Menurutnya, gua ideal adalah yang digunakan sebagai permakaman—bukan rumah—dengan peninggalan keramik era pra-Buddha berserakan di lantai gua. Berlokasi di tebing yang terlalu tinggi untuk dicapai penjarah. Lalu, penduduk setempat tidak keberatan orang asing mengganggu tulang leluhur mereka. Ada satu tambahan lagi. “Kadang-kadang,” ungkap Aldenderfer, “kita perlu nasib baik.”
!break!
Situs yang paling menjanjikan adalah kumpulan gua di dekat sebuah desa kecil bernama Samdzong, tepat di sebelah selatan perbatasan Cina. Athans dan Aldenderfer mengunjungi Samdzong tahun 2010 dan menemukan kompleks gua permakaman. Pada hari kerja pertama di situs itu pada musim semi 2011, saat melakukan pendakian peninjauan di kaki gua, fotografer tim Cory Richards melihat tengkorak yang disebutkan di awal.
Paginya, para pendaki bersiap untuk menyelidiki gua di atas tempat ditemukannya tengkorak itu. Tebing Mustang indah tidak terperi—tubir besar yang terlihat seakan meleleh laksana lilin akibat sinar matahari terik di atas kepala. Punggungnya terkikis hingga menciptakan berbagai bentuk ajaib: telunjuk yang menopang bola batu raksasa, susunan tabung menjulang seperti orgel pipa sejauh mata memandang.
Tetapi, pendakiannya mengerikan. “Maut,” kata Athans. Batunya yang rapuh seperti rempeyek hancur setiap kali disentuh. Sangat berbahaya. Beberapa bulan sebelumnya, Lincoln Else, seorang videografer, tertimpa batu di kepala tak lama setelah dia melepas helmnya. Tengkoraknya retak. Dia menjalani operasi otak darurat di Kathmandu dan selamat.
Untuk mengakses gua Samdzong itu, pendaki utama tim Athans dan Hesser mendaki sisi belakang tebing dan mencapai daerah datar di atas gua. Di sini, dengan izin khusus dari pihak berwenang, mereka menancapkan besi jangkar ke batu dan memasang tali. Hidup Athans bergantung pada jangkar tersebut. Mereka membahas apa yang harus dilakukan jika besi jangkar itu mulai goyah. Hesser mengusulkan dia akan menyumpah sekuat tenaga.
“Boleh juga itu,” kata Athans. Kemudian dia dengan tenang menuruni tebing dengan tali.
Di bawah, di tanah datar, Aldenderfer duduk. Surai peraknya yang unik diikat bandana merah—rambutnya sudah 20 tahun tidak bertemu gunting tukang pangkas. Aldenderfer memegang monitor kecil yang menerima transmisi nirkabel dari kamera video Athans, memungkinkan antropolog itu mengarahkan pencarian dari posisi yang aman.
Di dekatnya, duduk bersila Tsewang Tashi—seorang lama atau pendeta Buddha yang mengajarkan Dharma, berusia 72 tahun—yang mengenakan jubah kasa merah. Dia menyalakan api kecil dengan ranting kayu kesturi lalu mengisi cawan dengan air suci dari botol plastik Pepsi tua. Kemudian dia merapal mantra sambil membunyikan genta kecil, lalu mencelupkan jarinya ke dalam air—upacara perlindungan Buddha untuk mengusir arwah jahat yang bisa membahayakan pekerjaan tim.
Sambil bergantung pada tali hijau, Athans bermanuver dengan gesit ke gua terkecil. Dia harus membungkuk agar dapat masuk—tingginya kurang dari dua meter dengan lebar dan dalam sekitar dua meter. Gua ini jelas dulu merupakan makam dengan lubang masuk vertikal yang tersembunyi, atau gua makam, yang digali membentuk botol anggur. Setelah digali, hanya bagian paling atas dari lubang itu yang terlihat.
Mayat diturunkan ke lubang seukuran selokan, lalu lubang itu ditimbun dengan batu. Ketika tebing runtuh, gua itu menjadi terbuka dari samping.
Sebuah batu besar yang dulu berada di langit-langit kini teronggok di dasar gua. Jika ada sesuatu di dalam gua itu, sekarang tersembunyi di bawah batu. Athans mendongkelnya perlahan-lahan menuju mulut gua. Lalu dia berteriak, “Batu!” dan batu tersebut bergemuruh ke bawah tebing. Setelah lima belas abad atau lebih gua itu ditimbun—diketahui melalui penanggalan karbon—gua itu kembali bersih dari bebatuan.
!break!
Aldenderfer membagi penggunaan gua di Mustang menjadi tiga periode umum. Pertama, hingga 3.000 tahun yang lalu, gua-gua itu digunakan untuk permakaman. Kemudian, sekitar 1.000 tahun yang lalu, gua terutama dijadikan tempat tinggal. Selama beberapa abad, Lembah Kali Gandaki—celah yang menghubungkan dataran tinggi dan dataran rendah di Asia—mungkin diperebutkan berulang kali. “Penduduknya ketakutan,” kata Aldenderfer. Warga yang mementingkan keselamatan daripada kenyamanan pindah ke gua.
Akhirnya, pada tahun 1400-an, kebanyakan orang pindah ke desa-desa tradisional. Gua-gua masih digunakan—sebagai tempat bertapa, pos intai militer, atau tempat penyimpanan. Sebagian gua tetap dipakai sebagai rumah, bahkan saat ini pun beberapa keluarga masih tinggal di dalamnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR