Banyak peneliti berpendapat bahwa ayahnya adalah Akhenaten. Hal yang mendukung pendapat ini adalah bongkahan batu gamping yang sudah rusak yang ditemukan di dekat Amarna, yang bertatahkan tulisan yang menyatakan bahwa Tutankhaten dan Ankhesenpaaten adalah kedua putra tercinta sang raja. Karena kita tahu bahwa Ankhesenpaaten adalah putri Akhenaten, jelaslah bahwa Tutankhaten (kemudian dinamakan Tutankhamun) adalah putranya. Namun, tidak semua peneliti menganggap bukti ini meyakinkan, dan beberapa di antaranya berpendapat bahwa ayah Tutankhamun adalah Smenkhkare yang misterius itu. Aku sendiri lebih sependapat bahwa Akhenaten-lah ayahnya, tetapi ini hanya teori.
Setelah DNA mumi berhasil diisolasi, mudah saja membandingkan kromosom Y dari Amenhotep III, KV55, dan Tutankhamun, lalu membuktikan bahwa mereka memang sedarah. (Semua mumi lelaki sedarah memiliki pola DNA yang sama dalam kromosom Y mereka, karena bagian dari genom lelaki ini adalah warisan langsung dari ayah.) Namun, untuk menegaskan hubungan kekerabatan yang tepat, dibutuhkan semacam sidik-jari genetik yang lebih canggih. Di sepanjang kromosom dalam genom kita terdapat wilayah spesifik yang sudah dikenal, dan di situlah pola huruf DNA—huruf A, T, G, dan C yang membentuk kode genetik kita—sangat beragam antara satu orang dan orang lainnya. Keragaman ini berupa perbedaan jumlah urutan berulang dari beberapa huruf yang sama. Misalnya, ada orang yang mungkin memiliki urutan huruf yang berulang sepuluh kali, sementara orang lain yang tidak berkerabat dengannya mungkin memiliki urutan sama yang berulang 15 kali, orang lain lagi 20 kali, dan seterusnya. Kecocokan di antara sepuluh wilayah yang sangat beragam ini sudah cukup bagi FBI untuk menyimpulkan bahwa DNA yang ditemukan di TKP dan DNA si tersangka mungkin benar-benar berasal dari satu orang yang sama.
Menyatukan kembali anggota keluarga yang sudah terpisah 3.300 tahun yang lalu tidak memerlukan ketelitian seketat standar yang dibutuhkan untuk memecahkan peristiwa kejahatan. Dengan membandingkan hanya delapan daerah variabel ini, tim kami mampu menetapkan dengan probabilitas lebih dari 99,99 persen bahwa Amenhotep III adalah ayah dari sosok yang ada di KV55, yang ternyata adalah ayah Tutankhamun.
Sekarang kami tahu bahwa kami memiliki tubuh ayah Tut—tetapi, kami masih belum tahu pasti siapa dia. Dugaan utama kami adalah Akhenaten dan Smenkhkare. Makam KV55 memiliki tempat penyimpanan bahan yang diduga dibawa oleh Tutankhamun dari Amarna ke Thebes, tempat Akhenaten (dan mungkin Smenkhkare) dimakamkan. Meskipun cartouche—yakni cincin oval yang berisi nama firaun—di peti mati sudah dicungkil, peti mati itu sendiri mencantumkan julukan yang hanya berkaitan dengan Akhenaten. Namun, tidak semua bukti menunjuk ke Akhenaten. Sebagian besar analisis forensik menyimpulkan bahwa tubuh di dalam peti mati itu adalah seorang lelaki berusia tidak lebih dari 25 tahun—terlalu muda jika diduga Akhenaten, yang tampaknya telah menjadi bapak dua anak perempuan sebelum memulai pemerintahannya yang berlangsung selama 17 tahun. Karena itulah sebagian besar peneliti menduga bahwa mumi itu adalah firaun bayangan, Smenkhkare.
!break!
Sekarang, saksi baru bisa diminta bantuannya untuk menyibakkan misteri ini. Mumi yang disebut Wanita Tua (KV35EL) tampilannya menawan hati, meskipun sudah menjadi mumi, dengan rambut panjang kemerahan terurai di bahu. Sehelai rambut ini sebelumnya pernah dicocokkan secara morfologis dengan seberkas rambut yang ikut dikuburkan di dalam susunan beberapa peti mati ukuran mini di makam Tutankhamun, yang ditulisi nama Ratu Tiye, istri Amenhotep III—dan ibu Akhenaten. Dengan membandingkan DNA Wanita Tua dengan DNA mumi orang tua Tiye yang sudah diketahui, yakni Yuya dan Tuyu, kami menegaskan bahwa Wanita Tua itu memang Tiye. Sekarang dia bisa menegaskan apakah mumi KV55 memang putranya.
Kami sangat gembira karena perbandingan DNA mereka membuktikan hubungan darah itu. Hasil pemindaian-CT baru mumi KV55 juga mengungkapkan adanya perubahan akibat usia pada tulang belakang dan osteoartritis di lutut dan kaki. Rupanya mumi ini wafat menjelang usia 40, bukan 25, seperti dugaan semula. Dengan terpecahkannya teka-teki perbedaan usia ini, kami dapat menyimpulkan bahwa mumi KV55, putra Amenhotep III dan Tiye serta ayah Tutankhamun, hampir pasti adalah Akhenaten. (Karena kami hanya tahu begitu sedikit tentang Smenkhkare, sosoknya tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan.)
Hasil pemindaian mumi dengan alat pindai-CT kami yang baru juga membuyarkan pendapat bahwa keluarga firaun tersebut menderita penyakit bawaan, seperti sindrom Marfan, yang mungkin menjelaskan wajah memanjang dan penampilan feminin yang terlihat dalam karya seni dari masa Amarna. Tidak ditemukan patologi seperti itu. Penggambaran Akhenaten yang berkelamin dua dalam karya seni itu tampaknya lebih mencerminkan gaya pengidentifikasian dirinya dengan dewa Aten yang dwigender, sehingga merupakan sumber dari semua bentuk kehidupan.
Lalu, bagaimana dengan ibunda Tutankhamun? Sungguh mencengangkan karena DNA mumi yang disebut Wanita Muda (KV35YL), yang ditemukan tergeletak di samping Tiye di dalam ceruk KV35, cocok dengan DNA si raja muda. Yang lebih menakjubkan lagi, DNA Wanita Muda itu membuktikan bahwa, seperti Akhenaten, dia adalah putri Amenhotep III dan Tiye. Ternyata Akhenaten memiliki putra dengan membuahi saudara perempuannya sendiri. Anak mereka dikenal sebagai Tutankhamun.
!break!
Dengan diperolehnya temuan ini, kita sekarang tahu bahwa tidak mungkin salah satu istri Akhenaten yang sudah dikenal, Nefertiti, dan istri kedua bernama Kiya, adalah ibu Tutankhamun, karena tidak ada bukti dari catatan sejarah bahwa salah satu di antara kedua istrinya itu adalah saudaranya seayah dan seibu. Kita sudah tahu nama kelima putri Amenhotep III dan Tiye, tetapi kita mungkin tidak akan pernah tahu saudara perempuan Akhenaten yang mana yang menjadi ibu anaknya. Namun, bagiku, mengetahui nama wanita itu tidak sepenting mengetahui hubungan darahnya dengan saudara lelakinya. Perkawinan sedarah bukanlah sesuatu yang tidak lazim terjadi di kalangan keluarga kerajaan Mesir kuno. Namun, aku yakin bahwa dalam kasus ini, itu memiliki andil dalam penyebab kematian dini putra mereka.
Hasil analisis DNA yang kami lakukan, yang diterbitkan pada bulan Februari dalam Journal of American Medical Association, meyakinkanku bahwa genetika dapat menyediakan alat baru yang mantap untuk meningkatkan pemahaman kita tentang sejarah Mesir, terutama bila dikombinasikan dengan kajian radiologi terhadap mumi dan wawasan yang diperoleh dari arsip arkeologi.
Hal inilah bukti yang paling jelas dalam upaya kami untuk memahami penyebab kematian Tutankhamun. Saat kami memulai penelitian baru, Ashraf Selim dan rekan-rekan sejawatnya menemukan sesuatu yang sebelumnya luput dari perhatian dalam citra CT mumi: kaki kiri Tutankhamun tampak cacat, satu jari kaki tidak bertulang, dan tulang-tulang di bagian punggung kaki hancur akibat nekrosis—arti harfiahnya, "kematian jaringan." Baik kaki yang cacat maupun penyakit tulang pasti menghambat kemampuannya untuk berjalan. Para peneliti mengamati bahwa 130 tongkat yang wujudnya sudah rusak sebagian atau yang masih utuh ditemukan di dalam makam Tutankhamun, beberapa di antaranya menunjukkan tanda-tanda yang jelas bahwa tongkat itu pernah digunakan.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa tongkat semacam itu adalah lambang kekuasaan yang lazim dan bahwa kerusakan kaki Tutankhamun mungkin terjadi selama proses mumifikasi. Namun, analisis kami yang menunjukkan bahwa pertumbuhan tulang baru terjadi sebagai reaksi terhadap nekrosis, membuktikan bahwa kondisi itu dialami sang raja dalam masa kehidupannya. Dan dari semua firaun, hanya Tutankhamun yang diperlihatkan duduk ketika melakukan berbagai kegiatan seperti membidikkan panah dari busur atau menggunakan tongkat yang dilemparkan (seperti semacam bumerang). Ini bukan raja yang memegang tongkat hanya sebagai lambang kekuasaan. Ini seorang anak muda yang memerlukan tongkat untuk berjalan.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR