Di sebelah barat laut dari ujung ujung selatan Greenland yang sering dilandai badai terdapat sisi perbukitan curam di atas fjord (danau) yang penuh dengan gunung es, pegunungan yang pertama kali dijelajahi oleh Erik the Red lebih dari 1.000 tahun silam. Pada sisi perbukitan itulah menyeruak sejumlah anomali hortikultura: padang rumput Poa pratensis yang terpangkas rapi, kelembak, beberapa pohon cemara, poplar, fir (sejenis cemara), dan pohon willow. Semua itu ada di kota Qaqortoq, letaknya 600 43’ lintang utara, di halaman belakang kediaman Kenneth Hoegh sekitar 650 kilometer di selatan Lingkar Arktika.
!break!
”Tadi malam cuacanya membeku,” ujar Hoegh saat kami berjalan di halamannya pada sebuah pagi bulan Juli yang hangat. Kami tengah mengamat-amati tanaman-tanamannya sementara kawanan nyamuk mengamat-amati kami. Di bawah sana, pelabuhan Qaqortoq memancarkan kilauan biru safir di bawah terpaan surya yang cerah. Sebuah gunung es kecil—kira-kira sebesar bus kota—yang hanyut telah berjarak hanya beberapa meter dari galangan pelabuhan. Sejumlah rumah papan yang dicat terang, dibangun menggunakan kayu yang diimpor dari Eropa, tersebar di perbukitan granit yang hampir gundul dan menjulang tinggi bagaikan sebuah amfiteater di atas pelabuhan.
Hoegh adalah pria yang kekar dengan rambut pirang kemerahan dan janggut yang rapi—dia sangat cocok untuk peran seorang Viking. Dia adalah ahli agronomi dan mantan kepala penasihat kementerian pertanian Greenland. Keluarganya telah tinggal di Qaqortoq lebih dari 200 tahun lamanya. Hoegh berhenti melangkah di ujung halamannya, lalu berlutut dan mengintip ke balik lembaran plastik putih yang menaungi sejumlah lobak cina yang ditanamnya bulan lalu.
”Wah! Ini luar biasa!” Ujarnya seraya tersenyum lebar. Dedaunan lobak tersebut terlihat sehat dan hijau. ”Sudah tiga atau empat minggu tak kutengok tanaman ini; aku sama sekali tidak menyirami taman tahun ini. Hanya mengandalkan hujan dan salju yang meleleh. Ini menakjubkan. Kita bisa memanennya sekarang juga, tak masalah.”
Mekarnya lobak cina di pagi hari musim panas adalah hal sepele—tetapi di sebuah negara di mana sekitar 80 persen tanahnya terkubur di bawah lembaran es yang tebalnya hingga 3,5 kilometer dan sebagian besar masyarakatnya tidak pernah menyentuh pohon, hal itu jadi cukup penting. Greenland tengah menghangat, dua kali lebih cepat dibandingkan sebagian besar tempat di Bumi. Pengukuran satelit menunjukkan bahwa lembaran esnya yang luas, mengandung hampir 7 persen air tawar dunia, sedang menyusut sekitar 200 kilometer kubik setiap tahun. Es yang meleleh itu mempercepat pemanasan bumi – lautan dan tanah yang lepas dari tameng lapisan es menyerap sinar matahari yang biasa dipantulkan es kembali ke langit. Bila semua es di Greenland meleleh dalam beberapa abad ke depan, ketinggian muka air laut akan meningkat lebih dari 7 meter, membanjiri seluruh pantai di permukaan planet ini.
!break!
Namun di Greenland sendiri, kegelisahan mengenai perubahan iklim seringkali dikaburkan oleh besarnya harapan. Untuk saat ini, negeri yang pemerintahannya bergantung pada Denmark itu masih sangat mengandalkan mantan penguasa kolonialnya. Setiap tahun, Denmark memompa dana sebesar 6,2 triliun rupiah ke dalam ekonomi Greenland yang kurang darahy—lebih dari 110 juta rupiah untuk setiap penduduk Greendland. Namun, mencairnya Kutub Utara telah mulai membuka akses terhadap sumber minyak, gas, dan mineral lainnya yang bisa memberi Greenland kemerdekaan finansial dan politik yang dirindukan penduduknya. Perairan Greenland diperkirakan mengandung setengah dari total cadangan minyak ladang Laut Utara. Suhu yang lebih hangat juga akan membuat semakin panjangnya musim bercocok tanam pada sekitar 50 lahan pertanian Greenland dan mungkin akan mengurangi ketergantungan negara tersebut atas makanan impor. Ada kalanya pada zaman sekarang, seluruh negeri seakan-akan sedang menahan napas—menanti apakah ”penghijauan Greenland,” yang secara rutin diberitakan di media internasional akan terjadi juga pada akhirnya.
Pengalaman pertama Greenland sebagai subjek berita terjadi 1.000 tahun lalu saat Erik the Red tiba dari Islandia dengan sekumpulan Norsemen (orang Utara) alias Viking. Erik sedang lam,’melarikan diri’ (berasal dari kata lemja dalam bahasa Norse Kuno) karena membunuh seorang lelaki yang menolak untuk mengembalikan ranjang yang dipinjam olehnya. Pada tahun 982 dia mendarat di sebuah fjord di dekat Qaqortoq, kemudian, walaupun dengan insiden ranjang itu, dia kembali ke Islandia untuk menyebarkan kabar tentang negeri yang dia temukan, yang menurut hikayat Erik the Red, ”disebut Greenland atau Tanah Hijau karena menurut Erik, orang-orang akan tertarik untuk pergi ke sana jika tempat itu memiliki nama yang menarik.”
Teknik pemasaran Erik yang gegap gempita menuai hasil. Sekitar 4.000 bangsa Norse akhirnya menetap di Greenland. Bangsa Viking yang terkenal dengan reputasi kebengisannya sesungguhnya adalah kaum petani, meski kadang-kadang menjarah, merampok, dan menemukan Dunia Baru di waktu luangnya. Di sepanjang fjord yang terlindung di daerah selatan dan barat Greenland, bangsa Viking beternak domba dan sapi, sebagaimana yang dilakukan para peternak Greenland masa kini di fjord yang sama. Mereka membangun gereja dan ratusan lahan pertanian; mereka menukar kulit anjing laut dan gading walrus dengan kayu dan besi dari Eropa. Putra Erik, Leif, mendirikan sebuah pertanian sekitar 55 kilometer sebelah timur laut Qaqortoq dan menemukan Amerika Utara sekitar tahun 1000. Di Greenland, desa-desa Norse bertahan lebih dari empat abad lamanya. Kemudian tiba-tiba, menghilang begitu saja.
Kehancuran para petani pengarung lautan yang gagah berani ini menjadi sebuah contoh yang meresahkan tentang ancaman perubahan iklim terhadap kebudayaan yang paling cerdik sekali pun. Bangsa Viking menetap di Greenland pada masa kehangatan menyelimuti daerah tersebut, masa kehangatan sama yang menyaksikan berkembangnya pertanian dan pembangunan sejumlah katedral besar di Eropa. Namun pada tahun 1300 Greenland menjadi terlalu dingin dan hidup di pulau itu menjadi lebih sulit. Bangsa Inuit yang tiba dari Kanada utara, bergerak ke selatan di sepanjang pantai barat Greenland di saat bangsa Viking bergerak ke utara, ternyata mampu bertahan hidup (sebagian besar masyarakat Greenland modern berasal dari bangsa ini serta dari misionaris dan pendatang Denmark yang tiba di abad ke-18). Bangsa Inuit membawa kereta anjing, kayak, dan berbagai peralatan lainnya yang dibutuhkan untuk memburu dan memancing di Kutub Utara. Sejumlah peneliti menyatakan bahwa pemukim Norse gagal karena mereka terus mempertahankan cara-cara tradisional Skandinavianya, sangat mengandalkan ternak impor dan bukannya mengeksploitasi sumber daya lokal.
!break!
Namun bukti arkeologi yang ditemukan belakangan menunjukkan, bangsa Norse sesungguhnya juga beradaptasi dengan baik terhadap rumah barunya. Thomas McGovern, antropolog Hunter College di Manhattan, AS, mengatakan, bangsa Norse mengorganisasi perburuan anjing laut tahunan secara besar-besaran, khususnya begitu iklim menjadi lebih dingin dan ternak mulai mati. Sayangnya, anjing laut juga kalah melawan iklim yang ganas. ”Anjing laut dewasa bisa melewati musim panas yang dingin, tapi anak-anak anjing laut tidak,” ujar McGovern. Bangsa Norse mungkin telah dipaksa untuk meluaskan daerah perburuan mereka untuk mencari spesies anjing laut lainnya, di perairan dengan cuaca yang jauh lebih buruk.
”Kini kami berpikir bahwa bangsa Norse memiliki sistem sosial sangat baik yang membutuhkan banyak gotong-royong, tetapi ada sebuah kelemahan yang besar—mereka harus menempatkan sebagian besar orang dewasanya untuk memburu anjing laut,” ujar McGovern. ”Pemicu berakhirnya bangsa Norse di Greenland mungkin adalah hilangnya nyawa sebagian besar penduduk dalam sebuah badai salju yang buruk.” Bangsa Inuit tidak begitu rapuh karena cenderung berburu dalam kelompok kecil. ”Semua ini menjadi cerita yang lebih rumit dari yang kita bayangkan,” ujar McGovern. ”Kisah lama menceritakan bagaimana bangsa Viking yang bodoh datang ke utara, mengacaukan segalanya, lalu mati. Tetapi cerita yang baru ternyata sedikit lebih menakutkan karena mereka terlihat memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup baik, terorganisasi dengan baik, melakukan semuanya dengan benar—tetapi mereka tetap saja mengalami kehancuran.”
Catatan peristiwa bersejarah terakhir dalam kehidupan bangsa Norse di Greenland bukanlah badai yang ganas ataupun bencana kelaparan apalagi eksodus ke Eropa. Sebuah pernikahan yang diadakan di gereja di dekat puncak fjord Hvalsey, sekitar 15 kilometer timur laut Qaqortoq. Sebagian besar bangunan gereja itu masih berdiri di atas lereng penuh rumput tepat di bawah puncak gunung granit yang menjulang di atasnya.
Pada suatu pagi yang sejuk di musim panas lalu, kabut tipis melayang di sisi timur gunung bagaikan hamparan panji-panji dari sutera tipis. Serpili liar dengan bunga merah-ungu nan indah terhampar di lahan depan gereja berusia 800 tahun yang kini beratapkan langit tersebut. Keempat dinding batu setebal satu meter tetap berdiri – dinding timur menjulang lebih dari 5 meter tingginya. Mereka sudah jelas dibangun oleh orang-orang yang berniat menetap di sana untuk waktu yang lama. Di dalam bangunan itu, rerumputan dan kotoran domba memenuhi tanah yang bergelombang di mana pada tanggal 14 September 1408, Thorstein Olafsson menikah dengan Sigrid Bjornsdottir. Sebuah surat yang dikirimkan dari Greenland ke Islandia tahun 1424 menyebutkan pernikahan itu, mungkin sebagai bagian dari pertikaian warisan, tetapi tidak mengungkapkan apa-apa mengenai perselisihan, penyakit, atau tanda-tanda marabahaya. Itulah berita terakhir dari pemukiman Norse itu.
!break!
Pada hari ini, penduduk Greenland yang berjumlah 56,000 jiwa masih tinggal di lahan berbatu di antara lautan dan es, sebagian besar tinggal di sejumlah kota di sepanjang pantai barat. Gletser dan garis pantai yang sangat dekat dengan fjord tidak memungkinkan untuk dibangunnya jalan antarkota; setiap orang melakukan perjalanan menggunakan perahu, helikopter, pesawat terbang, atau di musim dingin, dengan kereta anjing. Lebih dari seperempat penduduk Greenland, sekitar 15,500 orang tinggal di Nuuk, ibukota Greenland, sekitar 480 kilometer sebelah utara Qaqortoq tepat di tepi lautan.
Ambil satu bagian kota tua Greenland yang artistik, lengkap dengan fjord dan latar pegunungan yang menakjubkan, berpadu dengan, mungkin, empat buah apartemen beton yang kaku dan muram, ditambah dua lampu lalu lintas, kemacetan lalu lintas harian, serta lapangan golf sembilan hole maka itulah kota Nuuk. Blok-blok apartemen yang luas tetapi tak terawat adalah warisan program modernisasi yang dipaksakan dari kurun 1950-an dan 1960-an, saat pemerintah Denmark memindahkan warga dari sejumlah desa kecil tradisional ke sejumlah kota besar. Tujuannya adalah meningkatkan akses masyarakat ke sekolah dan pelayanan kesehatan, mengurangi biaya, dan menyediakan pekerja untuk sejumlah pabrik pemeroses dalam industri perikanan yang tumbuh pesat di awal 1960-an, tetapi telah kini telah runtuh. Apa pun keuntungan yang diperoleh, kebijakan itu telah menelurkan sejumlah masalah sosial—kecanduan alkohol, keluarga yang tercerai-berai, kasus bunuh diri—yang masih menimpa Greenland.
Namun pagi itu, di hari pertama musim panas 2009, suasana di Nuuk sungguh meriah: Greenland tengah merayakan dimulainya era baru. Pada November 2008, sebagian besar penduduk Greenland menjalani pemilihan umum untuk meningkatkan kemandirian mereka dari Denmark yang telah memerintah Greenland dalam berbagai bentuk sejak 1721. Perubahan tersebut diresmikan pagi itu dalam sebuah upacara di pelabuhan Nuuk yang merupakan jantung dari kota kolonial tua tersebut. Ratu Margrethe II dari Denmark secara formal akan mengakui hubungan baru antara negaranya dengan Kalaallit Nunat, itulah sebutan penduduk Greenland untuk tanah airnya.
Per Rosing, lelaki Inuit berusia 58 tahun yang ramping dengan rambut ekor kudanya yang mulai beruban dan sikapnya yang lembut memimpin paduan suara nasional Greenland. ”Aku bahagia, benar-benar bahagia,” ujarnya sambil meletakkan tangan di dada saat kami berjalan bersama dalam kerumunan yang besar menuju pelabuhan, menyusuri jalanan yang masih basah akibat turunnya hujan dan salju yang membekukan semalam. Orang-orang berhamburan dari Blok P, bangunan apartemen terbesar di Nuuk, yang menaungi satu persen populasi Greenland. Bangunan tanpa jendela tersebut telah menjadi kerangka untuk karya seni yang sangat optimistis: bendera Greenland setinggi empat lantai berwarna merah dan putih. Seorang artis setempat menjahit bendera itu dengan pertolongan anak-anak sekolah dengan memanfaatkan ratusan lembar pakaian.
!break!
Pada pukul 7:30 orang-orang penuh berkumpul di atas dok. Banyak juga yang berada di atas atap-atap rumah kayu tua di sekeliling pelabuhan; beberapa menonton dari perahu kayak, mendayung cukup dekat untuk mengambang di atas lautan yang tenang dan berkilauan itu. Upacara dimulai dengan paduan suara menyanyikan lagu kebangsaan Greenland, ”Nunarput Utoqqarsuanngoravit—Engkau, Tanah Pusaka Kami.” Rosing menghadap khalayak dan memberi tanda lewat gerakan tubuh agar semua orang ikut bernyanyi. Hari itu, Kalaallisut, sebuah dialek Inuit, menjadi bahasa resmi Greenland, menggantikan bahasa Denmark.
Kemudian, tak lama selewat pukul delapan pagi, ratu Denmark yang mengenakan pakaian tradisional Inuit untuk perempuan yang sudah menikah—sepatu merah setinggi betis dari kulit anjing laut atau kamiks, syal bermanik-manik, dan celana bulu anjing laut—memberikan piagam kedaulatan yang baru kepada Josef Tuusi Motzfeldt, ketua Parlemen Greenland. Para hadirin bersorak-sorai dan tembakan meriam di atas bukit membahana di atas pelabuhan mengirimkan gelombang udara yang menyapu tubuh kami bagaikan semburan adrenalin.
Berdasarkan piagam itu, Denmark masih menangani kebijakan luar negeri Greenland; subsidi tahunan pun masih dilanjutkan. Namun Greenland kini memiliki kendali yang lebih besar untuk masalah dalam negerinya—dan khususnya atas sumber daya mineralnya yang besar. Tanpa sumber daya itu, tidak mungkin Greenland bisa mandiri secara ekonomi. Kini perikanan meliputi lebih dari 80 persen pendapatan ekspor Greenland; udang dan ikan pecak menjadi komoditi utama. Walaupun persediaan ikan pecak masih cukup besar, tetapi populasi udang telah menurun. Royal Greenland, perusahaan perikanan pelat merah kini terus menerus merugi.
Penyebab turunnya populasi udang—di Greenland disebut sebagai ”emas merah muda”—tidaklah begitu jelas. Soren Rysgaard, direktur Pusat Penelitian Iklim Greenland di Nuuk, mengatakan iklim Greenland menjadi semakin tidak menentu disamping menjadi lebih hangat. Suhu laut yang semakin meningkat mungkin telah mengganggu jadwal bertelurnya larva udang dan tumbuhnya fitoplankton yang menjadi makanan utama larva tersebut; tidak ada yang mengetahui dengan persis. Para nelayan berharap ikan kod akan kembali begitu air laut menghangat. Namun setelah peningkatan kecil beberapa tahun lalu, populasi kod menurun kembali.
!break!
”Kehidupan tradisional Greenland mengandalkan kestabilan,” ujar Rysgaard. Selain dari Greenland selatan yang selalu disapu badai Atlantik, iklim negara itu, walaupun cukup dingin, jarang berubah drastis. Lapisan es raksasa dengan udara dingin yang padat memaksakan kestabilan di hampir seluruh penjuru negara. ”Di musim dingin kami bisa berburu atau memancing menggunakan kereta anjing di lautan es. Di musim panas kami bisa berburu menggunakan kayak. Apa yang terjadi sekarang adalah ketidaksabilan, kondisi yang khas Greenland selatan tengah bergerak ke utara.”
Johannes Mathaeussen, nelayan ikan pecak suku Inuit yang berusia 47 tahun telah melihat perubahan itu dengan mata kepala sendiri. Mathaeussen tinggal di Ilulissat (bahasa Greenland untuk ”gunung es”), sebuah kota yang terletak sekitar 300 kilometer di utara lintang Arktika dengan penduduk 4.500 jiwa dan jumlah kereta anjing yang hampir sebanyak penduduknya. Pada suatu hari di akhir Juni, kami berlayar dari pelabuhan Ilulissat, melewati sebuah kapal pukat-udang yang besar. Kami menggunakan perahu terbuka Mathaeussen yang panjangnya 4,5 meter, sebuah perahu khas nelayan ikan pecak di daerah itu. Pemancingan di musim panas masih menghasilkan cukup banyak ikan, tetapi musim dingin mulai jadi masalah.
”Dua puluh tahun lalu, di musim dingin, kami masih bisa mengemudikan mobil di atas es menuju Pulau Disko,” ujar Mathaeussen, menunjuk ke sebuah pulau besar sekitar 15 kilometer dari bibir pantai. ”Selama 10 dari 12 tahun terakhir ini, teluk itu tidak pernah membeku lagi di musim dingin.” Sewaktu teluk masih membeku, Mathaeussen dan nelayan lainnya akan mengendarai kereta anjingnya lalu pergi memancing sekitar 15 kilometer dari fjord. ”Aku akan menghabiskan satu hari satu malam dan kembali dengan 100 atau 250 kilogram ikan pecak di keretaku. Kini memancing pada musim dingin di fjord sangat berbahaya bila kita membawa beban berat; esnya terlalu tipis.”
Mathaeussen mengarahkan perahunya melewati ngarai es yang sudah runtuh, yang perlahan-lahan hanyut ke tengah laut. Gunung es terbesar menjulang 60 meter di hadapan kami dengan bagian bawahnya menyentuh dasar lautan sekitar 180 meter di bawah permukaan laut. Tiap gunung es memiliki topografinya sendiri yang berbentuk bukit, tebing, gua dan sungai putih mulus yang terbentuk oleh arus lelehan es. Semua gundukan es ini berasal dari Jakobshavn Isbrae, alias Sermeq Kujalleq, ’gletser selatan’, yang menguras 7 persen lembaran es Greenland dan melepaskan lebih banyak gunung es dibandingkan gletser lainnya di Belahan Utara Planet ini. (gunung es yang menenggelamkan Titanic mungkin berasal dari tempat ini). Pada 10 tahun terakhir, garis pantai Sermeq Kujalleq telah menyurut lebih dari 15 kilometer ke dalam fjord. Pantai itu telah menjadi pusat wisata yang terbesar di Greenland terbesar--19,375 orang datang untuk melihat dampak pemanasan global di tempat tersebut pada 2008. Namun turisme tetap menjadi sumber pendapatan kedua setelah perikanan; karena musimnya pendek, akomodasi terbatas, dan biaya perjalanan mahal.
!break!
Pondasi ekonomi Greenland di masa depan berada di balik Pulau Disko, tepat di belakang cakrawala dari lahan pemancingan Mathaeussen yang spektakuler. Di sana ada cadangan minyak. Lautan di lepas pantai bagian barat-tengah kini biasanya terbebas dari es hampir setengah tahun lamanya, satu bulan lebih lama dibandingkan 25 tahun yang lalu. Dengan kemudahan beroperasi di perairan Greenland, ExxonMobil, Chevron, dan perusahaan minyak lainnya telah mendapatkan surat izin eksplorasi. Cairn Energy, sebuah perusahaan dari Skotlandia, berencana untuk mengebor sumur eksplorasinya yang pertama pada tahun ini. ”Kami telah menerbitkan 13 surat izin meliputi daerah seluas 130.000 kilometer persegi di lepas pantai barat, sekitar tiga kali luas Denmark,” ujar Jorn Skov Nielsen, direktur Biro Pertambangan dan Perminyakan Greenland. Kami menghadiri konvensi perdagangan yang sedang tumbuh pesat di pusat konferensi di Nuuk pada sore hari Sabtu yang dibasuh hujan. Hembusan bau minyak dari contoh batu – bongkahan basal berukuran dan berbentuk setengah bola boling – dipamerkan di atas meja di dekat kami. ”Produksi mungkin akan dimulai dalam 10 tahun kalau kami beruntung,” ujar Nielsen. ”Kami telah mendapatkan perkiraan cadangan yang sangat menjanjikan di sebelah barat laut dan timur laut Greenland—sekitar 50 milyar barel minyak dan gas.” Dengan harga minyak yang kini melewati 80 dolar AS per barel, cadangan itu bisa menghasilkan pendapatan lebih dari empat trilyun dolar, rezeki nomplok yang bisa menopang kebebasan negara tersebut.
Namun, sebagian penduduk Greenland melihat hal tersebut sebagai kemudharatan yang tertunda. Sofie Petersen adalah pendeta Gereja Luther yang kantornya—salah satu rumah kayu tua yang amsih tersisa di Nuuk—menghadap ke pelabuhan. Tepat di puncak bukit berdiri patung Hans Egede, seorang misionaris Luther romantis yang datang ke tempat ini di tahun 1721 mencari orang yang selamat dari pemukiman Norse. Dia tidak menemukan orang Norse satu pun juga tetapi mendirikan Nuuk, atau Godthab, begitulah sebutan orang Denmark, dan memulai kolonisasi Denmark atas Greenland dan konversi ke agama Kristen. Seperti hampir semua warga Greenland, Petersen memiliki nama keluarga Denmark meski dia sesungguhnya suku Inuit.
”Kurasa minyak akan merusak cara hidup kami,” ujarnya. ”Tentu saja semua orang perlu uang, tetapi apakah kita harus menjual jiwa kita? Apa yang terjadi bila kami menjadi jutawan, kami semua, dan kami tidak bisa menceritakan tentang Greenland yang kami kenal kepada anak cucu kami? Aku lebih memilih tidak punya banyak uang namun bisa memberikan lahan ini kepada anak cucu kami.”
”Persoalan minyak menimbulkan dilema besar karena masyarakat Kutub Utara adalah orang-orang yang paling terkena dampak perubahan iklim,” ujar Kuupik Kleist, perdana menteri Greenland yang baru dan populer. Kleist yang telah membuat rekaman beberapa CD adalah seorang lelaki dengan penampilan bak seorang profesor, bertubuh lebar, berusia 52 tahun dengan suara seraknya yang nyaring lagi merdu. Ironi bahwa negaranya akan menjadi produsen utama komoditas yang mempercepat melelehnya lembaran es tidak terabaikan dari perhatiannya.
!break!
”Kami memerlukan ekonomi yang lebih kuat,” ujar Kleist, ”dan kami harus menggunakan kesempatan yang dibawa minyak kepada bangsa ini. Ahli lingkungan hidup di seluruh dunia menyarankan agar kami tidak mengeksploitasi cadangan minyak. Namun kami tidak berada di dalam situasi di mana kami bisa dengan mudahnya mengganti sumber pendapatan dari perikanan yang terus turun sementara saat ini kami tidak memiliki sumber pendapatan lainnya yang sebesar minyak.”
Sesungguhnya ada sumber daya lain dengan potensi yang sangat besar, tetapi sama mengkhawatirkannya. Greenland Minerals and Energy Ltd., sebuah perusahaan Australia, telah menemukan persediaan logam langka yang terbesar di dunia di dataran di atas kota Narsaq, Greenland selatan. Barang tambang langka itu sangat dibutuhkan dalam sejumlah besar teknologi ramah lingkungan—aki untuk mobil hibrid, turbin angin, dan bohlam lampu fluorescent yang padat—dan Cina kini mengendalikan lebih dari 95% dari pasokan dunia akan logam tersebut.
Pengembangan cadangan di Narsaq pasti akan mengubah pasar global secara fundamental dan mentransformasi ekonomi Greenland. John Mair, manajer umum Greenland Minerals and Energy mengatakan bahwa cadangan Narsaq bisa menopang operasi tambang skala besar selama lebih dari 50 tahun, mempekerjakan ratusan orang di kota yang telah terguncang akibat runtuhnya industri ikan kod. Perusahaannya kini sedang mempekerjakan lusinan pegawai yang sedang menelaah lokasi tersebut. Namun ada rintangan besar dalam mengembangkan industri tersebut: bijih logam tersebut ternyata dilapisi uranium dan pemerintah Greenland telah melarang sepenuhnya penambangan uranium. ”Kami belum mengubah peraturan itu dan tidak berencana untuk mengubahnya,” ujar Kleist. Sepertinya tidak ada jalan yang mudah untk mewujudkan Greenland yang lebih hijau.
Secara bergurau, penduduk Greenland menyebut daerah di sekeliling Narsaq dan Qaqortoq dengan Sineriak Nanaaneqarfik atau Pantai Pisang. Hari ini anak-cucu pemburu Inuit membuka lahan di tempat itu, di sepanjang fjords yang digunakan bangsa Viking untuk bercocok tanam. Jika Greenland ingin menjadi hijau di mana-mana, inilah tempatnya. Namun begitu tiba di tempat itu, Kenneth Hoegh si ahli agronomi memperingatkan diriku untuk melupakan apa yang aku baca tentang melimpahnya lahan pertanian di Greenland. ”Panen di Kutub Utara,” begitu tertulis di salah satu tajuk berita; ”Di Greenland, Kentang Tumbuh Subur,” tulis tajuk lainnya. Kentang memang tumbuh di Greenland sekarang ini. Namun belum terlalu banyak.
!break!
Pada pagi hari bulan Juli yang indah, aku dan Hoegh melaju dengan kecepatan 25 knot di fjord yang ditempati Erik the Red 1.000 tahun lalu. Tujuan kami adalah Ipiutaq, populasinya tiga orang. Kalista Poulsen menunggu kami di sana, di atas gundukan batu di bawah pertaniannya di pantai utara dari fjord tersebut. Bahkan dengan menggunakan pakaian terusan abu-abu yang kumal, Poulsen lebih terlihat seperti ilmuwan daripada petani: Tubuhnya ramping, mengenakan kaca-mata, dan berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen yang Perancis. Buyutnya adalah seorang angakkoq—dukun—salah satu yang terakhir di Greenland yang telah membunuh banyak orang dalam sejumlah pertikaian sebelum akhirnya masuk ke dalam Kristen setelah mendapatkan visi Yesus.
Kami berjalan melintasi ladang rumput timothy (Phleum pratense) dan gandum hitam (Lolium perenne) milik Poulsen yang subur. Dibandingkan dengan tebing fjord yang kelabu, tanaman untuk pakan ternak tersebut hampir terlihat berkilauan. Di bulan September, Poulsen akan membeli dombanya yang pertama, ternak yang dikembangbiakkan oleh hampir semua peternak Greenland, kebanyakan untuk diambil dagingnya. Dia membeli pertanian itu di tahun 2005, saat dunia luar pertama kali mendengar Greenland yang lebih hangat dan jinak.
Dari sudut pandang Poulsen, janji itu sepertinya sangat jauh dari kenyataan. ”Ini adalah daerah peperanganku,” ujarnya saat kami berjalan susah payah melewati lahan berlumpur penuh batuan besar yang dia bersihkan untuk dijadikan lahan pertanian dengan sebuah backhoe dan traktor bajak yang besar, yang didatangkan dengan sebuah pesawat terbang militer tua. Saat aku bertanya kepada Poulsen apakah dia menganggap pemanasan global bakal membuat kehidupannya atau anaknya lebih mudah, ekspresinya berubah getir. Dia menatapku penuh arti saat menyalakan sebatang rokok, yang perlahan-lahan mengusir kerumunan nyamuk.
”Tahun lalu kami hampir mengalami bencana,” ujarnya. ”Cuaca sedemikian kering sehingga panen hanya setengah dari biasanya. Kurasa kami tidak bisa mengandalkan cuaca akan terus normal. Jika cuaca semakin hangat, kami harus menyiram lebih banyak, berinvestasi dalam sistem irigasi. Di musim dingin kami tidak mendapatkan hujan salju yang normal; turun hujan lalu membeku. Itu tidak baik untuk rerumputan. Semua lahanku akan hancur dalam cuaca dingin.”
!break!
Pada saat makan siang di rumah Poulsen yang putih dengan rangka rumah dari kayu, kami memecahkan misteri aksen Prancisnya: Agathe Devisme, pasangannya, adalah orang Prancis. Sambil menimati makanan campuran yang dia persiapkan—udang dan lele au gratin, mattak atau kulit paus mentah, juga kue apel dengan rasa wortel liar—pikiranku melayang kepada makan malam yang lebih hambar beberapa malam yang lalu di Qaqortoq, pada sebuah gala tahunan yang dihadiri oleh hampir semua keluarga petani di Pantai Pisang. Setelah makan malam, seorang lelaki Inuit berambut putih mulai memainkan akordion dan semua orang di dalam aula, sekitar 450 orang, bergandengan tangan, mengayun bersama-sama saat mereka menyanyikan lagu syukur tradisional Greenland:
Musim panas, musim panas, betapa indahnya
Sungguh luar biasa baiknya.
Es telah mencair,
Es telah mencair...
Meninggalkan keluarga Poulsen, Hoegh dan aku kembali menyusuri fjord dengan fon – angin di atas lempengan es – berhembus di buritan kami. Hoegh cukup merasa puas, ujarnya sebelum ini, bila pertanian Greenland mencapai titik di mana mereka bisa menumbuhkan sebagian besar pakan ternaknya sendiri untuk domba dan sapi di musim dingin; sebagian besar pertanian, yang tidak mampu memberi makan penduduknya sendiri, kini mengimpor lebih dari setengah pakan ternaknya dari Eropa. Malam itu di rumah Hoegh, kami berdiri menatap kebunnya dari balik jendela. Fon berhembus semakin galak. Hujan menyapu datar, merebahkan kelembak dan lobak cinanya; pepohonan merunduk bagaikan pemuja di hadapan dewa kuno yang keras kepala. ”Sial!” Ujar Hoegh perlahan. ”Cuacanya sangat keras di sini. Akan selalu keras.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR