Zharkeshov sangat senang dengan ibu kota baru yang sepertinya menjanjikan, baik untuk dirinya maupun untuk sebuah negara, yang dalam pandangannya terlalu sering disamakan dengan negara-negara tetangganya yang tidak stabil. Akan tetapi, Astana, ujar Zharkeshov, adalah wajah Kazakhstan yang baru. “Benar-benar luar biasa, sungguh, menjadi bagian dari proses ini. “
Hanya beberapa hari setelah kami bertemu, dia mendapatkan pekerjaan yang didambakannya, sebagai ekonom pemerintah, bergabung dengan ribuan pemuda lainnya—usia rata-rata di ibu kota hanya 32 tahun—saat Astana telah menjadi sebuah mercusuar kesempatan.
Seperti Zharkeshov, sebagian besar pendatang baru berasal dari etnik Kazakh. Dominasi mereka mencerminkan kecenderungan pemerintah untuk mempekerjakan orang-orang yang dapat berbicara bahasa Kazakh, yang membuat kesal orang-orang non-Kazakh. Penekanan pada bahasa Kazakh adalah bagian dari tren yang oleh sebagian orang disebut sebagai Khazakhifikasi, dengan Astana menjadi contoh yang paling mencolok dan Nazarbayev sebagai promotor yang paling bersemangat.
Sebagai etnik Kazakh, presiden tersebut dilahirkan 71 tahun yang lalu dari pasangan penggembala dari sebuah desa di tenggara negara itu. Dia pernah bekerja di pabrik besi sebelum bergabung ke Partai Komunis, di mana dirinya memegang pos kepemimpinan senior sewaktu runtuhnya Uni Soviet.
Setelah menduduki kursi kepresidenan, dia mulai meletakkan dasar untuk memindahkan ibu kota dari Almaty ke Aqmola, di bagian utara-tengah Kazakhstan. Banyak yang bingung dengan pilihannya. Aqmola didirikan pada tahun 1830 sebagai benteng tsar, ia berkembang sebagai persimpangan jalan kereta api dan dikenal selama zaman Soviet sebagai Tselinograd.
Pada tahun 1950-an dan 60-an, Nikita Khrushchev bertujuan untuk mengubah daerah itu menjadi lumbung kekaisaran Soviet. Namun, pada tahun 1990-an, kota itu mengalami masa-masa sulit karena suhu yang terjun hingga minus 51°C di musim dingin, awan nyamuk di musim panas, angin kejam yang menghamparkan badai debu di atas ladang siap panen.
!break!
Seorang pemain biola yang berlatih di Moskow bernama Aiman Mussakhajayeva adalah seorang yang skeptis. Ia dibesarkan di Almaty dan bertemu Nazarbayev setelah salah satu konsernya di sana pada pertengahan 1990-an. Sang presiden bertanya apakah ia ingin mendirikan sebuah akademi musik nasional. Dia senang dengan tawaran itu dan berasumsi akademi akan didirikan di Almaty.
Ketika Nazarbayev menyampaikan rencananya, Mussakhajayeva berpikir, Apakah Aqmola itu? Tetapi dia menelan keraguannya dan mengikuti sang presiden ke ibu kota baru, di mana dia sekarang menjalankan Universitas Seni Nasional yang terletak di sebuah bangunan melingkar berwarna biru terang yang disebut banyak orang sebagai mangkuk anjing.
Nazarbayev telah memberikan beberapa alasan untuk memindahkan ibu kota dari Almaty, di antaranya kerentanan kota itu terhadap gempa bumi dan jaraknya yang sangat dekat dengan pegunungan Tian Shan, yang membatasi ruang untuk pertumbuhannya. Namun, geopolitik juga memainkan peranan penting.
Nazarbayev sangat diyakini telah termotivasi oleh rasa takutnya atas rancang daerah Rusia di wilayah utara Kazakhstan. Namun, apa pun alasannya, hanya sedikit yang mau atau mampu menantang pimpinan otoriter itu, yang tetap populer karena telah mempromosikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi meskipun diterpa kritik atas pemerintahnya sehubungan dengan korupsi dan pelanggaran HAM.
Untuk membangun kota impiannya, Nazarbayev meminta bantuan dari pihak asing yang ingin melakukan bisnis dengan Kazakhstan–di antaranya adalah emir Qatar dari Teluk Persia, yang mendanai pembangunan sebuah masjid dengan ruang untuk 7.000 jamaah. Islam adalah agama yang dominan di Kazakhstan, meskipun negara ini secara resmi adalah negara sekuler.
Ia juga mendatangkan bakat global terkemuka seperti mendiang arsitek Jepang, Kisho Kurokawa, yang merancang tata ruang induk kota Astana. Tetapi dia tidak pernah meninggalkan keraguan mengenai siapa yang berkuasa.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR