya menghabiskan elpiji satu setengah tabung. Hitung-hitung, kini saya bisa menghemat sekitar 100 ribu rupiah per bulan,” ucapnya diiringi senyuman.
Bagaimanapun, investasi awal untuk membuat sambungan tidaklah terlalu murah. Rumah yang berjarak tiga sampai empat meter dari biodigester, misalnya, membutuhkan biaya 750 ribu rupiah termasuk untuk membeli kompor yang harganya sekitar 200 ribu rupiah. Itu belum termasuk tenaga tukang yang memasangnya.
Selain biaya, terdapat kekhawatiran di antara warga pengguna kompor biogas: tekanan gas menjadi tinggi kala musim hujan tiba. Jika terjadi kebocoran dan terdapat percikan api sedikit saja, gas akan mudah meledak. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah kapasitas kotorannya sendiri. Baru diketahui, ternyata untuk memenuhi kebutuhan gas bagi satu keluarga diperlukan sumbagan kotoran dari 10 keluarga lainnya. Karena jumlah tinja yang masuk ke biodigester hanya dari 19 keluarga, maka hanya dua keluarga saja yang bisa menikmati gas itu. Bahkan ketika pertama kali digunakan, ke dalam biodigester perlu dimasukkan 20 karung kotoran ayam yang masih basah, sebagai pancingan agar gas bisa diproduksi.
Hal serupa juga dialami warga di Dusun Krapyak IX di Kecamatan Sayegan, Yogyakarta. Mayoritas penduduk di desa itu memang menggantungkan hidup mereka dari usaha pembuatan tahu tradisional. Terdapat puluhan pabrik tahu tradisional di sana, yang limbah-limbahnya disalurkan menuju rumah produksi di mana telah tersedia biodigester.
Dengan memanfaatkan gas dari hasil pengolahan limbah, proses memasak tahu lebih cepat dan ongkos produksinya lebih murah. Sayangnya kemampuan biodigester yang dibangun sejak tahun 2007 itu perlahan-lahan berkurang. Kadang, tidak sampai empat jam gas sudah habis. Sejumlah peneliti yang mampir ke sana pernah menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena pasokan limbah tahu yang masuk terlalu banyak air.
!break!
“Biodigester dengan menggunakan tinja manusia itu sering tidak berhasil karena biasanya air yang digunakan untuk menyiram kotoran terlalu banyak. Sepertinya hal itu yang terjadi di Kali Code dan Krapyak,” ungkap Rochadi Tawaf, peneliti dari Pusat Teknologi Tepat Guna, sebuah lembaga penelitian Universitas Padjajaran.
Menurut Rochadi, ada beberapa faktor yang membuat pemanfaatan biogas ini sulit berkembang. Salah satunya terkait kultur dari masyarakat itu sendiri. Ia mengambil contoh masyarakat yang tinggal di pedalaman: karena kondisi sosiologis, mereka tidak begitu membutuhkan biogas karena bahan bakar seperti kayu begitu mudah ditemui. "Keberadaan tungku bagi masyarakat pedalaman juga mempunyai fungsi sosial yaitu distribusi manajemen keluarga. Tidak saja untuk memasak, tapi juga penghangat. Bisa dibayangkan kalau itu harus diganti dengan kompor gas," jelasnya.
Untuk masyarakat perkotaan, pengembangan biogas juga menemui kendala: perasaan jijik dan najis karena menggunakan gas bentukan tinja mereka. Selain itu, imbuh Rochadi, umumnya rumah di perkotaan sudah memiliki septitank sendiri. Belum lagi kendala berupa ketidaktahuan dan ketidakdisiplinan masyarakat. Rochadi menjelaskan, dalam hal menyumbang efek rumah kaca, gas metana yang dihasilkan oleh kotoran manusia, hewan, serta limbah sebenarnya lebih berbahaya dibandingkan dengan karbon dioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil. Akan tetapi, jika metana telah diolah menjadi biogas dan terbakar, justru lebih ramah lingkungan.
Karbon dalam biogas merupakan karbon yang diambil dari atmosfer oleh fotosintesis tanaman, sehingga ketika dilepaskan lagi ke atmosfer tidak begitu banyak menambah jumlah karbon di atmosfer dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Dengan kata lain, energi yang dihasilkan oleh biogas lebih besar sementara emisinya lebih sedikit—karena itu memegang peranan penting dalam manajemen limbah.
Bagi Rochadi, pemanfaatan biogas jauh lebih ekonomis jika dibandingkan dengan penggunaan energi alternatif lainnya. Karena relatif lebih mudah dan bisa diterapkan di mana saja, juga oleh siapa saja. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, apakah masyarakat kita mau sedikit repot untuk kreatif dalam memenuhi kebutuhan energinya, serta menghilangkan gaya konsumtifnya? Ia mengutarakan sebuah kata kunci: ”Energi alternatif dan teknologinya relatif lebih mudah untuk dicari. Akan tetapi mengubah perilaku masyarakatnya itu yang sulit sekali.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR