Namun, yang agak mengejutkan adalah digantinya Stoviaweg menjadi Jl. Kweni. Padahal, nama itu merujuk pada STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen), sekolah dokter bumiputera yang sangat penting, bukan saja terkait sejarah kedokteran di Jawa tetapi dengan awal kemunculan elite modern dan nasionalisme Indonesia.
Operasi penghapusan kenangan di Ibu Kota kian menghebat saat Orde Baru bangkit serta pada masa-masa setelah kejatuhannya. Elite politik yang bersekutu dengan pemodal jadi aktor utama yang membuat pergantian nama tempat di Jakarta jadi begitu mudah. Belum surut benar kebencian kepada Belanda di masa Sukarno, sudah menyusul kebencian kepada komunis dan China pada masa Orde Baru. Pemerintah menganggap semua yang mengekspresikan China seperti hantu jahat berbahaya. Warga keturunan Tionghoa harus mengganti nama diri mereka dengan nama-nama Pribumi. Kampung, jalan, dan gang yang mengekspresikan kecinaan pun harus disapu.
Penyapuan dimulai dari Gang Tiongkok di dekat SMAN 2 Jakarta Barat, lantas Kampung Klenteng menjadi Jl. Keadilan Raya, Kampung Toapekong diubah Jl. Tanjung Duren, Gang Toapekong diganti Jl. Pintu Besi I, dan banyak yang lainnya.
Gaya “menghina” diperlihatkan dalam penghapusan Gang Souw Beng Kong yang diganti Gang Taruna, merujuk kepada calon tentara. Padahal, Souw Beng Kong adalah seorang Capiteijn der Chineezen pertama. Pada namanya ada sesuatu yang mampu mengingatkan—seperti disimpulkan banyak peneliti—cikal bakal Jakarta.
Souw Beng Kong yang lahir di Fujian pada 1580 mengelola perkebunan kelapa yang di sebelah barat Ciliwung yang kepemilikannya disahkan pada 1620, dengan syarat harus memasok tuak secara teratur ke meja tuan-tuan Kompeni. Daerah itu kemudian terkenal sebagai Petuakan, suatu kampung di daerah Jembatan Lima yang sekarang namanya sudah lenyap dari atas peta, namun masih hidup di benak sebagian penduduk daerah itu.
!break!
Penghapusan kenangan berbumbu ejekan itu berakar jauh saat politik ekspansi Islam yang bersekutu dengan kekuatan ekonomi perniagaan bandar abad ke-16 mengirim Fatahillah menaklukkan Sunda Kalapa. Fatahillah adalah sosok yang mengubah nama kota taklukannya menjadi Jayakarta.
Dalam skala lebih kecil, langkah Fatahillah itu diikuti juga oleh pejabat kota Jakarta setelah merdeka. Jl. Palem di Menteng disulap jadi Jl. Suwirjo yang mengacu kepada nama walikota Jakarta pertama yang dilantik pada 29 September 1945. Alasannya karena walikota ini saat menjabat tinggal di Jl. Palem. Begitu juga nama Jl. Serang yang diganti menjadi Jl. Syamsurizal berdasarkan nama walikota Jakarta kedua, Sjamsurizal, meski dia sebetulnya tidak tinggal tepat di Jl. Serang. Setelah itu, tidak ada lagi gubernur Jakarta yang diabadikan namanya sebagai nama jalan.
Sejarah juga mencatat bagaimana penguasa dan pemodal bisa begitu leluasa mengganti nama tempat. Nama “Jakarta” sendiri adalah saksinya. Coen, yang menjadi pelaksana penaklukan Jayakarta terlibat perdebatan keras dengan Heeren XVII yang menjadi pemodalnya tentang nama yang paling pas untuk kota taklukan itu. Lantaran sibuk berdebat, selama jangka waktu yang lama kota baru Belanda itu tetap disebut mengikuti nama aslinya, Jacatra atau Iac[c]atra dan variasi-variasi lainnya dari Jayakarta. Perdebatan pun dimenangkan Heeren XVII yang resmi menamakan Batavia sebagai nama pengganti Jayakarta.
“Daerah-daerah yang sudah memiliki nama sebelum Batavia berdiri tetap dipertahankan Kompeni. Sebab itu, dalam catatan-catatan masa awal Batavia dan peta-petanya masih ada Anke atau Kali Angke, Sontaarsweg yang sekarang di dekat kali Sunter, kali Angiol alias Ancol sekarang, dan Pabeyan yang pernah disebut oleh Bujangga Manik, Pangeran Sunda yang pada abad ke-15 melakukan perjalanan Jawa-Bali,” Rachmat memaparkan.
Tradisi menggunakan nama-nama asli berlangsung terus sampai akhir masa penjajahan. Peta Batavia terakhir, dibuat sebelum Perang Dunia II, masih mengandung banyak nama lokal ketimbang nama Belanda. Ini terjadi kebanyakan bukan karena kesadaran menghormati masyarakat setempat, melainkan lebih karena Belanda tidak mau “mengeluarkan ongkos” akibat perubahan nama itu. Oleh banyak sejarawan, hal itu dianggap menjadi penyebab bahasa Belanda tidak pernah bisa menjadi bahasa pergaulan di Hindia Belanda. Selain itu, Belanda juga membiarkan warga Pribumi “memelesetkan” nama yang lebih dulu diberikan Belanda seperti toren yang menjadi Torong pada kasus Torenlaan.
!break!
Model “penerjemahan bebas” itu adalah salah satu contoh dari yang disebut Nas sebagai kenangan budaya, sesuatu yang mengacu kepada semua unsur yang dihargai rakyat sehubungan dengan diri dan lingkungan mereka. Inilah nama-nama kampung, jalan, dan gang yang sudah tidak tertera lagi di peta dan dicabut plang namanya karena sudah mendapat nama baru. Meski begitu, beberapa nama masih hidup dan dipakai sebagai identitas yang akrab bagi penghuninya.
Sebab itu, jangan kaget jika sampai sekarang masih banyak yang tetap menyebut Mester ketimbang Jatinegara karena masyarakat rupanya begitu terpesona akan kebaikan meester atau guru Cornelis yang pada 1661 menjadi pemilik tanah daerah itu dan mendirikan sekolah pertama untuk anak-anak Pribumi di Batavia pada 1632. Warga juga lebih senang menyebut Jl. Suryapranoto dengan nama lamanya, Jaga Monyet, karena terkesan oleh kelucuan bagaimana para tentara penjaga benteng yang didirikan pada 1668 itu tidak mempunyai pekerjaan selain menjaga monyet yang bermain di pohon-pohon besar di sekitar pos mereka.
Di sisi yang berseberangan, ada juga beberapa nama yang sangat ingin dilupakan atau dikenang dengan penuh perasaan malu sekaligus takut oleh penghuninya. Seperti yang dialami Sapi’i, warga Jl. Kemuliaan, jalan yang dulunya bernama Gang Madat. “Maaf, istri dan anak-anak saya jadi agak menyulitkan begitu tahu ada yang bertanya-tanya soal Gang Madat. Dulu memang banyak rumah pemadatan di sini,” kenang lelaki yang tinggal di Gang Madat sejak 1958 ini.
Lain lagi dengan Gang Ampiun di Cikini. Penghuninya mempertahankan nama Ampiun, tetapi mengubah etimologinya yang dari kata amfioen yang berarti “candu”. Secara historis, gang itu dulu merupakan jalan pintas menuju kompleks pabrik candu yang sekarang menjadi Kampus UI Salemba IV. “Gang ini tidak ada kaitannya dengan opium. Nama gang ini berasal dari kata ‘kampiun’ karena penghuninya kebanyakan hebat dalam sepak bola,” kata Ahmad yang dianggap tetua di Gang Ampiun.
!break!
Penghalusan bahasa oleh pemerintah seperti kasus Gang Madat atau Ampiun, belum tentu diterima warga. “Penduduk di Jl. Jawa Miskin, Tambora, tetap lebih senang menyebut daerah mereka Kampung Jawa Miskin,” kata Abdul Chaer, ahli bahasa Melayu Betawi. Penulis Kamus Dialek Jakarta ini menambahkan, “bentuk penghalusan juga bisa dibaca sebagai sikap pemerintah kota yang merasa malu pada beberapa daerahnya yang dianggapnya tidak tanggap modernisasi, kalau tidak bisa disebut kampungan.” Secara serempak, imbuh Chaer, banyak kampung dan jalan di Jakarta yang memakai kata “udik” serta “ilir” dipaksa-ganti dengan “selatan” dan “utara”. Sulit menemukan kampung-kampung dengan ekor udik atau ilir yang secara resmi masih bertahan di Jakarta. Bendungan Hilir bertahan karena “dipelintir” oleh EYD jadi “hilir”, dan agar terdengar modern kemudian diakronimkan jadi Benhil.
Mat Iji, warga Tanjung Duren, Jakarta Barat, masih ingat bahwa ketidaksenangan pada nama yang “kampungan” itu fenomena yang baru muncul akhir 1970-an, berbarengan dengan pembangunan kawasan elite pertama di Pondok Pinang, yakni Pondok Indah. Hingga sekarang, orang lebih mengenal kawasan tersebut sebagai Pondok Indah. “Saya tidak mengerti mengapa saat ‘udik’ jadi menjijikkan, sejajar dengan sebutan ‘orang udik,’” kenang Iji.
Tetua Betawi dari Setia Budi, Irwan Syafi’i, memperdengarkan nada kehilangan serupa, tetapi dalam makna yang lebih dalam. “Memang sedih mengenang kehilangan Kampung Petunduan yang sekarang jadi kantor Polda Metro Jaya, atau Kampung Pecandran yang disulap agar lebih bergaya jadi Kartika Candra. Tetapi yang lebih menyedihkan adalah kehilangan orang-orang kampung dengan keahlian seperti masak ketupat dan nasi uduk, membuat perabot kayu, tembikar, dan bercocok kembang. Mereka kerap disebut sombong karena hanya mau menjadi tuan atas dirinya sendiri,” kata bekas Lurah Petukangan Utara ini.
Mungkin sikap mandiri seperti itulah yang bisa membuat Jakarta tetap memiliki kenangan kolektif yang menjadi sumber identitasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR