Saat pentas, Enthus juga kerap menjadikan sinden atau pengrawitnya sebagai bahan guyonan. Mereka bahkan saling meledek. Komunikasi langsung antarpendukung di atas pentas—juga menjadi bagian dari pementasan—seperti itu sama sekali bukan bagian dari baku atau pakem seni wayang konvensional atau klasik di mana para pendukung selalu duduk takzim hingga gilirannya bertugas, menyanyi atau menabuh gamelan, tiba.
Apa yang dilakukan oleh Enthus itu dapat diibaratkan sebuah konser musik klasik yang tiap-tiap musisinya tertib dalam memainkan bagian mereka—juga tidak memainkan—tiba-tiba masing-masing meledak dalam improvisasi ala musik jazz.
Apa yang dilakukan Enthus tak lain adalah kiat menahan penikmat wayang agar tetap duduk di tikar mereka sampai pertunjukan berakhir. Upaya seperti itu juga menjadi salah satu motivasi banyak dalang untuk memodifikasi pementasan mereka. Sebuah upaya yang juga didukung oleh Djoko Suryo, sejarawan sekaligus Guru Besar Universitas Gadjah Mada.
“Tentu pendekatannya harus lebih tajam dan kontekstual dengan masa kini. Dari segi filosofi dan kultural, wayang masih relevan. Pakem itu bisa terus dipakai, tetapi perlu kreativitas penciptaan modus dan pendekatan agar mengarah kepada pendidikan moral,” kata Djoko.
!break!
Alhasil sejak akhir 1980-an, pentas dengan tiga, empat, lima, dan bahkan sepuluh orang dalang sudah bukan sesuatu yang mustahil dalam pertunjukan wayang kulit. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Hal serupa juga terlihat dalam pentas wayang golek Sunda.
Tidak berhenti hanya sampai di sana, kreativitas para pelaku dalang dalam memodifikasi wayang merambah ke berbagai segi kesenian itu sendiri. Dari sisi perangkat pentas, panggung juga ada yang diset megah dengan kelir lebar. Wayang pun banyak yang cat dasarnya menggunakan warna emas untuk menambah kesan megah, tidak lagi warna asli kulit samakan.
Blencong, lampu minyak tanah yang ditempatkan di atas dalang dan sempat diganti lampu petromaks, sekarang sudah jarang terlihat. Lampu sorot ribuan watt yang membuat mata penonton nyaman adalah gantinya. Belum lagi efek pencahayaan juga sudah makin canggih: menggunakan sinar laser. Sebagian besar dalang muda, seperti Ki Warseno Sleng, Ki Bagong Darmono, Ki Sigid Arianto, dan juga dalang muda di Bali, Ki Wayan Nardayana sudah memanfaatkan teknologi ini.
”Saya memulainya pada akhir 1990-an karena terinspirasi dalang-dalang di Jawa. Yang memperkenalkan ini adalah Dru Wendro, dalang dari Solo yang menjadi dosen di Institut Seni Indonesia Denpasar. Kami sempat pentas bersama. Ternyata dengan efek sinar laser, pentas jadi tampak meriah karena suasana di kelir terkesan gemerlap,” ujar Nardayana.
Kreasi seperti itu dapat dilihat hampir di ujung timur Pulau Jawa, di kota kecil Jember, tempat dalang muda Edy Siswanto memainkan wayang-wayang kulitnya yang berukuran jauh lebih besar dari biasa. Edy menggunakan overhead projector untuk memasukkan ilustrasi gambar hidup di kelir, lengkap dengan rekaman suaranya. Misalnya gambar halilintar saat adegan Gatutkaca terbang di angkasa atau gambar air terjun saat tokoh wayang sedang bertapa. Lewat kiatnya itu, wayang tak lagi beraksi di depan latar kain putih nan polos yang hanya berhiaskan bayang-bayang yang dibiaskan cahaya sentir.
!break!
Edy juga memanfaatkan perangkat listrik untuk memunculkan efek khusus. Misalnya, reaksi hubungan arus pendek dia manfaatkan untuk menimbulkan percikan api dalam adegan pertempuran atau membuat wayang betul-betul terbakar. Tak hanya mengeksplorasi pentas di depan kelir, Edy juga mengombinasi instrumen gamelan dengan memboyong kelompok musik dangdut atau campur sari.
Di samping atraksi, kreativitas merambah pula pada penampilan para pelaku seni. Ada yang tetap memakai busana tradisional, beskap lengkap dengan keris dan blangkon yang menutup rambut yang dicukur rapi, tetapi ada pula yang tampil berambut gondrong. Adapun seluruh rombongan Ki Enthus Susmono mengenakan kostum paduan jubah dan blangkon pesisiran. Para sinden mengenakan jilbab.
Kreativitas tak datang dengan tiba-tiba. Tak bisa dipungkiri, satu faktor pendorong bukanlah hal-hal yang besar, teori yang rumit, atau filosofi yang dalam, melainkan sekadar persoalan hidup-tidaknya api di dapur. Adalah sebuah malapetaka bagi dalang jika mereka tidak laku karena sebagian besar dalang hanya mengandalkan pemasukan dari pementasan semata.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR