Ita duduk menjengkang. Pagi ini tidak terlalu ramah, baru jam sembilan matahari Jakarta terasa begitu panas. Angin menerbangkan debu jalanan sampai ke rambutnya. Muka perempuan 35 tahun itu kuyu kurang tidur, setelah semalam ia pulang larut karena berkeliling menyanyi bersama rombongan dangdut dorongnya. Cuma sepuluh ribu rupiah yang dibawanya pulang, senilai satu bungkus nasi di warung depan gang rumahnya. Dia dan suaminya Mandra, tinggal di rumah kontrakan, di sebuah gang sempit kawasan Manggarai, Jakarta Pusat, yang padat dan kumuh.
!break!
Dompet yang tandas menjelang tengah hari sehingga tak ada sisa untuk makan siang sudah menjadi menu kesulitannya tiap hari. Tagihan listrik tak dipikirkannya. Toh ia bisa menunggak dulu. Nasi juga masih bisa digantinya dengan goreng-gorengan yang berminyak, lumayan untuk mengganjal perutnya seharian. Suaminya Mandra, 37 tahun, buta huruf. Alhasil cuma bisa bekerja serabutan sebagai pengumpul botol air kemasan bekas.
Meskipun sudah ditambah penghasilan suaminya, mereka tetap tak bisa mencukupi gizi si bungsu yang berusia tiga tahun. ”Kasihan anak saya, tidak bisa makan yang bergizi,” katanya. Si sulung, 13 tahun, sudah lama tak sekolah dan dititipkan pada neneknya di Depok.
Ita-Ita yang lain di Jakarta jumlahnya 380 ribu orang, yang tidak mampu makan sehari tiga kali, apalagi pakai nasi dan daging. Di Indonesia jumlahnya bahkan mencapai 52 juta orang, sekitar 25 persen dari jumlah penduduk.
Ketika mengamen dangdut dorong, seringkali Ita melewati Jalan Latuharhary dan Sultan Agung, tepat di atas rumah Saripah, kalaupun itu bisa disebut rumah: ”atap” kokoh dari beton, kerangkanya baja, tapi dindingnya hanya triplek dan koran, menggantung di atas kali Ciliwung. Ia memang tinggal di kolong jembatan, dan setiap saat bila ngelindur, bisa nyemplung lalu hanyut terbawa air. ”Sudah ada kejadian nyebur ke kali,” ujarnya sambil tersenyum lirih.
Dia mengaku baru saja mengambil jatah Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan uang tunai Rp 300 ribu dari pemerintah untuk meringankan beban kelompok miskin akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Mengaku menghindari sulitnya hidup di kampung tanpa pekerjaan, ia datang ke Jakarta bersama suaminya, bekerja sebagai pemulung. Kadang ada dermawan yang datang memberi nasi bungkus dan pakaian, tapi tetap saja penghasilan mereka tak cukup bahkan untuk sekedar makan nasi dengan telur tiga kali sehari.
!break!
Dina Andriani tinggal di Bogor, hidup bersama suami dengan satu anak berumur dua tahun. Mereka bekerja di Jakarta, dengan penghasilan yang cukup untuk makan tiga kali, membeli susu bayi dan sesekali pelesiran keluarga. Karena jarang makan di rumah, mereka cuma menghabiskan Rp 40 ribu sebulan untuk membeli lima kilogram beras organik. Kenaikan harga beras yang sepuluh persen beberapa minggu lalu tidak terlalu memengaruhi kondisi keuangannya. ”Tapi kami harus berhemat karena harga apa saja sekarang naik terus,” katanya.
Bulan April lalu ketika PBB menetapkan 37 negara dalam krisis pangan, Indonesia justru mencapai prestasi yang tak terbayangkan sebelumnya: surplus produksi beras seperti swasembada tahun 1984. Menurut perhitungan Departemen Pertanian tahun ini produksi beras nasional akan mencapai 60 juta ton atau surplus dua juta ton. Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani memberikan data lebih rinci: Produksi beras meningkat 4,8%, jagung 14,4%, gula 6,1%, CPO 6,1%, daging sapi 5,6%. Akan tetapi kedelai turun 20,8% karena pilihan rasional petani yang lebih memilih padi, namun ini akan diperbaiki di 2008,” katanya di depan DPR. ”Surplus ini menjauhkan Indonesia dari krisis pangan,” kata pengamat pertanian Bustanul Arifin.
Keluarga Ita, Saripah, dan Dina memang tak menganggap harga beras yang Rp6.000 - Rp7.000 per kilogram itu sebagai masalah, dengan alasan berbeda-beda. Namun, sampai kapan harga beras ”murah” ini bertahan, itulah pertanyaan besarnya.
Dalam bulan Mei saja kenaikannya Rp 500 per kilogram. Sementara catatan demografi menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia mendekati 210 juta orang, dengan pertumbuhan 1,6 persen per tahun, setara dengan menyuapi tambahan mulut baru 3,36 juta orang pada tahun depan. Bila setiap orang butuh beras 120 kilogram per tahun sama seperti jatah beras untuk pegawai negeri, maka diperlukan tambahan beras lebih dari empat juta ton tahun depan dan akan terus naik.
Bustanul Arifin mengungkapkan cara penghitungan produksi beras model Departemen Pertanian. Menurutnya, perhitungan produksi tahun lalu telah dilipatduakan pemerintah karena dianggap sebagai tahun basah, meskipun memang ada sedikit peningkatan produksi beras. Bustanul mengingatkan krisis pangan bisa segera datang bila kekeringan yang mungkin terjadi tahun ini tidak diantisipasi dengan manajemen stok beras oleh Bulog. Belum lagi dampak perubahan iklim yang telah menimbulkan ketidakpastian musim tahun-tahun belakangan. ”Kalau tahun ini menjadi tahun kering, maka produksi akan mengalami penurunan,” tegasnya.
!break!
Bila prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) tidak melenceng, untuk memberi makan nasi 425 juta penduduk pada tahun 2030, Indonesia memerlukan 59 juta ton beras, dengan asumsi konsumsi per kapita sebesar 139 kg per tahun.
Pemerintah tetap memerlukan setiap kilogram surplus beras untuk disimpan di gudang Bulog, karena luas lahan sawah terus berkurang. Bila sawah di Jawa mampu berproduksi enam ton per hektare, maka untuk memberi surplus satu juta ton saja dibutuhkan 166 ribu hektare sawah baru. Kenyataannya, produksi nasional rata-rata hanya 4,76 ton per hektare.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR