Ada memang dalang yang juga bekerja sebagai pegawai negeri atau pedagang. Namun, banyak dalang di Jawa Timur dan Jawa Tengah yang memutuskan untuk tidak mencoba pekerjaan lain karena meyakini profesi dalang tak boleh diduakan. “Kalau memang sudah memutuskan jadi dalang ya harus fokus pada profesi ini saja,” kata Ki Suleman, dalang sepuh yang dituakan di Sidoarjo, Jawa Timur yang menambahkan, prinsip tidak menduakan pekerjaan mendalang itu sudah menjadi keyakinan turun-temurun.
Belakangan ini, para dalang mengaku pendapatan mereka memang berkurang karena penanggap wayang tidak lagi seramai era 1990-an. Waktu itu dalam sebulan, dalang yang tidak sepopuler Ki Anom, Ki Enthus dan Ki Manteb pun bisa tampil 30 kali. Sejak dimulainya “Era Reformasi”, wayangan menjadi sepi. Sebagian besar dalang muda pun semakin giat berupaya agar pentas mereka bisa diterima masyarakat di tengah sulitnya mendapat tanggapan mentas.
“Saya mencoba membuat wayang yang tokohnya ayah saya sendiri, Ki Manteb. Saya keluarkan saat guyonan, misalnya pada adegan limbukan atau gara-gara. Ternyata bisa membuat suasana pentas lebih hidup,” aku Medhot Darsono, putra Ki Manteb yang juga dalang.
!break!
Lain halnya lagi dengan Ki Seno Nugroho. “Saya mengambil langkah yang cukup ekstrem. Saya memadukan dua gagrag sekaligus, Ngayogyakarta dan Surakarta. Dua gaya ini ‘kan tidak pernah ketemu, tetapi saya gabungkan di pentas saya. Ternyata sambutannya luar biasa. Hampir di setiap pentas penontonnya ribuan,” aku Ki Seno Nugroho yang menetap di Bantul, Yogyakarta.
Ke timur Jawa menyeberangi Bali, kreativitas dan usaha keras menghidupkan pentas Wayang Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat dilalui Ki Lalu Nasib—dalang paling eksis di Lombok saat ini. Ketika mengawali kariernya sebagai dalang Wayang Sasak, dia mengaku kesulitan mendapat respon penonton karena bahasanya menggunakan Bahasa Sasak dan Jawa Kawi. Berbeda dengan Wayang Purwa (Jawa dan Bali), yang mengambil sumber cerita pada epos Mahabharata dan Ramayana, Wayang Sasak mengambil sumber Serat Menak (karya sastra kuno Nusantara) dan kakawin (puisi jawa kuno) untuk lakon carangan dengan iringan gamelan Bali.
“Saat mendalang saya menggunakan bahasa campuran dengan Bahasa Indonesia. Kalau tidak begitu, tidak bisa dipahami penonton. Saya juga membuat kreasi pada bentuk wayang, misalnya senapan, helikopter dan banyak lagi bentuk-bentuk lain agar tidak monoton,” ujar Ki Lalu Nasib.
Merunut jauh ke belakang lorong waktu, sejatinya, wayang tak lepas dari perubahan, perlahan maupun mengentak. Awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah kepada “Hyang” (Tuhan). “Kegiatan religi itu dilakukan berkaitan dengan upaya masyarakat agraris mensyukuri berkah dari Sang Hyang atas sukses panen, misalnya,” jelas Djoko Suryo.
Menurut Serat Centhini, kitab awal abad ke-19 yang dianggap sebagai ensklopedi budaya Jawa yang pertama di dunia—diprakarsai Pangeran Adipati Anom Amangkunegara, kehadiran wayang bermula pada zaman Sri Aji Jayabaya (hingga tahun 860). Karya penguasa Kerajaan Mamenang itu dianggap sebagai tunas Wayang Purwa. Bentuknya masih berupa gambar yang ditorehkan di atas daun tal (rontal atau lontar) dengan lakon diambil dari tradisi lisan.
!break!
Lewat tahun 1120, penerus Lembu Amiluhur di Kerajaan Jenggala, Sri Suryawisesa, melanjutkan tradisi itu dan membuat gambar Wayang Purwa yang lebih besar di lembar lontar. Sri Suryawisesa pun mulai menyusun cerita baru yang kemudian dibakukan. Wayang berbentuk gambar di daun Tal itu pun menjadi tradisi yang penuturannya mulai diiringi dengan gamelan pada tahun 1145.
Seiring perjalanan waktu, gambar wayang pun bervariasi dan dalam penuturan cerita, mulai digunakan bahasa Kawi disertai sulukan (tembang) yang diiringi gamelan. Jadilah wayang sebagai bagian ritual yang digemari kawula kerajaan di Jawa kuno itu. Setiap ada perayaan atau upacara kerajaan, Sang Rajalah yang menjadi dalang. Alhasil, pentas wayang menjadi media bagi Sang Raja menyampaikan titah.
Pada era Suryaamiluhur sang penerus, tradisi wayang menjadi bagian dari ritual pemujaan dewata. Perubahan gambar wayang pun terjadi lagi menjadi bentuk fragmen sesuai alur cerita pada lembaran kertas memanjang dan dapat digulung yang kemudian di abad ke-12 itu dinamai Wayang Beber.
Di abad ke-15 seiring masuknya Islam dan berdirinya Kerajaan Demak (1500-1550), terjadi abstraksi bentuk karena gambar wayang yang ada berbenturan dengan ajaran Islam sehingga Raden Patah yang didukung Sunan Bonang mengubah bentuk wayang. Bahkan masing-masing dari wali yang sembilan menambahkan bentuk baru, termasuk Sunan Kalijaga yang mengubah sarana pertunjukan dari kayu menjadi batang pisang dilengkapi blencong, kotak wayang, dan gunungan.
Pada era Mataram Islam, Sultan Agung Anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit. Pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan. Wayang mulai memiliki wanda (bentuk).
Kembali ke abad informasi digital ini, pada kenyataannya masih banyak dalang yang bersikukuh mengusung mazhab klasik meski krisis global turut membuat aktivitas pentas melorot drastis. Ki Anom Suroto yang menjadi salah satu pemegang teguh pakem terus melanjutkan tradisi lama yang sudah dilakukan puluhan tahun di rumahnya, yakni pentas wayang setiap malam Rabu Legi.
“Rutin setiap selapan (35 hari) sekali selalu ada wayangan di rumah. Ini juga salah satu upaya untuk melestarikan wayang. Dalang yang tampil adalah teman-teman. Kami berharap kesempatan itu dimanfaatkan untuk sarasehan memperdalam wawasan kita tentang pakeliran (pertunjukan wayang)” ujar Anom. Dia ingin menepis anggapan yang menyebutkan pakem hanya akan membatasi.
!break!
Bagi para dalang klasik, pakem wayang tetap harus dihormati dan itu tak membuat mereka khawatir tidak “laku” karena yakin, dalang klasik tetap memiliki ruang yang luas untuk berkreasi. “Bahkan kita lebih dituntut untuk kreatif, tetapi tetap memperhatikan pakem yang ada,” tutur Anom menandaskan.
Anom tak terlalu risau pada perbedaan pemahaman tentang pertunjukan wayang. “Wayang adalah gambaran kehidupan manusia. Pentas wayang itu bukan hanya untuk hiburan, melainkan juga memuat tuntunan yang adiluhung,” kata Anom. “Itu saja yang saya harap dan sampai saat ini saya pegang teguh.”
Anom bertumpu pada harapan. Keteguhan yang dipegang Anom ataupun kreativitas dalang muda adalah harapan bahwa wayang yang langka, bernasib malang, dan terpinggirkan sebenarnya masih punya potensi berkembang.
Sayup-sayup terdengar Ki Ledjar Soebroto, si pencipta wayang kancil, mendendangkan lagu: Ingsun dongengi isining wanadri. Kawan kancil awanipun. Nyata banget piguna… (Saya ceritakan isinya hutan. Bersama teman Kancil. Nyata sekali manfaatnya).
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR